Chapter 3 (Hukuman Yang Setimpal)

Hari itu berakhir dengan sangat tidak terduga. Bertemunya Leoran dengan Cakara Agung sampai ke telinga Leo.

Apa yang menunggu Aran di rumah adalah amukan lainnya. Leo tak menyangka anak keduanya akan melakukan tabu yang amat sangat ia benci.

Ketika Aran sampai di rumah sebuah tendangan mendarat di dadanya membuatnya terlempar 10 meter jauhnya. Di udara untuk mengurangi hantaman Aran melakukan backflip dan mendarat tanpa terbentur tanah. Dia cukup kaget dengan pukulan tiba tiba.

"Merasa dirimu begitu tinggi! Siapa dirimu hingga berani mengambil nyawa orang lain!!" Ucap Leo. Suaranya menggelegar bagaikan petir.

Dengan marah Leo mengambil box berisi lembaran kertas dari tangan asistennya dan melemparkannya ke wajah Aran.

"Apa mereka semua memiliki salah padamu? Apa yang mereka lakukan hingga kamu membunuhnya? Tahukah dosa mu begitu besar hah?! Cakara terlalu baik memberimu hidup tiga tahun!!!"

"Lihat Sakira? Lihatkan! Aku sudah bilang padamu berkali kali bahwa anak ini tidak boleh hidup. Sekarang kamu tahu alasannya. Bahkan jika kamu mengajarkannya cinta dia tak akan pernah bisa mengerti."

Leo menatap anaknya yang berwajah batu. Tak ada emosi bahkan setitik pun.

"Apa kamu menyesal?" tanya Leo.

Aran pun menggelengkan kepalanya dengan jujur.

"Baik. Berlutut." Ucap Leo. Ia mengangkat tangannya ke langit. Kabut hitam merangkak keluar dari dalam tanah. Kabut itu berkumpul menjadi satu membentuk sebuah cambuk besar yang mengerikan.

Dengan satu hentakan Leo mencambuk anak keduanya dengan kejam. Tubuh Aran terhempas menabrak pohon hingga pohon itu tumbang. Dia menghantam tanah dengan keras dan berguling beberapa kali. Belum sempat bangkit cambuk berat itu jatuh kembali di tubuhnya.

Sakira menutup matanya rapat rapat. Dia tak tahu kenapa semuanya menjadi seperti ini. Jelas dia mendidik Aran dengan teliti. Memberinya contoh yang terbaik. Menasehatinya dengan sangat sangat baik. Kenapa... Kenapa hal seperti ini terjadi.

Berlusin lusin cambuk jatuh di tubuh Aran namun tak ada jeritan apapun selain suara cambukan yang menggelegar sekeras guntur. Aran mengigit bibirnya erat erat mencoba menahan pedihnya cambuk jiwa yang mencabik kulitnya.

Beberapa kulit di tubuhnya robek dan darah mengalir hingga ke tanah namun cambuk itu tidak pernah berhenti.

Dengan keras kepala Aran bertahan.

"Ayah aku mohon berhenti. Aran akan mati jika terus seperti ini!" Ucap Ira.

"Leo tolong... Aran masih kecil!" ucap Sakira

"Anak kecilmu telah membunuh lebih dari 100 orang."

Aran terus bertahan hingga telinganya berdengung. Pandangannya perlahan kabur...

...**********...

Leoran Pov :

Ketika aku membuka mata rasa sakit yang hebat menghantamku. Aku menutup mulut rapat rapat. Aku merasa seperti tubuhku di robek beberapa bagian dan disambungkan kembali. Sangat sakit.

Perlahan lahan pandanganku yang buram kembali jelas. Apa yang aku lihat adalah platform kayu coklat kamarku.

Aku melihat sekeliling dan ada ibu yang tidur di bangku kayu di sampingku. Wajahnya yang dulu sehat dan cantik sekarang tampak lelah dan kuyu. Mungkin dia belum tidur beberapa hari.

Jiwanya...

Aku ingin menyentuh tangan ibu yang dekat tapi aku sama sekali tidak bisa begerak. Bahkan satu jari pun tak mampu kuangkat.

Sekarang aku sadar separah apa kondisiku.

Padahal aku baru sadar tapi rasa kantuk yang hebat menghantamku lagi setelah aku berusaha bergerak. Aku tak pernah seperti ini sebelumnya. Pada akhirnya aku tertidur lagi.

ketika aku membuka mata aku sudah berada di tempat yang berbeda.

Aku berada di padang rumput yang luas sangat luas dan penuh matahari yang trik. Aku tak tahu dimana aku. Apa aku sudah mati?

Aku ingin pergi tapi ketika aku melangkah kakiku tertahan sesuatu. Spontan aku melihat ke bawah. Ternyata tangan dan kaki ku di rantai ke tanah.

"???"

Aku berusaha membebaskan diri tapi apa pun yang kulakukan rantai ini tak juga putus. Rantai ini lebih kuat dari yang kuduga.

Tak lama aku melihat sosok yang sangat kukenal. Ira berlari kearahku dengan sangat gembira.

"Arannn..." teriaknya. Dia tampak senang. Senyumnya bahkan sangat indah. Tanpa mengatakan apa apa dia memelukku sangat erat.

"Aku sayang padamu." ucapnya.

Ya aku juga sayang.

setelah melepaskan pelukannya dia berlari pergi aku baru ingin bertanya kemana dia akan pergi tapi tak ada suara yang keluar dari mulutku. Aku berteriak memanggilnya tapi suaraku tak juga keluar.

Dia terus berlari semakin jauh tapi tak lama sebuah anak panah datang entah dari mana menusuk jantungnya.

Aku sangat terkejut hingga tubuhku kaku. Dengan sekuat tenaga aku berontak ingin mematahkan rantai sialan ini.

IRAAAAAA...

Apa yang bisa kulihat hanya tubuhnya yang jatuh ke rerumputan. Hatiku.... Sangat sakit. Sakit hingga tak bisa kujelaskan.

Tak lama aku melihat sosok lain membawa busur. Tubuhnya tinggi dan keriput dengan aura ungu yang jelas. Sosok itu menatapku dan hatiku seketika mendingin.

Sosok itu... Adalah orang yang aku bunuh 4 tahun yang lalu.

Dia menembakan panah beberapa kali lagi ke tubuh Ira lalu menarik panah panah itu sembarangan. Aku berteriak marah! bajingan!! bajingan! aku akan mencabik orang itu sampai hancur. Tapi apapun yang aku lakukan aku tak bisa berbuat apapun selain meraung tanpa suara. Pada akhirnya aku hanya bisa menyaksikan orang itu menyeret Ira pergi dengan menarik rambutnya. Terus menyeretnya seperti itu.

AAAAAAAAAAA

Di tengah rasa frustasi aku melihat ibuku yang entah datang dari mana. Ia tampak kebingungan seperti sedang mencari seseorang.

Aku panik!

"IBU PERGIII! PERGI DARI SINIII PERGIII!" Teriakku.

Namun sekeras apapun aku berteriak aku seperti orang bisu!

Ketika ibu melihatku dia tampak sangat bahagia dan segera berlari ke arahku. Aku berusaha mengisyaratkannya untuk pergi namun dia tidak mengerti dan terus berlari ke arahku. Tak butuh waktu lama aku melihat... Aku melihat kepala ibuku jatuh ke tanah.

Dadaku sakit dan pengap. Aku menarik paksa rantai di tangan dan kakiku. Aku tak perduli apa tangan dan kakiku akan putus. Rasa sakitnya tak sebanding dengan yang kurasakan ketika melihat ibu dan Ira dibawa pergi seakan mereka adalah hewan hasil buruan.

Untuk pertama kalinya dalam hidupku aku merasa sangat putus asa. apa ini karma? Apa ini karmaku disini menyaksikan keluargaku mati satu persatu karena ulahku?

Tidak! Tidak! Bukan ini yang aku inginkan!

Baiklah aku salah! Tuhan aku salah!! Aku mengerti dimana letak kesalahanku. Aku tak akan mengulanginya lagi... biarkan aku tanggung sendiri dosa ini Tuhan. Aku mengerti Tuhan. Aku tak boleh membunuh tanpa pandang bulu! Aku mengaku salah tolong lepaskan aku. Tolong lepaskan akuu...

Aku terus berteriak memohon di lepaskan. Berdoa semoga ini semua mimpi. Semoga Ira dan Ibu masih hidup dan sehat. Namun pandanganku gelap seketika.

Ketika aku membuka mata segera cahaya matahari menusuk mataku. Tanpa sadar aku mengangkat tangan untuk menghalangi cahaya.

Berangsur angsur pandanganku pun menjadi jelas. Aku melihat sekitarku yang sangat cerah. Melihat ruangan yang familiar aku sadar aku ada di kamar.

Tubuhku sudah basah dengan keringat dingin.

Mimpi kah? Mimpikan?

Perlahan aku bangkit duduk di kasur. Tak ada siapapun di ruangan ini. Bahkan Lady yang biasa menungguku 24 jam tak ada di sampingku.

Aku berusaha tenang.

Perlahan aku turun dari kasur. Aku berjalan menuju pintu kamar dan membukanya. Mansion sangat sepi. Kemana semua orang pergi?

Aku pun turun dari lantai dua dan ketika sampai di ruang tamu aku terdiam.

Aku terdiam sejenak melihat fotoku di pajang bersama dengan lilin dan karangan bunga.

Apa Ini?

"Aran!" ucap seseorang. Aku baru menoleh dan Ira memelukku begitu erat.

"Aran kamu sudah bangun?" ucap Ira senang.

"Ira... Itu..." Ucapku menunjuk fotoku.

"Ah itu..."

"Itu permintaanku." ucap seseorang.

Aku melihat ke sumber suara dan melihat orang yang sangat kubenci masuk ke ruang tamu.

Cakara Agung Agastya. Aku mengunyah nama itu diantara gigiku.

"Apa maksud anda?" ucapku tak senang.

Tak lama ayah dan ibu datang dari ruang makan. Melihatku sudah bangun ibu berlari memelukku erat erat.

"Anakku... Anakku... syukurlah Tuhan..."

"Untuk menenangkan keluarga korban." ucap Cakara.

"Ya dengan di hukum matinya pelaku mereka jauh lebih damai," ucap Ayah.

"Nyatanya saya masih hidup." ucapku tak mengerti. Mimpi itu membuatku sadar bahwa aku tak bisa memaksa takdir. Jika aku memang di takdirkan mati muda aku tak akan melawan lagi. Aku hanya... tidak ingin orang orang di sekitarku terkena imbasnya.

"Yah itu karena kamu berhutang kebaikan untuk menebus kesalahanmu." Ucap Cakara tenang. Dengan santai ia duduk di sofa dan mengeluarkan sebuah dokumen dari tas kerjanya.

"Mengumpulkan seribu kebaikan tidak mudah karena itu aku akan membantumu." ucapnya. Ia menyerahkan dokumen yang sangat tebal padaku.

Aku pun meliriknya sinis dan mengambilnya ketika aku membukanya aku mengerutkan keningku dalam dalam.

"Ini..." ucapku tak bisa berkata kata.

"Selama tiga tahun ini kamu akan bekerja di bawahku untuk mengumpulkan kebaikan. Kamu cukup istimewa karena itu dari pada membunuhmu ini jauh lebih baik." Ucap Cakara.

Aku tahu ini. Sejak aku bertemu dengan Cakara Agung di sekolah aku tahu aku tidak akan dibiarkan mati begitu mudah.

Dokumen ini berisi data diri orang orang malang yang telah menyerah dalam hidupnya. Disini tertulis tugasku adalah mengubah takdir orang orang ini dan memberikan karma pada orang orang jahat yang mempersulit hidup orang malang ini dan beberapa wajah di data ini tampak sangat familiar untukku.

"Apakah ini data orang mati?"

"Ya dan sebagaian besar adalah korbanmu. Wah Benar benar benang takdir yang indah hehehe."

Aku pun tertawa tak percaya. Data Ini tebal! Lebih tebal dari kitab. Bisakah ini selesai dalam 3 tahun? Seriously? Dan lagi... Mereka sudah mati bisakah di ubah?

Ah aku lupa magic is magic okay?

Ya aku tahu ini tidak akan sesederhana itu. Feelingku berkata ini akan menjadi siksaan tak berujung!!

"Aku khawatir ini tidak akan selesai dalam 3 tahun."

"Hehehe sejujurnya mati terlalu mudah untukmu. Mengapa aku tidak membuatmu bekerja selamanya. Benarkan? Kekuatanmu sangat menguntungkan. Yah pokoknya semua bergantung pada kerja kerasmu. Bersyukurlah karena aku orang baik. Ubahlah masa depan mereka jangan sampai mati di tanganmu lagi."

Orang baik? Aku khawatir kamu lebih kejam dari iblis. Mengubah masa depan ya... Haha Ya Tuhan... Cakara aku tak pernah sedendam ini pada seseorang. Aku bersumpah akan membunuhmu di penghujung hidupku.

"Aran segera ganti bajumu. Pelayan sudah menyiapkan jas yang bagus." Ucap Ayah tiba tiba.

Aku "?"

"Ya bagus juga kamu bangun tepat waktu." Ucap Ayah lagi.

Aku "?????"

...***************...

Kini aku mengerti apa yang ayah maksud.

Sekarang aku sedang berbaring di dalam peti mati memeluk buket bunga putih dan tentu saja ini di rumah duka.

Tangisan ira dan ibu tampak nyata. Apalagi ayahku yang dengan munafik meneteskan air di matanya dan pura pura sangat terpukul. Sungguh wajahnya sangat meyakinkan.

Banyak sekali yang datang, kebanyakan semua adalah rekan bisnis ayah dan ibu. Oh bahkan keluarga Antonio dan Espinosa menghadiri pemakamanku. Aku tahu karena aku mengenali suara mereka.

Tak hanya itu bahkan ada banyak wartawan dan reporter. Pemakamanku rupanya sangat meriah disiarkan secara live di seluruh stasiun tv.

"Sakira aku turut berduka, lihat dirimu sampai seperti ini. Kamu jadi sangat kurus." Ucap Tante Melodi dengan nada tertekan.

"Anakku bahkan umurnya belum 17 tahun."

"Aku mengerti, aku sangat mengerti."

Dap dap dap!!

Aku mendengar suara gaduh dan tiba tiba saja tubuhku di peluk sangat erat! Aku nyaris melompat dari peti dan memukul orang itu.

"TIDAKKKK TIDAK TIDAK BANGUNLAH ARAN! BANGUNLAH! TIDAK AKU TIDAK PERCAYAAA...!!"

"TUAN MUDA! TUAN MUDA TENANGLAH!"

"TUAN ARAN SUDAH PERGI!"

"BIARKAN DIA BERISTIRAHAT DENGAN TENANG!"

"TIDAK ARANNN, ARANN BANGUNLAH INI AKU IAN! INI IANN... ARAN AKU MOHON! AKU TIDAK AKAN MENGGANGUMU LAGI AKU JANJI. AKU MOHON JANGAN MATIII AAAAaaaaa...."

"Ian sudah, sudah lepaskan Aran," ucap ibu.

"Tidak mau. Ibu aku tidak mau. Aku belum jadi kakak yang baik. Aku belum menempati janjiku padanya. Bagaimana ini bisa terjadi! Bisakah aku menukarnya dengan setengah umurku? Ibuuu bangunkan adikku..."

"Kak Ian, Aran sudah pergi biarkan dia tenang." ucap Ira.

"Oh Tuhaannn cabut saja nyawaku. Aku mohon! tapi kembalikan adikku."

Aku merasa beberapa orang menarik kak Ian dengan paksa sampai pelukannya terlepas. Huh! Aku hampir saja berteriak kesal padanya "JIKA AKU MATI KAULAH YANG MEMBUNUHKU BODOH! MEMELUKKU BEGITU ERAT!"

Setelah acara tangis menangis selesai pendeta mulai membacakan doa. Aku masih setia menutup mata dengan tenang sampai doa selesai. Peti matiku pun di tutup dan aku merasa peti ini terangkat.

Akhirnya aku bisa membuka mata. Dengan santai aku mengambil hp dari saku. Menunggu pemakaman selesai itu sangat membosankan, jadi untuk mengusir rasa bosan aku bermain game dengan mode silent.

Sesekali aku akan merasa petiku terguncang bahkan nyaris terbalik. Aku tahu siapa pelakunya. Tentu saja itu kak Ian yang mengamuk di luar sana meminta Tuhan mencabut nyawanya. Si bodoh itu.

Aku ingin sekali dia bersyukur atas umurnya yang panjang meski hanya sekali saja.

Ya Tuhan, Kak Ian dan Ira adalah orang baik. Aku berharap mereka akan hidup lebih bahagia tanpa aku di sisi mereka.

Kak Ian, Ira. Aku tak akan melihat kalian lagi setelah hari ini. Padahal aku ingin makan bersama kalian lagi. Membicarakan hal bodoh di akhir pekan.

Sebenarnya aku tak membenci Ira yang suka berteriak padaku. Aku juga tidak membenci sikap posesif kakak yang suka menyadap hpku. Aku tak membenci kasih sayang ibu yang terkadang berlebihan. Aku juga tak pernah membenci sikap dingin ayah padaku.

Kakak aku bahkan masih ingat janjimu tiga belas tahun lalu.

Kakak bilang kakak akan menjadi dokter dan ilmuan hebat. Suatu hari nanti kakak akan membuatku bisa tertawa dan menangis seperti manusia pada umumnya.

Hah~ padahal aku sangat menantikannya. Aku ingin bisa tertawa bersamamu dan Ira dan... aku ingin bisa menua bersama kalian.

Sayang sekali aku menempuh jalan yang salah karena putus asa. Ya setidaknya aku tahu kalian akan baik baik saja.

Jaga ayah dan Ibu untukku. Aku tahu kalian lebih dari mampu melakukannya. Aku bukan anak yang baik karena membuat ibu menangis tapi kalian berbeda. Kalian tak pernah membuat ibu menangis.

To be continues...

Terpopuler

Comments

Nicky

Nicky

seruu

2023-08-09

0

Nenieedesu

Nenieedesu

sudah aq like dan favoritkan kak

2023-06-19

0

Dinnost

Dinnost

Kata2nya menyentuh, tpi mengingat siapa Aran, mukanya pasti datar2 aja di situasi terharu ini,

2023-04-20

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!