Part 3
"Sudahlah bu, Jidan bukan anak kecil." Syahid menepuk pundak ibunya dengan lembut.
Syahid berusaha menenangkan ibunya. Jidan memang bukan putra bu Rima, tetapi keluarga besarnya berhutang budi pada orang tua Jidan. Waktu keluarga Syahid dalam keterpurukan, ayahnya Jidanlah yang telah membantunya.
Persahabatan kedua orang tua Syahid dan Jidan sudah begitu erat. Sehingga meski tidak ada ikatan darah mereka sudah seperti saudara. Setiap kebahagiaan selalu mereka bagi bersama. Begitu pula saat duka menghampiri. Mereka pun saling menguatkan.
Oleh sebab itu tidak heran rasanya, ketika Jidan dan Syahid juga begitu dekat. Hal itu terjadi karena mereka sudah sering bersama sejak kecil. Seperti halnya roda yang berputar, saat ini keluarga Jidan sudah melewati masa kejayaannya.
Sejak ayahnya mulai sakit-sakitan, perekonomian keluarga Jidan mulai melemah. Namun hal itu tidak menjadi masalah, sebab tidak sampai jatuh. Kedua tangan orang tua Syahid telah menyambutnya. Ayah Syahid sebelum meninggal telah berpesan agar persahabatan itu tidak boleh berakhir apapun alasannya.
"Ingat bu, Jidan sudah seperti anak kita sendiri, jadi jangan biarkan dia dalam kesulitan." Bola mata perempuan paruh baya itu berkelana ke masa silam.
"Ibu!" Suara Syahid seketika membangunkan lamunan ibunya.
"Iya ... ibu," senyum bu Rima merekah.
"Ibu baik-baik saja?" Syahid menyentuh lembut tangan ibunya.
"Iya, ibu baik-baik saja, ibu hanya sedikit khawatir tentang Jidan." bu Rima menarik napas panjang.
"Hari mulai petang, dia belum kembali juga." bu Rima berdiri, pandangannya terfokus pada pintu masuk.
"Coba telpon dia lagi!" Pinta bu Rima.
Tanpa komando dua kali, Syahid pun langsung meraih ponselnya. Dia mencoba menghubungi Jidan, namun sekali lagi, tidak ada jawaban apapun. Zakia yang melihat itu diam-diam hasrat penasarannya pun muncul. Zakia mendekati Syahid dan ibunya.
"Maaf, mengapa sepertinya ibu sangat gelisah?" Zakia duduk di samping bu Rima.
"Tentu saja ibu gelisah, ada hal penting yang ingin ibu sampaikan." Tatapan tajam bu Rima menelanjangi Zakia
"Kenapa ibu menatap Kia seperti itu, seolah-olah ibu ingin menelan Kia mentah-mentah." Zakia menundukkan pandangannya.
"Apa ada yang salah dengan pertanyaanku?" lirih suara Zakia membangkitkan tawa Syahid dan ibunya.
Pasalnya, Zakia yang terbiasa ceria, ngeyel dan cerewet, bahkan terkesan tidak mau kalah dalam hal apapun. Tiba-tiba menjadi gadis yang manis dan santun.
"Haha ... dasar ubur-ubur, apa yang terjadi denganmu? Syahid mengangkat alis dan bibirnya terbuka lebar.
Seketika suasana pun mencair. Syahid dan ibunya pun terus menggoda Zakia. Sebenarnya Zakia benar-benar tidak suka dengan situasi itu. Namun dia tidak punya pilihan lain. Kalau boleh jujur, sebenarnya dia pun merasa gelisah, sebab Jidan tak kunjung kembali.
Hati dan pikiran Zakia masih mengembara menemukan jalan untuk sampai kepada Jidan. Dia masih berharap Jidan bisa menjadi miliknya.
"Ya Tuhan, semoga keajaiban terjadi, aku hanya mau Jidan." Zakia kembali larut dalam dunianya.
Zakia masih membayangkan betapa beruntungnya dia, jika bisa bersanding dengan Jidan. Sebab yang Zakia tahu selain Jidan memang telah mencuri hatinya, dia juga calon pewaris dari seorang ayah yang kaya raya.
Syahid memang baik, bahkan sejak kecil ibunya Syahid telah mengasuhnya. Sejak ayah dan ibunya bercerai. Zakia dititipkan oleh ibunya kepada keluarga Syahid. Selain mereka bertetangga, ibunya Zakia juga sahabatnya bu Rima. Namun setahu Zakia keluarga Syahid tidak sekaya keluarga Jidan.
Sejak kecil ketika keluarga Jidan berkunjung dengan mengendarai mobil mewahnya. Zakia selalu memimpikan menjadi ratu di keluarga tuan Hartawan. Seorang Ceo dengan kekayaan melimpah serta baik hati.
"Bangun Kia, jangan berharap terlalu tinggi, nanti sakit." Zakia memejamkan matanya, dia berusaha mengendalikan dirinya.
"Lihatlah dengan jelas, siapa yang ada di hadapanmu, dia adalah seseorang yang sering berbagi nasi denganmu, oh ... Tuhan inikah takdirku." Zakia terperanjat saat Syahid menjentikkan jari di wajahnya.
"Hai ... sepertinya kau sedang kelelahan, istirahatlah." Syahid berdiri dan meraih kunci mobil.
Zakia merasa mati gaya, dia berharap Syahid dan ibunya tidak menyadari apa yang sedang dia pikirkan. Apapun yang terjadi Zakia tetap akan mencari cara untuk bisa mendapatkan Jidan. Tetapi dia harus hati-hati, karena dia tidak ingin menyakiti Syahid dan ibunya.
"Kau mau kemana? Zakia menatap kunci mobil yang dipegang Syahid.
"Dari tadi aku berusaha menghubungi Jidan, tetapi tetap tidak bisa, ibu memintaku untuk menyusulnya," ujar Syahid sembari merapikan jaketnya.
"Aku ikut, eh ... maksudku, biar aku temani." ujar Zakia
"Tidak perlu, Kau temani ibu saja di rumah." Syahid terus saja melangkah.
"Tunggu, pokoknya aku ikut" Zakia mengejar Syahid.
Keduanya terus saja berdebat. Mendengar hal itu, bu Rima pun setuju kalau Zakia menemani Syahid. Pemuda berkumis tipis itu tidak kuasa menolak perintah ibunya.
Keduanya pun bergegas menuju ke garansi. Namun belum sempat mereka masuk, dari arah berlawanan terlihat mobil putih memasuki halaman.
Jidan memarkirkan mobilnya, kemudian dia keluar tanpa bicara satu patah kata pun. Melihat hal itu, Syahid dan Zakia pun hanya mampu memandang.
"Jidan apa kau baik-baik saja, kemana saja Kau ini." Jidan diberondong pertanyaan oleh bu Rima.
"Apakah Kau sudah makan?"
"Kau bertemu dengan siapa?"
"Apa yang terjadi, sampai-sampai ponselmu pun istirahat!" Wajah perempuan paruh baya itu berurat.
Jidan pun hanya terdiam, karena perempuan paruh baya itu tidak memberinya kesempatan untuk menjawab. Selayaknya anak kecil yang terlambat pulang. Bu Rima pun mengomeli Jidan. Laksana polisi Jidan pun dicecar pertanyaan bertubi-tubi.
"Ibu, bagaimana si keras kepala ini bisa menjawab, tenanglah bu, biarkan dia bernapas dengan tenang." Syahid menyela ibunya
Bu Rima pun menghentikan kalimatnya. Dia tersenyum dan membiarkan Jidan bernapas dengan tenang.
"Ibu, aku hanya bertemu dengan teman lamaku, kami mengobrol banyak hal, sampai kami lupa waktu." Jidan memegang lembut kedua pundak bu Rima.
"Bateraiku habis, maaf aku sudah membuat kalian khawatir." Jidan menyatukan kedua tangannya, pandangannya menyapu ketiganya.
"Maaf, aku sangat lelah, aku juga belum mandi." Jidan mendekatkan tubuhnya kepada Syahid.
"Isstt ... " Syahid menyeringai.
"Ibu biarkan dia mandi, aromanya bisa membuat nyamuk-nyamuk pingsan, haha." Syahid menjauhkan tubuh Jidan darinya.
"Ya sudah, bersih-bersih, lalu makan, dan setelah itu beristirahatlah." Bu Rima menepuk pundak Jidan dengan senyum kasih sayang.
Syahid menatap sahabatnya yang perlahan meninggalkan mereka. Dia tahu, bahwa Jidan sedang berbohong. Pemuda berkumis tipis itu tahu, pasti sesuatu telah terjadi pada Jidan.
Malam mulai larut semua telah lelap dalam buaian mimpi masing-masing. Keesokan harinya, Syahid berniat menanyakan apa sebenarnya yang terjadi. Namun belum sempat dia bertanya, Syahid melihat Jidan sedang berbincang dengan ibunya.
"Jidan, Kau sudah kuanggap seperti anak kandungku."
"Sejak ayahnya Syahid tiada, hanya Zakia yang selalu menemaniku."
"Dia gadis baik, hanya saja nasibnya kurang beruntung."
"Ayah dan ibunya bercerai, sehingga dia kurang kasih sayang." Perempuan paruh baya itu menarik napas panjang.
"Aku hanya ingin meminta pendapatmu, apakah menurutmu, dia cocok dengan Syahid?" Tatapan bu Rima memaksa Jidan memutar otak.
Pemuda tampan itu tidak mau salah memberikan pendapat untuk sahabatnya. Meski sejujurnya, dia sedang larut dengan persoalannya sendiri.
"Kia gadis yang baik, cuma sedikit agak konyol, maka kami menyebutnya ubur-ubur." Jidan tersenyum simpul.
"Jadi kalau menurutku mereka memang cocok bu." Keduanya tersenyum dan beradu pandang.
"Tapi kita punya masalah Ji ... " bu Rima bangkit dari duduknya mendekati Jidan serasa berbisik.
"Sejak ayahnya pergi meninggalkan ibunya, tidak ada yang tahu dimana ayahnya sekarang."
"Ibunya pun tidak pernah tahu, apakah ayahnya masih hidup atau sudah mati." Bu Rima menatap datar.
"Tenang bu, nanti kita akan cari solusinya."
"Yang penting sekarang apakah mereka berdua setuju untuk menikah?"
"Jidan benar bu," suara Syahid menghampiri keduanya.
"Mengapa harus bertanya, bukankah semuanya sudah jelas." Bu Rima tidak peduli pendapat kedua pemuda tampan itu.
"Aku sudah tua, aku ingin sebelum aku pergi, aku bisa melihatmu menikah dan punya anak." Bu Rima menatap Syahid penuh harap.
Mendengar hal itu Jidan dan Syahid pun tidak bisa berkata-kata. Ketika suasana hening, tiba-tiba tanpa disadari Zakia pun muncul.
"Iya bu, Kia setuju" ketiganya tanpa komando menengok ke arah sumber suara.
Zakia berjalan mendekati ketiganya. Syahid yang mendengar hal itu benar-benar merasa tak percaya. Baru kemarin Zakia menolak mentah-mentah dirinya. Tetapi kenapa pagi ini dia setuju untuk menikah dengannya. Syahid benar-benar tidak percaya semua ini. Dia yakin sesuatu telah terjadi.
"Apa sebenarnya yang Kia inginkan, mengapa secepat kilat dia berubah." Syahid mengerutkan keningnya, kumis tipisnya pun ikut berkibar.
_Bersambung_
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments
Rajuk Rindu
hay... aku mampir say
2023-04-05
0