Chapter 4 (Misi Pertama : Azzahra)

Aku tak tahu sudah berapa lama aku di dalam peti mati. Saat aku hampir tertidur untuk yang ke sekian kalinya aku di kejutkan oleh suara pukulan di atas petiku. Tak lama peti matiku di buka.

"Kerja bagus," ucap Cakara sembari mengulurkan tangannya padaku.

Aku pun segera menepis tangannya dan keluar dari kubur sendirian. Ketika dia merapihkan makam aku berjongkok di pinggir kuburan sembari makan jeruk keprok yang ia bawa.

"Apa anda tak punya anak buah? Mengapa setiap kali harus anda yang datang. Rupanya pemimpin organisasi sangat senggang."

Namun dia hanya tersenyum tanpa menjawabku.

Ya, jawabannya sangat jelas. Bawahan biasa tak akan bisa menahan kekuatan bencanaku. Jika aku ingin pergi dan membunuh manusia sebanyak yang ku mau siapa yang bisa menghentikanku selain dia dan ayahku.

Tapi maksudku tidak mungkinkan dari sekian banyak pekerja Agastya, pasti akan ada setidaknya satu yang cakap.

30 menit kemudian,

"Ayo kita mulai." Ucapnya setelah dia selesai merapihkan kuburanku.

Aku yang baru selesai makan semua jeruk keprok segera bangkit berdiri.

"Siapa dulu?" tanyaku.

Dia pun mengambil dokumen dari udara tipis dan membukanya.

"Kita akan memulai dari halaman pertama. Namanya Azzahra."

"Oh." Jawabku acuh tak acuh.

Dengan santai aku mematahkan dahan dari pohon kamboja di sebelah makamku lalu menggambar array terlarang di tanah. Bagi kalian kaum awam yang tak tahu array itu apa. Apakah kalian tahu diagram lingkaran? Ya semacam itu. Bayangkan saja diagram lingkaran yang penuh pola pola aneh misterius dari sekte sesat. Arrayku tak jauh berbeda dari itu. Aku pun menambahkan nama Azzahra di tengah array dengan huruf Halimun kuno.

Ini adalah array pembalik waktu. Hanya keturunan Esador yang mengerti sihir seperti ini.

Tapi kak Ian dan Ira tak tahu apapun tentang sihir terlarang ini. Alasannya sederhana. Pertama adalah karena sihir mereka tak cukup kuat dan alasan kedua adalah karena ayah tak pernah memberitahu mereka apa apa.

Bagi ayah mereka berdua lebih pantas menjadi makhluk yang hidup di bawah sinar mentari. Hal hal gelap semacam ini tak perlu di ketahui oleh mereka yang ada di bawah cahaya.

Sedangkan aku, sihirku lebih dari cukup untuk mewarisi buku buku kuno itu. Di tambah lagi darahku jauh lebih murni dari saudaraku yang lain. Jadi saat ayah tahu aku bisa mengerti buku buku terlarang itu dia segera menyegel sebagian besar sihirku dengan mengorbankan umurku.

Setelah selesai menggambar array di tanah aku berdiri di tengah array. Aku tak perlu menyayat tanganku karena darah dari luka cambukan di tubuh sudah lebih dari cukup untuk di jadikan pengorbanan. Aku membiarkan darahku menetes ke tanah setelah itu aku memberikan tanda pada Cakara untuk menyalurkan energi sihirnya ke dalam lingkaran.

Aku menutup mata dengan tenang dan membaca mantra terlarang dalam hati. Tak lama tanah di bawah kakiku menghilang. Aku langsung terjun bebas di dalam aliran waktu. Aku membuka mata perlahan. Segalanya tampak gelap di sekelilingku.

Tak lama aliran ingatan membanjiri kepalaku. Ini adalah... Ingatan milik Azzahra.

Setelah menontonnya dengan sabar aku langsung menyimpulkan :

Azzahra adalah anak piatu. Ibunya meninggal dunia ketika umurnya 10 tahun. Ayah vampirnya yang bajingan pun menikah lagi dengan manusia anak satu padahal meninggalnya ibu Azzahra bahkan belum genap 1 bulan.

Ibu tirinya yang tampak baik ternyata bermuka dua. Selalu mencari cari kesalahan Azzahra untuk merenggangkan hubungan ayah dan anak itu.

Ah Azzahra kamu itu vampir! Tunjukan harga dirimu sebagai vampir! Bunuh saja dia dan katakan saja kecelakaan. Simple bukan? Haruskah aku buatkan tutorialnya. Aku cukup berbakat soal kriminal.

"Dia bukan kamu yang berdarah dingin." Ucap Cakara tiba tiba.

Aku terkejut mendengar suara Cakara. Ah benar, karena aku mengandalkan sihirnya aku jadi terhubung dengannya juga.

Tapi... Tunggu.

"Anda bisa baca pikiran?"

"Apa saya belum bilang?"

"..."

Baik lupakan saja. B*j*ng*n menyebalkan.

"Anak muda tolong jangan mengumpat. Sehari saja okay?"

Aku pun memberikan jari tengahku padanya.

"SAYA BAHKAN LEBIH TUA DARI UYUT ANDA! HORMATLAH SEDIKIT!!" Umpatnya.

Cih!

Tak lama tubuhku perlahan menjadi berat. Berat dan terus berat. Akhirnya aku memejamkan mataku.

...***********...

Ketika aku membuka mata apa yang aku lihat hanya langit langit kamar putih. Aku pun bangkit duduk di kasur dan memperhatikan setiap inchi kamar ini.

Astaga, kamar ini hanya seluas kamar mandiku. Tidak deh kamar mandiku bahkan lebih besar dari ini. Miris sekali. Zahra apa kamu anak pemilik rumah ini? Sungguh? Oh ini sangat kecil hanya ada kasur, lemari dan meja belajar. Aku bahkan tidak melihat rak buku atau piano.

Aku pun melirik ke ruangan kecil di samping lemari dan ketika aku melihat ke dalam aku terkejut.

Aku sangat terkejut saat tahu kalau ini kamar mandi!! melihat kamar mandinya yang juga sangat kecil. Hanya ada shower dan WC duduk di sampingnya. Bahkan tak ada bathtub!

Aku menutup mulutku. Apa ini? Zahra sangat sangat miskin.

"Eherm tidak tidak, segini itu tidak miskin. Leoran, hanya saja anda terlalu kaya!"

"Ini miskin! Apakah anda buta! Lihat kamar mandi mini ini. Bahkan rumah Ricie (kucing peliharaan) lebih besar dari ini!!"

"Jika ini miskin lalu bagaimana dengan orang yang tinggal di kolong jembatan? bagaimana dengan orang yang tidur beralas kardus di depan depan ruko?"

Aku menutup mulutku terkejut. Pembohong!! Tidak mungkin ada yang tinggal di kolong jembatan atau tidur di depan ruko!!

Aku pun menenangkan hatiku yang kaget parah. Aku duduk di tepi kasur mengatur nafas. Tidak tidak ini sangat mengerikan. Aku harus segera menjadi kaya. Astaga.... Aku tak pernah sekaget ini.

Setelah tenang aku pun melihat tanggal di hp. Waktu telah mundur 1 tahun sebelum tanggal kematian Zahra.

Aku pun merenggangkan tubuhku. Melihat melalui ingatan gadis ini aku mengambil kaca di laci belajarku. Melihat wajah ini aku lega. Setidaknya wajahnya gak jelek banget. Matanya coklat dan bentuknya seperti phoenix. Hidungnya lumayan mancung. Bibirnya juga cukup tebal berisi. Ya tidak buruk. Setidaknya masih enak kulihat.

Dengan santai aku membuka lemari pakaiannya dan terkejut melihat bajunya yang sedikit dan hanya ada warna hitam dan putih. Jika itu lemariku pasti Ira akan membuang semuanya dan menggantinya dengan baju baru penuh warna.

Zahra juga hanya punya kaos dan celana panjang saja.

"Apakah kamu perempuan? Ah tidak tunggu. Terima kasih seleramu sungguh membantu. Aku tidak terbiasa memakai rok pen-"

Ucapan belum selesai ketika mataku melihat rok sekolahnya yang pendek. Mungkin di atas lutut. Baik aku menarik kalimatku kembali. Sabar Aran... sabar... ini ujian.

Melihat jam di dinding sudah pukul 6 pagi, aku pun segera mengeluarkan seragam itu dan pergi mandi.

Setelah mandi dan bersih bersih aku memakai seragam itu. Ah entah kenapa aku merasa tidak nyaman. Aku pun berusaha tidak memikirkan setengah kaki ku yang terekspos.

Aku fokus menyisir rambut Zahra yang sangat kusut ini dengan penuh ketabahan. Aku berani taruhan bahwa anak ini belum menyisir rambutnya selama seminggu! Sial! Ini rambut atau sapu ijuk!!

Setelah setengah mati menyisir rambut, aku langsung mengikatnya agar tidak kusut lagi terkena angin.

Lalu aku pun mengambil tas make up di kolong kasur. Zahra membeli make up ini sebulan yang lalu tapi dia tak pernah berani memakainya. Bocah nolep ini takut akan di olok olok temannya.

Zahra bukankah kamu anak SMA? Adikku bahkan sudah pakai make up sejak dia kelas satu SD! Kenapa harus malu? Santai aja. Mereka juga pakai make up. Ayo taruhan denganku jika temanmu semua pakai make up. Jika aku menang beri aku 50 tahun umurmu bagaimana?

"Leoran tolong hentikan! Lagi pula jiwa Zahra sekarang sedang tidur panjang dia tak bisa mendengar anda!"

"Andalah yang harus diam! Mengapa anda selalu mendengarkan saya. Pergi pergi!"

"... HORMATI SAYA SEDIKIT DASAR BOCAH!"

Cih.

Aku pun duduk di bangku belajar dan mengingat ingat cara Ira berdandan. Aku juga mengingat ingat yang mana yang namanya bedak, alis, dan lipstik.

15 menit kemudian aku selesai berdandan. Aku membuka laci Zahra dan melihat ada banyak kalung, gelang, dan cincin. Ya.. Perempuan tetaplah perempuan.

Tapi aku tidak mengerti mengapa Zahra malu memakainya. Semua aksesoris ini keren kenapa hanya dia simpan. Padahal aku pikir semua ini cocok jika di pakai olehnya. Lihat adikku Ira, apapun yang ia pikir cantik dia akan memakainya, bahkan mutiara pun di pakai sampai ke rambut.

Aku mengambil anting yang menurutku cantik dan memakainya. Anting perak ini berbentuk bintang. Sangat simple dan elegan. Lalu aku melihat kalung perak di dalam kotak dengan buahnya yang berbentuk bola. Seingatku ini adalah kalung peninggalan ibunya.

"Do you want to wear this necklace? This is your mom necklace." ucapku pada orang di cermin.

"Pakai saja okay? I'm afraid you dont have the chance to use it in other time."

Pada akhirnya aku memakainya tanpa ragu.

Aku juga memakai gelang hingga tiga buah di tangan kiriku lalu cincin perak di tangan kanan. Nah ini baru sempurna.

"Apa kamu senang?" ucapku bicara pada orang di cermin.

Seakan memakai itu semua tak cukup aku mengambil spidol hitam permanen dan mewarnai kuku Zahra. Bukan hanya sekedar mewarnai. Aku membentuknya menjadi pola yang indah.

Setelah selesai aku mengambil tas selempang merah yang tergantung di sisi meja belajar dan keluar dari kamar.

"Selamat pagi sa-." ucap Ibu tiri Zahra. Ia berhenti di tengah kalimat ketika melihatku.

"Oh kamu dandan Zahra? Ya itu bagus. Perempuan memang harus seperti itu." sambungnya.

"Duduk sini kak kita sarapan." Ucap adik tiri Zahra. Aku ingat namanya Gebi. Dia seumuran dengan Zahra bahkan satu sekolah dengan Zahra.

Melihatku dia agak terkejut namun dia langsung mengendalikan ekspresinya. Gebi tersenyum sangat lembut. Astaga... wajah ini benar benar lebih baik dari Zahra. Jika Zahra memiliki wajah jutek, adik tirinya ini seperti bunga lotus putih.

Aku tak mau banyak basa basi dengan keluarga ini.

"Ayah, ibu, aku berangkat duluan. Aku punya tugas yang belum selesai." ucapku mengacuhkan Gebi.

"Eum." jawab ayahnya.

"Oh yasudah, hati hati di jalan sayang." ucap ibu.

Aku tak menjawabnya dan langsung pergi.

Untunglah ayahnya sangat tidak peduli dengan Zahra. Jadi jika sikap Zahra berubah pun dia tak akan pernah memperhatikannya. Aku merasa nyaman.

Zahra kalau berangkat ke sekolah selalu jalan kaki. Aku menyumpal kedua telingaku dengan headset dan berjalan santai ke sekolah.

Sesampainya di sekolah aku langsung pergi ke kelas. Tentu saja aku mendapat perlakuan istimewa di kelas.

Aku melihat meja yang di coret habis begitu pun bangkunya. Jika zahra yang dulu pasti dia hanya akan diam tapi sayang sekali ini bukan Zahra. Ini Leoran putra keluarga Giovanni. Beraninya menggangguku.

Aku berbalik dan menatap perempuan yang katanya paling cantik di kelas ini, dia sedang tertawa haha hihi dengan temannya. Ketika dia sadar aku menatapnya dia langsung melotot.

"Apa loh liat liat?" ucapnya. Namanya Lea. Dia adalah musuh Zahra sejak SMP.

Aku pun menatapnya ke atas dan ke bawah lalu tersenyum sinis. Aih bahkan wajahnya biasa saja. Apanya yang cantik apa semua orang di sekolah ini buta atau apa.

Tiba tiba dia memukul mejanya dan menghampiriku dengan agresif.

"Maksud lu apa liat gua kayak gitu hah? Karena baru dandan sekali aja lu merasa cantik gitu? Ngaca lagi gih." ucapnya. Suaranya sangat keras.

"Loh buta?! Mau gua anter ke dokter mata? Liat meja gua nih. Gak usah ngelak gua tahu itu perbuatan lu. Selama ini gua diam ya tapi lu makin ngelunjak aja." serangku yang tak mau kalah.

Dia langsung menamparku tapi aku menangkap tangannya lebih dulu.

"Gua rasa lu yang harus ngaca." ucapku lalu mendorongnya hingga jatuh duduk di lantai. Dia tampak sangat syok.

"Lea!" ucap dua sahabatnya terkejut. Mereka bergegas membantu Lea berdiri. Mereka sangat kaget karena tak menyangka Zahra akan membalas.

"Lu!! Dasar anak p*l*c*r! Belagu!!" ucap Lea kesal.

Aku pun hanya memberinya jari tengah. Lalu aku tidak lagi memperhatikannya.

Aku fokus membersihkan bangku dan mejaku dengan alkohol yang baru aku beli di toko. Aku sudah belajar dari ingatan Zahra yang kelam. Aku tak bodoh seperti Zahra yang pasrah di bully. Kakak Zahra kamu bahkan lebih tua dariku. Kamu harus tahu kapan harus bertarung.

Saat aku sedang membersihkan meja Lea tiba tiba ingin menjambakku tapi aku menghindar tepat waktu. Aku segera berbalik dan menjambak rambutnya lebih dulu.

"Aaaa..." teriaknya.

"Zahra apa apaan sih lu!" ucap sahabat Lea yang rambutnya pink namanya Barbie. Dia bergegas ingin membantu Lea tapi aku menendangnya jatuh tanpa ampun.

"lu gak usah ikut campur! Denger ya j*l*ng! jangang ganggu gua!!!" teriakku kesal lalu mendorong Lea menjauh sampai ia menghantam meja sebelah. Sahabatnya yang lain segera membantunya berdiri. Oh benar namanya Zoa. Aku nyaris lupa.

Lea menatapku ganas. Dengan rambut berantakan dia mirip sekali seperti hantu. Aku pun melipat tanganku di dada dan mengangkat kepalaku bangga. Aku menatapnya dari bawah mataku dan dengan puas berkata,

"dasar sampah."

Mata Lea langsung merah dan dia pun segera pergi keluar kelas menangis. 2 sahabatnya Barbie dan Zoa pun pergi menyusulnya.

Aku mendengus dingin lalu kembali membersihkan bangku dan mejaku lagi.

Tak lama seorang perempuan datang menghampiriku. Namanya Shafa. Shafa ini sahabatnya Zahra waktu SMP tapi ketika Zahra mulai di bully Shafa memilih menjauh. Hah adakah sahabat seperti itu.

"Eum... Zahra aku bantuin ya." Ucap Shafa sembari mengambil lap yang lain yang ada di dekat kaki meja Zahra.

Aku hanya diam saja tak menanggapi.

Setelah bangku dan meja bersih pas sekali bel berbunyi.

"Makasih ya." Ucapku pada Shafa. Biasa basa basi.

"Ih gak perlu sih kitakan temen." ucapnya. Aku pun hanya tersenyum.

Temen? yakin? batinku.

"Leoran, apa anda selalu seantagonis itu?" ucap Cakara tiba tiba. Suara itu muncul begitu saja di dalam kepalaku.

"Apakah anda memiliki masalah dengan sikap saya? Selama ini saya menahan diri. Bukankah ini kesempatan saya?" ucapku kesal. Entah kenapa setiap mendengar suara jahanam itu aku selalu memiliki dorongan untuk mengutuk orang.

"Tidak hanya ingin mengingatkan bahwa kamu harus lebih sabar. Ingat kamu disini untuk mengubah takdirnya. Jangan telalu cepat berubah atau semua orang curiga!"

"Bagian mana dari mata anda yang melihat saya tidak sabaran? apa anda ingin saya pasrah saja di tindas ikan teri itu? atau anda ingin melihat saya ke sekolah dengan rambut sapu ijuk? hah? ayo bicara."

Cakara "...."

Sepanjang pelajaran tak ada satu pun orang yang menggangguku lagi jadi aku dengan tenang mendengarkan pelajaran pak guru.

Pak guru awalnya terkejut ketika melihat Zahra yang tampil beda hari ini. Bahkan memuji Zahra yang rapih.

Tiba tiba sebuah bar kosong muncul di depan mataku dan bilah biru maju sedikit.

"Apa ini?" tanyaku pada Cakara.

"Ini sepertinya bilah perubahan nasib. Setelah penuh anda bisa kembali." Jawab Cakara.

Saat aku sedang mencatat aku mendengar banyak siswa yang berbisik tentangku.

"Apakah mataku salah lihat atau... Zahra sudah berubah?"

"Ais aku hampir saja mengira dia orang lain."

"Zahra hari ini beda banget gak sih."

"Iya, astaga... hari ini kayak... cantik gak sih. Beda banget."

"Dia Zahra yang gua kenalkan? Zahra si suram itu?"

"Dia si pendiem itu kan?"

"Eh lihat deh bibirnya. Ombreannya bagus banget. Jadi keliatan beda banget."

"Sikapnya beda banget gila. Dia kenapa ya?"

"Gak tahu."

"Marahnya orang pendiem serem banget ternyata."

Mendengar bisikan itu aku tersenyum puas.

"Gila, liat senyumnya."

"Wahh... gila. Jahat sih tapi... suka."

To be continues...

Terpopuler

Comments

Mollue D.O

Mollue D.O

penulisannya bagus banget 🥺🤍

2023-04-29

1

Dinnost

Dinnost

Hahh..
tarik napas dan buang pelan2 Aran.

2023-04-20

1

Dinnost

Dinnost

Aku juga ingin segera menjadi kaya.
tapi ....

2023-04-20

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!