Tubuhnya terpaku di tempat, mencoba mencerna ucapan dari Sang Ayah beberapa detik lalu.
Pak Budi berjalan menghampiri Roudullah sambil menepuk pundaknya pelan, "Sudah saatnya kamu berkeluarga, sempurnakanlah ibadahmu, anakku,"
Saat ayahnya hendak berbalik badan, Roudullah mulai mengangkat bibirnya.
"Maaf Yah, tapi aku hanya akan menikahi wanita yang aku cintai!"tegas Roudullah mengentikan langkah ayahnya.
Roudullah pun pergi dari hadapan ayahnya, dan menuju ke kamarnya. Sementara Bu Ilhama, Ibundanya yang baru saja keluar dari kamar, menyusulnya.
Roudullah duduk di atas ranjang dengan kedua tangan mengepal bak petinju, yang tak bisa melayangkan kenyataan tersebut.
Ibundanya perlahan melangkahkan kaki ke kamarnya, lalu duduk di sampingnya.
"Bunda dan ayah sudah lama sekali menunggu kamu datang ke rumah ini bersama calon istrimu. Tapi kenyataannya apa, kamu nggak pernah mau menceritakan semuanya pada Bunda,"ucap Bundanya, "Kamu harus membuat keputusan yang matang, agar kamu tidak menyesalinya suatu hari nanti,"
Pagi harinya, Roudullah terlihat menuju ke arah garasi, beberapa menit kemudian ia keluar bersama mobilnya.
Arah laju mobilnya ke timur, berarti tidak pergi ke kantor.
Pak Budi duduk bersantai di halaman rumahnya, di sana terdapat sebuah gazebo kecil dikelilingi tumbuhan yang rindang, tak lupa ditemani secangkir kopi jahe buatan Bu Ilhama.
Ia mengajak istrinya ikut duduk di dekatnya.
"Semoga Allah meluluhkan hatinya ya Bun,"ucap Pak Budi sambil menyeruput kopi jahe.
Roudullah sampai di sebuah Renjana Cafe, tempat dia dan kekasihnya kerap menghabiskan waktu bersama.
Dia berjalan menuju ke arah wanita yang duduk sambil meneguk segelas ice lemon tea. Pipinya berubah merah muda sebelumnya biru membeku.
Roudullah masih terdiam, dengan telapak tangan yang mulai berkeringat.
"Ayah ingin aku segera menikah,"ucap Roudullah membuat wanita itu melotot.
Dalam perjalanan menuju ke Bandung, Pak Aman tampak berwajah muram, membuat Jeje bertanya-tanya, hal apakah yang menyebabkan ayahnya itu terus membungkam mulut sepanjang jalan.
Sampai di rumah, ayahnya pun masih enggan berbicara. Bahkan, Ibundanya tak dihiraukannya.
Khalisa sendiri tengah sibuk mengerjakan tugas prakarya, yaitu membuat anyaman dari kertas buffalo.
Tahu bahwa Kakeknya begitu mahir dalam membuat karya seni. Dia pergi meminta bantuan pada kakeknya.
Sang Kakek yang saat itu duduk di sofa sambil membaca buku, tak sadar ditemani oleh cucunya.
Dia pun langsung meletakkan bukunya, dan mengajak Khalisa ikut duduk di sampingnya.
"Kakek sibuk ya?"tanya Khalisa.
"Kebetulan kakek sudah selesai membaca bukunya, apa Khalisa butuh sesuatu?"
Khalisa mengangguk cepat. "Ada tugas prakarya, tapi Khalisa bingung sekali buatnya Kek,"
Khalisa pun memperlihatkan tugas prakarya nya pada Sang Kakek, dan mengerjakannya bersama, lalu Jeje datang membawa 2 secangkir teh hangat beserta pisang bolen sebagai penggugah semangat.
15 menit berlalu, prakarya anyaman dari kertas buffalo sudah selesai beserta mewarnainya.
Khalisa begitu menyukai hasil karya tangan kakeknya itu, lalu pergi ke kamarnya untuk menyimpannya di tas sekolah.
Tinggallah Jeje dan ayahnya di ruang tamu, Sang Ayah asyik melahap pisang bolen dan menyisakannya satu buah untuk putri semata wayangnya itu.
Tangan ayahnya yang membawa satu pisang bolen mendarat ke wilayah mulutnya, Jeje pun menganga lebar.
***
Wanita itu memberi senyum miring setelah mendengar ucapan dari Roudullah.
"Ayah kamu itu aneh ya, dulu aja nolak ajakan kamu untuk nikah muda. Sekarang malah seenaknya nyuruh kamu buat nikah,"ucapnya geram.
"Tapi kamu setuju kan, kita segera menikah?"tanya Roudullah membuatnya melongo.
"Sorry, aku nggak bisa,"jawabnya dengan cepat, "Kamu tahu kan, karir aku sekarang ini lagi meroket, jadi tunggu aku siap dulu ya,"
Roudullah geleng-geleng kepala melihat sikap kekasihnya yang tiba-tiba berubah. Sebelumnya dia begitu ngotot sekali ingin segera menikah.
"Jadi kamu pilih untuk melepaskan aku?"tanya Roudullah.
Wanita itu memilih membungkam mulutnya.
Roudullah tiba di rumah, kedua orang tuanya sudah lama menantinya pulang.
Sang Ayah begitu tak sabar menunggu jawaban.
Dengan berat hati, memberikan setengah senyum bibirnya berucap setuju.
Pak Aman mulai menceritakan tentang keinginannya pada Jeje. Dia tak ingin, putri semata wayangnya itu terpaksa karena menikah, bukan atas kemauannya sendiri.
"Je, Ayah dan Bundamu kini sudah tidak muda lagi. Ayah ingin, ada seseorang yang bisa menjaga dan menyayangi kamu dan Khalisa setiap saat,"ucap Ayahnya membuat matanya membulat.
"Maksud Ayah, apakah Ayah ingin aku menikah lagi?"tanya Jeje.
"Iya nggak ada salahnya, kan? Biar Khalisa ada yang bantuin tugas prakarya nya!"jawab Ayahnya.
Sepanjang malam dia terbangun hanya untuk memastikan akan impian Sang Ayah urung. Betapa dia terjaga dari angan-angan yang semu.
Terik matahari pagi menyengat agah diiringi sarayu yang mengayun-ayun kalbu. Dia melangkahkan kaki ke Bandung.
Di Bandung, Roudullah dan kedua orang tuanya hendak mengunjungi sebuah villa yang akan dijadikan sebagai villa pribadi. Tepatnya di Villa Arunika, yang berada di tengah kompleks perumahan elite.
Di sana juga ada Pak Aman yang sedang berkunjung ke rumah saudaranya di perumahan elite tersebut. Pak Budi pun mengajaknya singgah sejenak di villanya.
Dengan senang hati, Pak Aman menerimanya. Tak lupa Pak Budi memperkenalkan Roudullah pada sahabatnya itu.
Langit sudah semakin gelap, Pak Aman memutuskan untuk pulang ke rumahnya. Sebelum pergi, Pak Aman membisikkan sesuatu ke telinga Roudullah.
"Rumah kami akan selalu terbuka untuk kamu,"ucap Pak Aman lirih.
Bu Widya terlihat cemas di teras rumah, menunggu suaminya yang tak kunjung pulang. Jeje meminta Ibunya agar tetap tenang.
Tidak lama kemudian, terdengar suara mobil berhenti di depan pagar rumahnya, akhirnya mereka bisa bernapas lega setelah melihat orang terkasihnya itu tiba di rumah.
"Assalamualaikum, maaf ayah sudah membuat kalian menunggu,"ucap Pak Aman dengan senyum yang terus mengembang di wajahnya.
"Kita di sini cemas loh Yah, tapi kenapa wajah Ayah keliatan senang sekali?"tanya Bu Widya.
"Lebih baik kita masuk rumah dulu, ayah ceritakan nanti,"jawab Pak Aman.
Jeje menutup pintu rumah, sedangkan
Ayah dan Bundanya duduk di sofa ruang tamu, menceritakan perjalanan laki-laki paruh baya itu.
"Ibu tahu nggak, Ayah tidak pernah menyangka hari ini akan bertemu mereka di perumahan elite itu!"ucap Pak Aman sumringah.
"Memang Ayah bertemu dengan siapa?"tanya Bu Widya.
"Siapa lagi kalau bukan calon besan dan anak mantu kita, Bu,"jawab Pak Aman membuat Jeje ikut berbaur dan menyimaknya.
Matahari setinggi tombak, Roudullah berada di Dihyan Furniture. Perusahaan di bidang produksi mebel minimalis yang menjual jasa pembuatan berbagai produk kitchen set, meja kantor, front office, dan sebagainya.
Dihyan Furniture menjual berbagai macam interior dengan mengusung sistem Made To Order.
Perusahaan tersebut didirikan oleh mendiang Sang Kakek, yang saat itu membuka usaha mebel kecil-kecilan di kota kelahirannya, Solo. Saat ini, perusahaan tersebut dipegang oleh ayahnya, Roudullah sendiri di sana sebagai CEO.
"Dul, ini ada beberapa dokumen yang harus ditandatangani segera,"ucap seorang laki-laki pada Roudullah.
Putra Syahreza, dia merupakan sekretaris kepercayaan Roudullah. Masih betah menjomblo.
Dul, panggilan kesayangan darinya untuk Roudullah sejak masih duduk di bangku kuliah.
Roudullah hanya menganggukkan kepala, biasanya dia selalu bersemangat. Hari ini, dia menjadi poker face.
Putra tentu tak ingin melewatkan momen ini.
"Tumben hari ini kau absen telepon kekasihmu itu. Sudah bosan kah, dia"?cetusnya membuat Roudullah menengok ke arahnya.
"Kamu jangan asal tuduh ya! Ia nggak akan pernah melakukan itu padaku,"tegas Roudullah.
"Oke, terus kapan rencana kalian mau menikah?"tanya Putra mengheningkan suasana di dalam ruangan.
Roudullah pun pergi mengajak Putra ke luar kantor, untuk membicarakan soal perjodohannya.
Keduanya mampir ke cafe sebelah kantornya.
"Ada apa sih?"tanya Putra.
"Aku akan dijodohkan dengan perempuan lain,"jawab Roudullah membuat Putra melotot.
"Kenapa? Maksudnya kenapa bukan kekasihmu yang menikah denganmu?"
Roudullah menghela napas berat. "Karena ia menolak ajakanku untuk menikah!"
***
Di depan gerbang Sekolah Dasar Langki, kaki berdiri menatap daun pintu kelas 7 terbuka. Bel pulang berbunyi, melihat permata hidup berlari ke arahku.
Meski setiap waktu tak pernah luput, peluk cium aromanya, rindu selalu mengikuti ketika dirimu pergi.
Khalisa mempersembahkan setangkai bunga mawar dari kertas untuknya, sebagai ucapan terima kasih.
Tiba di rumah, Khalisa menunjukkan pada Sang Kakek hasil penilaian dari tugas prakarya nya. Dia telah mendapatkan nilai A. Mereka semua begitu bangga padanya.
Seperti biasa, Khalisa bermain di kamar dengan keluarga boneka Barbie nya yang ia dapatkan dari Kakeknya saat ulang tahun ke 6 .
Keluarga itu ada dirinya, Bundanya, Kakek dan Nenek, namun sosok Sang Ayah telah dia sisihkan. Karena tahu, ayahnya sudah lama meninggal bahkan sebelum dia dilahirkan ke dunia ini.
Hati seorang ibu mana yang tak sakit, melihat putrinya sedih karena keluarga yang tak lengkap.
Jeje pun pergi menemui Ayah dan Bundanya yang tengah duduk di sofa ruang tamu.
"Jeje ingin bicara jujur sama ayah dan bunda,"ucap Jeje, "Perkataan ayah kemarin sore membuat Jeje terjaga semalaman. Paginya makan terasa tak enak, di jalan juga terus kepikiran,"
Jeje menarik napas panjang dan mengembuskannya. "Jeje rasa akan menerima permintaan ayah, dan siap untuk menikah lagi,"sambung Jeje membuat Ayah dan Bundanya tersenyum lega.
Es batu mulai mencair dalam kedua gelas orange juice. Putra terlihat sedang memikirkan nasib sahabatnya itu.
Dia meminta Roudullah supaya tidak mengambil keputusan yang nantinya akan merugikan diri sendiri.
"Tapi kau tahu kan, aku setuju karena ayahku yang meminta. Bukan karena aku mau,"jelas Roudullah.
Putra sedikit mendekatkan wajahnya pada Roudullah. "Kalau menurut aku, jalani aja dulu, jangan buru-buru memikirkan bagaimana endingnya nanti. Memikirkan sesuatu yang belum tentu terjadi pada diri kita sangat tidak baik."
“Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah Pelindung kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal.” (Q.S. At Taubah: 51).
Hasrat ingin mencari jalur yang mudah untuk di tuju, pupus.
Karena yang didapatkan adalah jalan tengah.
Hari ini, sebelum lembayung senja menggulung merah jingganya.
Roudullah kali pertamanya mengucap janji suci untuk seumur hidupnya. Di Masjid Al-Hikmah, menjadi saksi hidup dilangsungkannya akad nikah.
Dia hadir di dampingi kedua orang tuanya, dan sahabatnya. Mengenakan mantel, topi putih dengan ikat pinggang putih, kain batik untuk bagian bawah, penutup kepala, dan selop yang berwarna putih. Dia juga mengenakan hiasan, berupa kalung panjang melati dan keris yang dipakai sebagai senjata tradisional.
Sedangkan untuk mempelai wanita, Jeje. Bagian atasnya berupa kebaya putih, bagian kepalanya dibalut kerudung putih, sementara bagian bawah berupa kain, ikat pinggang emas, dan sandal putih, dia juga mengenakan perhiasan yang mencolok di bagian bahu, kalung panjang, gelang, bros, anting, dan cincin.
Ketika kaki akan melangkah menuju ke meja akad nikah, tertahan sesaat menatap sekilas wajah laki-laki yang akan menjadi suamiku.
Dia juga menatapku balik, sama sekali tidak asing dalam benak masing-masing.
Keduanya pun duduk berdampingan.
Ayah Jeje pun meraih tangan calon mantunya itu.
"Bismillahirrahmanirrahim, Ankahtuka wazawwajtuka makhtubataka binti Jeje Kirana alal mahri uang tunai senilai 117.200. rupiah, hallan."
"Qabiltu nikahaha wa tazwijaha alal mahril madzkur wa radhiitu bihi, wallahu waliyu taufiq,"ucapnya dengan lantang.
"Alhamdulillah,"ucap para saksi.
Tabuhan rebana iringi langkah pengantin beserta keluarga menuju ke teras masjid. Sebelum akhirnya menuju ke rumah mempelai pria.
"Selamat kawan, semoga Allah selalu merahmati pernikahan kalian berdua,"ucap Putra memeluk Roudullah.
Roudullah mengajak istrinya untuk singgah di Villa, jika harus pulang ke Jakarta hari ini juga takut kelelahan di jalan.
...[BERSAMBUNG]...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 21 Episodes
Comments