"Maafin Amira, mbak Wita."
Amira Widani, istri muda Andika Sudarma yang masih berusia dua puluh tiga tahun itu, mencicit lirih dengan suara yang seolah tercekat di tenggorokan. Wanita itu gemetar dengan wajah yang nampak pucat. Tak ada polesan make up sedikitpun. Tak ada aura cerah yang sedikitpun terlihat di mata Deswita.
Entah sejak kapan Amira berdiri di ambang pintu, menyaksikan drama pemaksaan Andika pada Wita untuk tetap menerima cintanya. Hati wanita yang tengah hamil muda itu terasa nyeri seketika. Jujur saja, sebenarnya Amira tidak berhak terluka, sebab dirinya lah yang menjadi sumber luka bagi semua orang.
"Amira, ngapain kamu membuntuti saya? Kamu sengaja, ya?" tanya Andika kemudian, tanpa berniat melepaskan Wita untuk jauh darinya. Lelaki itu seolah sengaja menggenggam erat tangan Wita, agar Amira tahu bagaimana perasaan lelaki itu.
"Aku, aku takut sendirian di rumah," jawab Amira seraya menunduk, tak berani menatap Andika sedikitpun.
"Takut di rumah, tapi keluyuran di luar tengah malam," timpal Andika dengan nada sarkas.
"Kamu sendiri keluar tengah malam demi ketemu sama perempuan yang bukan istri kamu. Kamu sadar nggak sih, Mas? Aku hamil dan kamu selalu menyalahkan aku," Amira mencoba untuk berani.
Andika maju empat langkah, menghampiri Amira dengan tatapan matanya yang tajam seraya berkata, "karena dari awal pernikahan ini udah salah, Amira. Kamu tahu dan saya sudah gamblang mengatakan, kalau saya udah beristri. Tapi kamu membohongi saya!" seru Andika.
"Membohongi bagaimana, Mas? Aku nggak pernah membohongi kamu," jawab Amira gemetar, sebab menangis.
"Kamu bilang kamu pakai kontrasepsi, tapi nyatanya tidak, kan? Dasar pembohong," jawab Andika.
"Tapi kamu menikmatinya," ujar Amira, dengan nada bicara yang meninggi.
"Dan saya hanya bermain dengan kamu. Sayangnya, saya terjebak oleh wanita murahan seperti kamu. Saya memang salah sudah mengkhianati Deswita, tapi saya tidak pernah memiliki niatan untuk berpisah darinya. Ingat satu hal untuk saat ini, Amira, cinta saya, hanya untuk Deswita, bukan kamu," tegas Andika, membuat hati Amira merasakan nyeri luar biasa.
Beginikah rasanya menjadi istri kedua? Amira pikir, dirinya bisa menjadi ratu di rumah Andika yang super besar itu. Tetapi sayangnya, dirinya tak lebih dari sekadar pesakitan yang penuh dengan derita. Tidak dianggap dan dinikahi sekedar formalitas belaka.
"Lebih baik kalian pulang dan selesaikan urusan kalian di rumah kalian. Ini sudah tengah malam. Kelan juga pasti terganggu tidurnya jika kalian berdebat di sini," usir Deswita pada sepasang suami istri di depannya itu.
Andika sendiri menatap tajam Amira, membuat Amira berbalik dan pergi tanpa pamit pada pemilik rumah. Deswita menatap punggung wanita yang tengah hamil enam bulan itu.
"Kamu nggak punya rasa tanggung jawab, Mas. Gimana pun juga, Amira itu istri kamu, dia mengandung anak kamu," ujar Wita, selepas Amira benar-benar telah pergi dari rumahnya.
"Tapi saya nggak mencintainya, Wita. Kamu harus tahu ini," sanggah Andika yang memang tidak mau disalahkan, "lagipula gimana bisa kamu mengatakan saya nggak tanggung jawab? Dia sudah saya nikahi, saya penuhi kebutuhannya."
"Ini bukan perihal tanggung jawab materi semata, tetapi juga kasih sayang kamu dan perhatian kamu, pasti Amira membutuhkannya," sahut Wita, menatap tajam mantan suaminya itu.
Wanita itu tidak habis pikir dengan sikap Andika yang dingin pada Amira. Tak dipungkiri, Wita sangat kecewa pada Andika, dan sedikit banyak benci pada Amira yang telah merebut suaminya dari dirinya dan Kelan. Tetapi terlepas itu semua, Amira juga wanita, sama seperti Wita. Wita tak sampai hati melihat Amira diperlakukan demikian oleh Andika.
"Jangan membela dia, Wita. Suatu saat kamu akan mengerti, bagaimana perasaan saya ke kamu," ujar Andika lirih, berbalik pergi.
Dengan cepat, Wita menutup pintu, dan menguncinya dari dalam. Malam ini yang tadinya Wita nikmati dengan kesendirian, kini terpaksa harus diwarnai dengan cekcok mantan suami dan istrinya itu.
**
Di dalam kamar tamu yang ditempati oleh Amira, Amira duduk termenung seorang diri. Ada banyak hal yang beberapa hari ini menjadi beban pikiran wanita muda itu.
Pertemuan tak sengaja dengan Andika Sudarma, pria kaya raya yang menjadi incarannya, membuat Amira merasa seperti kejatuhan durian nomplok. Ada kasus yang Amira tutupi, hingga ia tak memiliki pilihan lain selain menyerahkan diri pada Andika, dan menggadaikan masa depan demi sebuah keamanan dirinya secara pribadi.
Jujur saja, Amira mulai tertekan setelah Andika berpisah tempat tinggal dengan Deswita, mantan istrinya itu. Awal ia menjadi istri kedua Andika, semua masih dalam kendali dan baik-baik saja.
Puncaknya ketika seminggu sebelum Andika resmi bercerai, tepatnya sembilan hari lalu. Andika marah-marah pada Amira, dan menyumpah istri mudanya itu dengan kata-kata kasar.
Amira harus bertahan, demi kebaikan dirinya dan anaknya, meski ia bisa dikatakan egois, sebab harus mengorbankan Deswita dan Kelan di sini.
Andika?
Dia juga korban Amira sebenarnya.
"Jangan ulangi kebodohanmu dengan datang ke rumah Deswita lagi, Amira. Saya tidak segan-segan untuk menceraikan kamu, dan mengambil alih pengasuhan anak itu sebelum saya benar-benar membuang kamu. Kalau kamu nurut, kamu akan selamat. Tetapi jika kamu mengulang kesalahan yang sama, kamu tentunya mengenal siapa saya. Saya tidak suka bermain kata yang sama untuk yang ke dua kalinya!" Seru Andika dengan suara yang khas dan dalam.
"Mas, kamu nggak kasihan sama aku?" tanya Amira lirih, berusaha meraih iba suaminya.
"Kamu pikir kalau saya nggak kasihan sama kamu, saya akan menggeser Wita dengan kamu di rumah ini. Ingat, posisi kamu hanyalah tamu sementara di rumah ini. Selebihnya, pemilik rumah ini adalah Deswita dan Kelan," tumpal Andika dengan cepat.
"Tapi aku juga mengandung anak kamu, Mas. Kamu nggak bisa membeda-bedakan Kelan dan anak ini," bantah Amira dengan cepat.
"Kamu berani membantah saya? Jangan berulah. Sedikit demi sedikit, tabir kebohongan dan apa yang kamu sembunyikan dari saya, akan terungkap perlahan. Tinggal menunggu waktu sampai semua hal yang kamu sembunyikan dari saya, terungkap," ujar Andika dengan menatap tajam Amira.
Jantung Amira terasa di hentak seketika. Wanita itu takut setengah mati. Tanpa sadar, wajahnya sudah seputih kertas. Pucat dan mengisyaratkan ketakutan yang nyata.
"Mas, ap, apa yang kamu ... katakan?" tanya Amira dengan gugup.
"Kamu pikir kamu bisa menipu saya? Dengarkan ini baik-baik. Kamu salah memilih laki-laki untuk bisa kamu bodohi. Camkan itu. Nggak salah kalau pada akhirnya, saya meletakan kamu di kamar tamu. Kamar utama terlalu suci untuk wanita ular seperti kamu!" seru Andikaa sebelum berlalu pergi, meninggalkan Amira yang membeku di tempatnya.
Amira ketakutan, takut jika kebohongan dirinya terungkap dengan cepat.
**
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 39 Episodes
Comments
Nana Aristide
amira juga terlalu suci untuk laki laki menjijikkan seperti kamu andika
2023-06-27
3
Diana Susanti
bisa bisa anak orang lain,,bukan anak Tirta
2023-03-20
1
Vera Mahardika
lah ada si tirta
2023-03-19
1