Noda Malam Pertama

Jeje duduk manis di atas ranjang pengantin, bertebaran kelopak bunga mawar, cahaya lampu yang sedikit remang, sesekali sambil menatap langit-langit kamar.

Sang Suami pun masuk, dan mengunci rapat pintu kamarnya.

Hatinya seketika bergemuruh, mendengar setiap langkah kaki suaminya itu yang semakin mendekat ke arahnya.

Pengenalan mulai jelas di wajahnya.

"Jeje Kirana. Siswi paling angkuh di kelas bahasa,"ucap Roudullah, "Apakah kamu masih menuntut dendam pada saya?"

Wajahnya berkerut mendengar ucapan dari suaminya.

"Saya jadi takut mengatakan yang sejujurnya padamu, nanti dendammu semakin menjadi-jadi,"sambung Roudullah, "Tapi saya tidak ingin kamu berekspektasi lebih dalam pernikahan ini. Karena yang harus kamu ketahui, saya mencintai wanita lain, dan itu bukan kamu."

Seperti diiris sembilu, kata yang keluar dari mulutmu di malam pertama yang telah dijahitnya indah bersama harsa, berubah menjadi teman mimpi buruk ku di sepanjang malam, sepanjang hidup.

Jeje tidur di atas ranjang seorang diri, sedangkan Roudullah di sofa panjang dekat lemari pakaian.

Dulu saat di sekolah, penggaris kayu menjadi pemisah di antara keduanya, kini masalah hati yang tak bisa di negosiasi.

Suara burung gereja di pagi hari, senandungnya yang merdu memberi kenyamanan pada hati yang sendu karena sisa pilu semalam. Jeje pun mulai menyiapkan makanan di meja makan untuk sarapan pagi bersama suami dan mertuanya. Pak Budi dan Bu Ilhama mengambil posisi duduk. Roudullah juga keluar dari kamar, lalu ikut duduk di samping Sang Bunda.

"Kamu sekarang ini bukan anak kecil lagi, kenapa masih suka duduk dekat Bundamu,"ucap Ayahnya membuat Sang Istri meringis, "Duduklah dekat istrimu,"

Roudullah menuruti perintah Ayahnya. Langkahnya masih malu-malu untuk duduk di samping Jeje.

"Eum, rasanya nikmat sekali makanan ini. Ingin rasanya Ayah menghabiskan semuanya!"seru Pak Budi.

"Iya Yah, makanan yang ada di hadapan kita ini seperti makanan yang ada di hotel bintang 5,"sahut Bu Ilhama, "Mantu kita ini memang sangat pandai memasak ya, cocok sekali dengan Roudullah yang doyan makan,"

"Ayah, Bunda, hari ini aku mau pergi ke kantor,"ucap Roudullah.

"Ajak istrimu juga ya, biar tahu bagaimana suasana kota Jakarta,"cetus Ayahnya.

"Tapi Ayah, hari ini aku ada meeting. Kasihan kalau Jeje harus menunggu terlalu lama di sana,"sahut Roudullah membuat Jeje memalingkan muka.

Selesai sarapan pagi, Roudullah bersiap-siap untuk berangkat ke kantor,

Saat hendak masuk ke mobil, Jeje mengehentikan langkahnya.

Dia meraih punggung tangan suaminya itu untuk dikecupnya.

Tanpa sepatah katapun, Roudullah melajukan mobilnya.

Roudullah Khalil adalah teman satu SMA nya, satu kelas juga. Yang tak menyangka bakal jadi suaminya dalam pernikahan yang kedua ini. Roudullah sendiri mengira bahwa Jeje menikahi dirinya untuk membalas dendam. Karena kisah di masa lalu.

Ketika dia dan Jeje harus duduk satu meja, lantaran stok meja sekolah di kelasnya yang saat itu terbatas. Tak bisa dipungkiri lagi, keduanya tiada hari tanpa baku hantam.

Roudullah dulu selalu mengajaknya beradu mulut

Sampai Malaikat pun turun tangan, memberinya ilham untuk mengakhiri pertikaian ini.

Lembaran-lembaran soal berhitung, membuat Roudullah tersungkur.

Dia memang tak pandai mencerna rumus-rumus matematika, fisika,  namun begitu menyukai sebuah karya sastra berupa puisi.

Hatinya bergerak ke arah yang tak ingin dia lalui, kecemasan meluluhkan keangkuhan dari dalam dirinya.

Dia tetaplah manusia biasa yang selalu membutuhkan bantuan orang lain.

Jarum jam berjalan semakin cepat, Roudullah tak punya banyak waktu lagi. Tak pantang menyerah, tak juga goyah iman di hatinya. Tetapi usahanya hanya sia-sia saja, berharap pada wanita arogan di sampingnya itu, yang sama sekali tak menggubrisnya. Sampai suara langkah kaki Sang Guru yang harus menghentikannya.

Sehari setelah kejadian di hari itu. Esoknya. Lagi, pupil mata Roudullah berkobar, otot di rahangnya pun bergerak-gerak. Ketika melihat penggaris panjang kayu berada di atas meja. Setelah ditelusuri, penggaris kayu itu berasal dari Jeje, yang memang sengaja ditujukan untuk menjadi penengah antara mereka.

Diam-diam Roudullah juga sengaja mengusiknya, dengan melakukan pelanggaran, yaitu melewati batas wilayah yang telah Jeje tentukan. Perang dunia ketiga pun dimulai.

Tak ada yang bersimbah darah,

Tetapi penggaris kayu itu telah terbagi dua.

Karena ulahnya, dua anak manusia itu harus berdiri di halaman sekolah, bersiram peluh di bawah panas terik siang matahari.

Baling-baling kipas angin terus berputar, namun hatinya tak kunjung pintar. Tiupan angin juga tak mampu memberi kesejukan dalam kalbu.

Sebuah pulpen digenggamnya erat, sebelum menggoresnya di selembar kertas putih lalu menuangkan seuntai sajak hirap.

Suatu barang yang hilang dari pandangan, genggaman. Ketika tangan kita menengadah, cepat atau lambat akan berjumpa.

Namun jika barang itu sudah menjadi hak milik orang lain, apakah bisa kembali lagi?

Jangan menangisi susu yang sudah tumpah. Kau tak kan bisa merubah, dan takdir Tuhan tidak bisa dirubah.

***

Jeje pergi ke sekolah Sang Putri untuk menjemputnya.

Di rumah, Ayah dan Ibundanya tengah duduk di kursi kayu teras menunggu kepulangan cucu kesayangannya. Mulut keduanya ternganga dan langsung beranjak dari tempat duduknya melihat Khalisa pulang bersama Ibundanya.

Lantaran Pak Aman sudah meminta sopir pribadinya yang menjemput Sang Cucu.

"Assalamualaikum, Ayah, Bunda,"ucap salam Jeje sambil mencium punggung tangan kedua orang tuanya.

"Waalaikumussalam, kamu kemari bersama suamimu juga?"cetus Ayahnya.

Jeje hanya menggelengkan kepala, lalu dia meminta Khalisa untuk masuk lebih dulu ke dalam rumah.

Bu Widya terus memandang wajah putri semata wayangnya itu yang perlahan senyumnya terlepas.

Dia duduk di kursi teras, sedang Sang Ibunda di sampingnya. Sementara Ayahnya berdiri di sisi pintu rumah.

Dalam benaknya ingin sekali menyatakan kebenaran tentang Sang Suami pada kedua orang tuanya, namun hati kecilnya memberontak. Seakan telah mengetahui lebih dulu bencana yang akan datang nanti, karena pasti menjadi peristiwa paling pedih.

"Kalau boleh, Ayah dan Ibu  mengizinkan Jeje untuk antar jemput Khalisa ke sekolah,"ucap Jeje membuat Ayah dan Ibunya mengembuskan napas lega.

"Bagaimana dengan suami, dan ibu, bapak mertua kamu, apa mereka setuju?"tanya Ayahnya.

Pak Budi sebelumnya tak mempermasalahkan soal status dari Jeje, menantunya. Namun jika putri dari hasil pernikahan pertamanya tinggal serumah dengan mereka, apakah akan setuju atau justru berubah pikiran.

Sementara, Jeje juga belum membicarakan hal ini pada Roudullah.

Roudullah duduk melamun di dalam ruang kerjanya, Putra pun datang dan mengajaknya makan bersama di luar kantor. Melihat keadaan sahabatnya yang terus melipat wajahnya itu, jadi segan untuk menyapa.

"Temenin makan siang yuk!"ajak Putra.

Roudullah menghela napas berat. "Kebetulan aku udah kenyang,"

Dia menaruh pulpen yang ada di genggamannya ke pen holder berwana hitam.

Putra pun duduk menghadap ke arah Roudullah.

"Ada apa lagi? Mau minta uang jajan juga ke aku, iya?"tanya Roudullah melihat Putra yang masih ada di hadapannya sambil tersenyum tipis.

"Tahu aja nih, tapi bukan soal itu,"jawab Putra, "Mau heran tapi kayak udah kebiasaan deh, sesudah dan sebelum punya istri, kamu sama aja!"

Tak bisa dipungkiri lagi, kenyataannya memang Roudullah tidak menikmati statusnya yang kini sebagai seorang suami. Mimik wajahnya selalu dapat dibaca oleh sahabatnya itu. Namun dia tidak ingin terlihat lemah menghadapi masalah hidupnya saat ini.

"Bukankah aku sebelumnya sudah mengatakan ini padamu, jika aku sama sekali tidak tertarik dengan pernikahan ini!"jelas Roudullah.

"Dan bukankah aku juga sudah bilang untuk jalani aja dulu."sahut Putra membuat Roudullah terdiam sesaat.

...[BERSAMBUNG]...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!