Chapter 2 (Menahan Diri)

Akhirnya hari yang paling tidak aku suka tiba. Ini adalah hari pertama aku masuk sekolah atau bisa di bilang MOPD.

Siapa yang akan bersemangat jika tahu akan pergi berakting sepanjang hari. Menahan diri agar tidak memukul domba bodoh pembohong, maksudku manusia. Belum lagi ada penghisap darah menyebalkan.

"Mengapa kamu terlihat tidak bahagia?" Tanya ibu sembari menaruh roti bakar di piringku.

Kak Ian yang sedang minum kopi meletakan kembali kopinya dan menatapku serius.

"Apa dia tidak bahagia?" Tanya kak Ian.

"Lihat saja wajahnya. Terlihat lebih lelah dari biasanya. Itu bagus Aran lebih manusiawi seperti ini." Ucap Ibu senang.

"Benarkah? Kenapa dimataku dia terlihat sama saja?" Ucap Kak Ian.

"Itu tandanya kamu kurang perhatian. All will be alright dear." Ucap ibu sembari mencium keningku.

Aku hanya diam saja sembari menggigit roti, tak lama aku mengingat sesuatu,

"Kak Ian. Kak Intan bertanya padaku semalam. Dia bilang apa kamu baik baik saja dan dia merindukanmu." Ucapku.

"Benarkah? Aku memang sudah lama tidak melihatnya. Kalau begitu aku akan ke Serang hari ini untuk melihatnya."

"Itu bagus, jangan kembali cepat cepat." Saranku.

"Hehe lihat dirimu, saat masih kecil kamu cukup manis dan menempel padaku. Mengapa semakin besar semakin pahit."

"Hanya perasaanmu saja."

"Hehe benarkah? Aku sebenarnya cukup khawatir. Aran kamu itu kadang sangat bebal. Dengar ya jika ada yang mengganggumu katakan padaku. Seperti... menyembunyikan barangmu, memukulmu, mengatakan kata kata kotor. Kamu pahamkan?"

"Eum." Jawabku acuh tak acuh.

"Aku ini kakakmu tahu, sayang padaku sedikit."

"Aku tahu, pergilah."

"Ais kejamnya."

Setelah selesai sarapan aku dan Ira berangkat ke sekolah bersama.

Sesampainya di sekolah aku pun memakai kacamata hitam sembari turun dari mobil. Tepat saat aku membuka pintu banyak flash camera memotretku. Aku pun hanya tersenyum dan berjalan melewati para wartawan.

"Leoran apakah anda akan vakum dari dunia hiburan?"

"Leoran apakah benar ini pertama kali anda bersekolah?"

"Mengapa anda memilih sekolah ini?"

"Apakah benar anda akan vakum? Leoran?"

"No time, no time." Ucapku sembari terus berjalan masuk ke gedung sekolah bersama Ira.

Yang tidakku sangka adalah aku di sambut oleh seorang guru di depan gerbang. Aku tak pernah mendengar ini dari ibu tadi malam.

"Leoran, selamat datang di sekolah kami." Ucap seorang laki laki setengah baya dengan seragam guru. Bapak ini tersenyum sangat ramah aku bisa melihat jiwanya yang bersinar terang.

"Terima kasih pak." Ucapku sopan sembari ingin menjabat tangannya maksudku salim.

"Ayo ayo silahkan masuk. Nama saya pak Bahri, saya mengajar pelajaran PPKN di kelas 10 dan 11."

"Oh iya." Ucapku seraya melepas kacamataku.

"Ngomong ngomong oleh saya minta foto?" Tanya pak guru ragu ragu.

"Oh tentu saja." Jawabku.

Pak Bahri dengan sangat cepat mengeluarkan hpnya dan mengambil beberapa foto selfie denganku.

"Terima kasih, oh iya Ibu Sakira bilang Leoran pertama kali sekolahkan biar bapak ajak kalian berdua keliling sekolah." Ucap pak Bahri antusias sembari menyimpan hpnya.

"Terima kasih pak." Ucapku dan Ira

Saat kami memasuki gedung,

"LEORANNNNNN..."

Aku kaget mendengar teriakan antusias. Rupanya banyak siswa yang keluar dari dalam kelas hanya untuk menyambutku.

Sekali lagi banyak flash yang menyala.

"KYAA LEORANNN..."

"LEORANNN KAMU GANTENGGG"

"KYAAAAAAA..."

"SAFIRAAAA KAMU CANTIKKK!"

"SAFIRA I LOVE UUU!"

"SAFIRA JADI YANG KEDUA PUN GUA RELAAAA!"

"HAMILIN AKU LEORAAANNN!"

"YA ALLAH TOLONG YA ALLAH!!"

"Kak, ini pertama kalinya aku disambut ketika datang ke sekolah." Bisik Ira

"Oh? Memang tidak seperti ini biasanya?"

Ira pun hanya menatapku tak bedaya dan menggelengkan kepalanya.

"Aku tak akan mengatakan apa apa karena aku tahu kamu tidak pernah sekolah."

Aku "???"

"Apakah ini sekolah atau jumpa fans." Gerutu Ira.

"Di lantai dasar ini ada ruang guru, TU, ruang osis dan kantin. Mari kita ke kantin dulu yang terdekat." Ucap Pak guru sembari membawa kami ke kantin.

Di kantin pak Bahri membelikan aku dan Ira minuman dan makanan ringan. Sebagai manusia ia cukup murah hati. Bibi kantin juga cukup baik, dia bilang aku bisa makan di tempatnya secara gratis selama sekolah.

Aku hanya tertawa mendengarnya dan mengucapkan terima kasih. Aku tahu bibi hanya basa basi, maaf tapi jiwa tak bisa berbohong.

Dari kantin pak Bahri membawaku ke perpus, lalu ke ruang TU. Lalu setelahnya ke ruang Osis. Sampai di sana aku dipeluk ketua Osis dan anggota osis lainnya.

Mereka bilang aku wangi uang dan sangat tampan. Aku baru tahu jika aku wangi uang. Mungkin itu wangi parfum yang Ira semprotkan padaku pagi ini ketika di mobil.

Setelah ruang Osis aku di bawa ke ruang guru. Sekali lagi aku di peluk oleh semua guru di sana.

"Eh ayo ayo semua foto foto." Ucap para guru.

"Ibu nonton loh film kamu yang judulnya Impossible. Ih ibu sukaaa banget."

"Terima kasih ibu." Ucapku full senyum.

"Ya Allah kasep pisan ih."

Ada guru yang sedang hamil, dia selalu mengusap pipiku dan berkata,

"Semoga mirip semoga mirip ya Allah." Ucap guru itu membuat Ira tertawa.

"Aduh lihat hidungnya ya ampun bagus banget."

Setelah foto, sapa, tanda tangan dan sebagainya aku dan Ira di bawa ke ruang kepala sekolah. Kami disajikan teh hangat dan cemilan.

Aku tidak tahu apakah ini terlalu berlebihan. Sungguh aku hanya artis kecil. Aku curiga apa mereka di suap ibu?

"Silahkan." Ucap pak Bahri lalu dia duduk di sampingku.

"Pertama kali juga aku disajikan teh sama guru di ruang kepala sekolah. Wow." Bisik Ira.

Aku "?" apakah anak baru tidak di sambut tidak seperti ini pada umumnya?

Tak lama seorang laki laki tua berjas masuk ke ruangan.

Yang membuatku terkejut adalah aura ungunya yang sangat kental. Wah aku jarang melihat vampir yang telah hidup begitu lama.

Aku pun segera berdiri dari sofa begitu pun Ira dan pak Bahri.

"Ah gak usah sungkan duduk duduk." Ucap laki laki itu dengan senyum ramah.

Kami pun duduk kembali dan laki laki itu duduk di sofa seberangku.

"Saya Cakara, kepala sekolah di SMKN Jagakarsa 1 ini," ucap laki laki itu.

Oh jadi namanya Cakara. Tunggu, sepertinya... aku pernah dengar disuatu tempat.

Pak Cakara pun menjelaskan padaku tentang sekolah ini. Siapa yang mendirikannya, tahun berapa berdirinya dan banyak lagi. Ia juga memberitahuku visi dan misi sekolah serta aturan dan sanksi yang ada.

"SMK ini memang sedikit berbeda, kami membebaskan siswa untuk memilih sendiri gaya rambutnya dan bagaimana mereka memakai seragam. Bagaimana pun kami menjujung kretifitas siswa." Ucap pak Cakara.

Aku pun mengangguk mengerti. Berani mengambil pemikiran berbeda dari masyarakat umum adalah langkah yang sangat berani dan jarang di jumpai. Benar benar seorang Vampir sejati.

Setelah berbicara tentang sekolah kami mengobrol tentang banyak hal sembari minum teh dan makan cemilan. Terus berlanjut sampai pukul 12 siang.

Aku dan Ira bahkan makan siang di kantor kepala sekolah tapi pak Bahri tidak ikut serta karena dia ingin makan bersama istrinya. Karena itu kini di ruangan hanya ada kami bertiga.

"Yah setelah 100 tahun saya baru melihat halimun lagi," ucap pak Cakara tiba tiba membuat Ira kaget.

"Rumor itu benar rupanya. Tak heran

kalian bisa makan makanan manusia. Campuran ya menarik."

Ira pun menatapku penuh tanda tanya. Aku sedikit mengernyit mengingat ingat orang ini. Cakara... Cakara...

Seketika hatiku dingin. Oh! orang itukah?!

"Sepertinya kamu mengenali saya nak. Hehe didikan Esador memang tak pernah gagal." ucapnya.

"Esador? anda tahu ayah kami?" tanya Ira.

"Ini pasti si bungsu. Hehe bukan hanya mengenalnya tapi akulah yang menyegel ayah kalian di mansion atas permintaan Lord Halimun terdahulu."

Ira sangat terkejut sampai dia berdiri dari bangkunya, "siapa kamu?!!" ucap Ira.

"Saya? Saya kepala sekolah ini. Bukankah saya sudah mengatakannya?"

Aku mendadak kesal mendengar omong kosongnya. Melihat tanda bulan dan bintang di dahinya berkelap kelip aku semakin yakin. Dia benar benar orang yang menyegel ayah, pemimpin organisasi pelindung dunia Cakara Agung Agastya. Sial aku lengah hingga tertangkap disini.

"Baik mari berhenti basa basi langsung saja intinya. Apa mau mu? Membunuhku?" tanyaku.

"Oh kamu tahu? kejahatanmu cukup besar."

"Kejahatan? Wah ucapan itu sangat kasar." ucapku.

"Apakah saya menyinggung? Maaf tapi tak ada kata yang lebih tepat menggambarkannya selain kejahatan. Perlu saya sebutkan? Baik mulai dari 11 tahun lalu 25 peri hilang dan terus menghilang setiap tahunnya hingga sekarang. Dan mulai dari 5 tahun lalu 15 vampir hilang setiap bulanya sampai sekarang. Leoran jangan bilang tidak tahu."

"Mengapa anda berpikir itu saya?"

"Sangat mudah menebaknya. Satu satunya alasan mengapa ayahmu hidup karena dia tidak membunuh tanpa pandang bulu seperti keluarga Esador lainnya. Dia juga orang penting yang berperan menggagalkan keluarga Esador yang berencana melawan Lord dan memusnahkan manusia."

Aku terdiam mendengarnya.

"Selain itu kakakmu penyayang makhluk, Adikmu pun memiliki hati ibunya. Tapi tentu anak kedua mereka berbeda."

Tiba tiba rasa krisis datang dari atas kepalaku. Aku tahu tak bisa menangkisnya karena itu aku mengelak dengan lompat ke belakang dan BAM!!! kursi dan lantai tempatku duduk hancur berkeping keping.

Aku pun melihat kerlipan sinar oren mengelilingi tubuh Ira. Dari udara tipis Ira mengeluarkan cambuk oren yang tipis dan tajam.

"Beraninya kau menyerang saudaraku!" Ucap Ira murka. Sebelum dia mengamuk aku segera menangkap cambuk jiwanya.

"Hentikan Ira." pintaku.

"Dia mau membunuhmu Aran!"

"Kamu bukan lawannya."

"Lalu kenapa! B*j*ng*n ini ingin membunuh saudaraku. Sangat berani!"

Tak lama sebuah kekuatan hebat datang kembali dari atas kepalaku mau tak mau aku melepas segel cincin ayah. Kekuatan yang selama ini tertahan di tubuhku meledak liar memukul balik kekuatan asing itu.

"Benar benar layak di sebut dewa kematian." ucap Cakara.

"Haruskah aku tersanjung?" ucapku sembari menggertakan gigiku. Cukup sudah orang ini benar benar membuatku kesal sampai mati.

"Leoran apa ayahmu tahu kamu membunuh mereka?"

Aku terdiam mendengar pertanyaannya. Tidak ayah tidak tahu. Tak satupun keluargaku tahu.

"Omong kosong apa yang anda bicarakan!" ucap Ira kesal.

"Omong kosong? silahkan tanya saudaramu apakah itu benar."

Aku diam tak menjawab.

"Aran, itu bohongkan? Tuhan kita melarang kita membunuh bahkan Ayah dan Ibu juga. Aran Jawab!!"

Aku membuka mulutku namun aku merasa tak bisa mengatakan apa apa. Banyak hal melintas dalam ingatanku seperti bagaimana para peri itu gemetar ketakutan, bagaimana para Vampir itu menjerit dan memohon untuk di lepaskan. Tapi hatiku tak sedikit pun tergerak. Rasa penyesalan atau apapun itu aku sama sekali tak merasakannya bahkan hingga detik ini.

"Maaf Ira tapi... aku tidak mengerti mengapa kita harus menahan diri." ucapku pada akhirnya.

"Apa?"

"Kenapa ayah menyegelku hingga mengorbankan umurku? Kenapa bukan orang lain yang mati? Kenapa harus aku?"

TARRR!

Aku terkejut merasakan tamparan kuat di pipiku. Pipiku terasa sakit seperti di sengat. Aku menatap Ira tak percaya.

"Aran... Kamu... Berapa banyak? Berapa banyak Aran?" ucap Ira tubuhnya gemetar hebat. Mata Ira yang seindah Safir mulai basah. Aku bisa melihat aliran air yang meluncur di pipinya. Begitu banyak hingga mereka menetes ke lantai.

"Sebanyak apa? Bukankah kamu mendengarnya sendiri, sejak 11 tahun yang lalu." ucapku.

Ira sangat terkejut hinga menutup mulutnya. Melihat reaksinya seperti itu entah kenapa hatiku sangat tidak nyaman. Aku tidak membunuh manusia mengapa reaksinya begitu hebat? Melihatnya menangis begitu sedih aku merasa tamparan Ira di pipi jauh lebih menyakitkan seiring waktu hingga terasa sampai ke jantungku.

"Ira jika aku tak membunuh satu pun apa kamu pikir aku masih bisa berdiri disini!! Bisakah jiwa hewan yang kecil itu membuatku tetap hidup lama! Tidak mungkin! Aku pasti sudah di kubur di tanah suci sejak 5 tahun yang lalu!!!" ucapku kesal! Aku sangat kesal. Tidak mengerti dimana letak kesalahanku.

Bukankah aku hanya membunuh peri dan Vampir? Aku tidak membunuh manusia satu pun meski aku sangat ingin!

Ira menjatuhkan senjata jiwanya. Ia menutup kedua telinganya dan berjongkok di tempat. Menangis sangat sedih.

Apa salahku begitu besar hingga ia menangis seperti ini?

"Aran." panggil Cakara tiba tiba.

Aran pun menatap tajam padanya

"Halimun, peri, vampir atau pun manusia mereka semua sama. Sama sama makhluk hidup, sama sama berakal dan memiliki keluarga. Nak, jika kamu terus membunuh kamu akan di kutuk."

Aku pun menggertakkan gigiku. Apa dia mengancamku?!

"Aku tidak mengancammu," ucapnya seakan dia bisa membaca pikiranku. Aku menatapnya dengan kejam namun disisi lain dia hanya tersenyum main main. Aku merasa... sangat terhina untuk pertama kalinya.

"Aran, mari berpikir seperti ini jika adik dan ibumu hilang tanpa kabar apa yang kamu rasakan? Aku menolak percaya bahwa kamu tak akan perduli."

Mendengarnya hatiku mendingin seketika.

"Lalu ketika di cari kamu hanya menemukan jasad mereka yang bahkan tidak utuh lagi dan membusuk. Apa kamu akan marah?"

Aku tidak tahu apa yang terjadi hanya saja hatiku merasa sangat tidak nyaman memikirkannya. Kaki dan tanganku bahkan mendingin sekejap mata.

"Mari berhenti disini, dan tebus semua dosamu." ucapnya.

...*********...

Author pov :

Pada akhirnya Aran menarik kembali kekuatannya. Dia juga memakai kembali segel cincinnya.

Kepala sekolah sangat puas dan mengulurkan tangannya.

Tiba tiba sebuah borgol hitam muncul dari udara tipis dan melingkar kuat di leher Leoran

"Ini adalah kutukan. Membunuh begitu banyak makhluk, hidupmu kian memanjang. Tapi hari ini atas nama keadilan aku mengambil kembali hal yang bukan hakmu. Dan hanya menyisakan waktu 3 tahun untukmu. Selama 3 tahun itu tebus lah dosamu dengan melakukan kebaikan. Leoran aku mengawasimu."

Tak lama jam besar di ruangan berdentang keras dan seluruh ruangan kembali seperti semula.

Begitu pun Aran dan Ira yang kembali duduk di kursi mereka seakan semua tak ada yang terjadi. Jika bukan karena borgol hitam yang melingkar di leher Aran. Ira akan mengira semuanya hanya ilusi.

"Kesombongan Halimun sebenarnya setinggi langit. Itulah mengapa keluarga Esador hancur. Mereka berani melawan langit. Aran juga jika bukan karena ada darah manusia mengalir dalam nadinya dia pasti benar benar akan membunuh manusia. Benarkan Aran?" ucap Kepala sekolah.

Namun apa yang bisa Aran katakan lagi, hanya Tuhan yang tahu berapa banyak Aran menahan diri.

Apa itu kasih sayang, apa itu belas kasihan. Aran sama sekali tidak mengerti, dia tidak merasakannya. Mau sejelas apa pun ibunya menggambarkannya, Sebanyak apa pun keluarganya memberikan contoh. Aran hanya bisa menirunya.

Bahkan ketika ibunya mencium dan memeluknya. Tak sedikit pun Aran merasakan rasa hangat yang sering ibunya katakan. Kehangatan? Seperti apa itu?

Aran tidak tahu tapi... dia hanya menahan diri sebanyak yang ia bisa. Hanya itu saja.

To be continues...

Terpopuler

Comments

Nicky

Nicky

menarik ceritanya thor

2023-08-08

0

Dinnost

Dinnost

😱😱😱
sisa 3 thn mak..

2023-04-19

1

Dr. Rin

Dr. Rin

sudut pandang orang ketiga?

2023-04-13

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!