Diana, dan Siska sedang sarapan, sementara Dafa masih tertidur pulas di kamar.
"Kamu pagi-pagi sekali perginya, Di?"
"Ada pakaian pelanggan ekspres yang harus aku cuci dan setrika, Tan," sahut Diana dengan mulut yang penuh dengan roti.
"Kamu jangan terlalu lelah, nanti kalau kamu sakit, kasihan Dafa." Siska memperingatkan.
"Iya, Tan."
"Selamat pagi!" Sofia melangkah menuju meja makan dengan riang.
"Selamat pagi," balas Diana dan Siska bersamaan.
"Kayaknya hari ini kamu bahagia banget, ada apa? Kamu dapat tawaran iklan lagi, ya?" tebak Siska.
"Ini lebih dari sekedar tawaran iklan, Ma," sahut Sofia sumringah.
"Oh iya? Terus apa, dong?" Siska penasaran, sedangkan Diana hanya diam menyimak.
"Aku baru jadian dengan produser film yang baru aja mengontrak aku, Ma," beber Sofia penuh semangat.
Siska mengernyit, "Produser film? Sudah tua?"
"Enggak, Ma. Dia masih muda, ganteng dan kaya. Kalau aku sampai bisa menikah dengannya, hidup aku bisa enak."
"Pastikan dulu dia baik atau enggak, Sof. Kaya tapi kalau sifatnya jelek, hidup kamu juga enggak akan bahagia," sela Diana.
Sofia sontak menatap Diana dengan sinis, "He, kamu tahu apa tentang kebahagiaan? Sampai sekarang saja hidup kamu masih enggak bahagia! Punya anak tapi enggak jelas siapa ayahnya!"
"Sofi!" bentak Siska.
Sedangkan Diana sontak terdiam sedih, hatinya tersinggung mendengar cibiran dari sepupunya itu.
"Habis dia sok tahu, Ma. Hidupnya saja masih berantakan, dia berlagak mau nasehati orang lain!" gerutu Sofia.
"Yang dibilang Diana itu benar, kamu harus kenali dulu tabiat pria itu, jangan sampai nanti menyesal!" lanjut Siska.
Sofia tak menjawab, dia memilih untuk diam dan menyantap sarapannya. Sejak dulu Sofia memang tidak menyukai Diana sebab dia kalah cantik dari sepupunya tersebut, apalagi saat dia tahu jika pria yang dia taksir justru menyukai Diana. Ia semakin membenci ibu satu anak itu.
"Tan, kalau begitu aku berangkat dulu. Aku titip Dafa, ya." Diana beranjak dari duduknya.
"Iya, kamu hati-hati," balas Siska.
Diana mengangguk dan bergegas pergi dengan menahan air matanya.
"Sofia, lain kali jangan bicara seperti itu lagi! Kasihan Diana!" Siska memarahi putrinya itu setelah Diana menghilang di balik pintu.
"Kenapa sih Mama selalu membela dia? Terus mau-maunya lagi jagain anak haram itu! Memangnya Mama dapat apa?"
"Sofi! Kamu jangan keterlaluan kalau bicara!"
"Ma, anak yang lahir di luar nikah itu apa namanya kalau bukan anak haram?" kecam Sofia sinis, kemudian beranjak ke kamarnya.
"Ini anak sudah banget dinasehati!" gerutu Siska kesal melihat sikap kasar dan keras kepala putrinya itu.
Sementara itu di perjalanan menuju tempatnya bekerja, Diana berjalan sambil mengusap air mata yang akhirnya jatuh menetes. Kata-kata Sofia tadi begitu menusuk hingga ke relung hatinya.
Diana mengembuskan napas untuk melegakan dadanya yang terasa sesak. Dia terluka dan sakit hati, tapi dia sadar apa yang Sofia katakan itu benar adanya, dia tak tahu bagaimana rasanya bahagia, kerena sejak kecil dia selalu merasakan kepahitan hidup. Terlebih sampai saat ini dia juga tak tahu siapa ayah dari sang putra, dia hanya mengingat wajah dan namanya saja.
Tak butuh waktu lama, Diana tiba di tempat dia bekerja, Eliana yang melihatnya langsung menyapa dengan ramah.
"Selamat pagi, Di."
"Selamat pagi, Bu El," balas Diana.
Eliana mengerutkan keningnya memperhatikan mata Diana yang basah dan merah, "Mata kamu kenapa, Di? Kamu habis nangis, ya?"
Diana mendadak gugup, "Enggak, kok, Bu. Tadi mata aku kelilipan debu pas di jalan, jadi aku kucek, makanya berair dan merah."
"Ya ampun, jangan dikucek! Cuci pakai air."
"Ini udah enggak apa-apa, Bu," bantah Diana yang berbohong.
"Syukurlah! Oh iya, kata Raka nanti malam kalian mau makan di luar sekalian bawa anak kamu jalan-jalan, ya?"
Diana mengangguk dengan canggung, "Iya, Bu."
"Tapi kenapa harus ajak ibu?"
"Enggak apa-apa, Bu. Biar enggak jadi fitnah kalau kami cuma pergi bertiga," dalih Diana.
"Kalau begitu kalian menikah saja, biar jadi satu keluarga dan enggak menimbulkan fitnah kalau pergi bertiga," sambung Eliana enteng.
"Ibu ini bisa aja!"
"Di, kamu tahu kan Raka itu naksir sama kamu. Dia pasti bisa jadi ayah sambung yang baik untuk anak kamu."
"Tapi saya belum terpikir untuk menikah, Bu."
"Kenapa? Kamu masih muda dan cantik, mau nunggu apa lagi? Kalau kelamaan, entar keburu tua."
Diana hanya tersenyum menanggapi ucapan Eliana, dia tak yakin wanita itu dan Raka masih mau menerimanya dan Dafa jika tahu apa yang sebenarnya terjadi.
***
Malam pun tiba, Diana sedang merapikan kemeja biru yang Dafa pakai.
"Kita mau ke mana, Bunda?" tanya Dafa yang penasaran.
"Ada teman bunda yang mau ajak kamu makan dan bermain," jawab Diana.
"Asyik!" Dafa melompat kegirangan.
Diana tersenyum dan mengusap kepala Dafa dengan penuh kasih sayang, "Tapi nanti kamu jangan nakal, ya?"
"Iya, Bunda. Aku enggak akan nakal, kok! Tapi Oma ikut, kan?"
"Enggak, sayang. Tapi nanti ada Oma yang lain, kamu harus sopan padanya."
Dafa mengangguk patuh.
"Kalau begitu, yuk kita tunggu teman Bunda di bawah!" ajak Diana sembari menggandeng lengan kecil Dafa.
Ibu dan anak itu melangkah keluar kamar, keduanya tampak kompak dengan balutan baju dengan warna biru cerah.
"Kalian mau ke mana?" tanya Siska begitu melihat Diana dan Dafa.
"Diundang makan malam dengan Bu Eliana dan anaknya," sahut Diana sedikit berbohong, dia tak ingin Siska juga berpikir macam-macam.
"Tumben? Dalam rangka apa?"
"Enggak ada, katanya cuma makan malam biasa aja, kok!"
"Jangan-jangan Bu Eliana mau jodohkan kamu dengan anaknya!" tebak Siska.
Diana tersipu, "Ah, Tante bisa aja!"
"Loh, siapa tahu dia suka sama kamu dan ingin kamu jadi menantunya.
Diana tertawa, dia heran karena tebakan Siska bisa tepat. Dia memang tak pernah cerita ke tantenya itu tentang perasaan Raka padanya dan keinginan Eliana agar dia menikah dengan sang putra.
Tok ... tok ... tok.
Diana dan Siska menoleh bersamaan ke arah sumber suara saat mendengar seseorang mengetuk pintu dari luar.
"Ada yang datang," ujar Siska.
"Mungkin itu anaknya Bu Eliana, biar aku buka, Tan." Diana buru-buru melangkah ke arah pintu.
Diana membuka pintu dan terkejut setengah mati saat melihat siapa yang berdiri di hadapannya. Seorang pria cukup tampan dengan postur tubuh tinggi dan berkulit putih bersih, pria yang telah merenggut kehormatan di malam kelam itu. Diana ternganga dengan mata melotot.
Sama dengan Diana, pria yang tak lain adalah Revan juga tak kalah terkejutnya melihat satu-satunya wanita perawan yang pernah dia tiduri itu. Dia masih ingat betul wanita itu dan tak bisa melupakan apa yang telah terjadi meski sudah empat tahun berlalu.
Dari belakang Diana, Sofia muncul dan langsung bergelayut di lengan Revan, "Hai, sayang. Kamu udah datang rupanya!"
Tapi Revan tak melepaskan pandangannya dari Diana, dia bahkan tak menggubris Sofia.
Diana seperti disambar petir saat tahu ternyata Revan dan Sofia memiliki hubungan.
"Yuk kita berangkat!" ajak Sofia.
Revan tersentak dan sontak menatap Sofia gugup, "I-iya."
Keduanya pun bergegas pergi dari hadapan Diana tanpa menegur wanita itu.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 57 Episodes
Comments
Enisensi Klara
nah bener tuh Revan yg produser Sofia
2023-04-15
3
Enisensi Klara
jangan2 itu Rehan yah
2023-04-15
1