Mereka berempat terus berteriak memanggil nama temannya yang entah berada di mana. Apa mungkin Alena diculik?
"Geri, Dika, Indra, gue capek!" rengek Iren.
Ketiga pemuda itu menoleh. "Sabar dong, Ren! Siapa tahu Alena ketemu di depan," tukas ketiganya.
Sejenak Renita terdiam memikirkan sesuatu. Ia teringat akan sesuatu yang sempat dilihatnya, tapi ia lupa. Saat mereka meninggalkan tenda tadi, ada sebuah senter kecil milik Alena tergeletak di tanah dengan jejak yang berhenti tepat di atas tebing dekat tempat perkemahan mereka.
"Mungkinkah Alena jatuh dari tebing?" Renita memperkirakan.
Sontak saja ketiga pemuda tersebut berbalik menghadapnya untuk bertanya. "Maksud lu?"
Renita menjelaskan semua secara rinci dari hasil temuannya sebelum mereka akhirnya berpencar mencari. Ia tak sadar karena saking paniknya atas kehilangan Alena yang tiba-tib itu.
Ketiganya mengangguk. Mereka berjalan lagi untuk mencari keberadaan sahabatnya sesuai petunjuk yang diberikan Renita.
"Di sini tempatnya, gaes!" tunjuk Renita.
Dan benar saja, di sana ada jejak kaki yang kemudian menghilang digantikan jejak tanah terkikis menuju bawah tebing.
"Gue takut dia jatoh ke bawah, gaes!" Renita mendadak nangis.
"Tenang dulu, Ren! Siapa tahu ini bukan jejak Alena. Mungkin saja ..." Dika yang berusaha menenangkan hati Renita, mendadak diam setelah teringat sesuatu. "Tadi orang gila itu ngomong apa, bro?!" wajahnya menghadap Indra.
"Hah?" Indra mendadak oon.
"Ish, elu mah. Itu orang gila yang ngamuk tadi ngomong apa?" ulang Dika bertanya.
Sejenak Indra mengingat, kemudian berkata dengan nada cemas. "Dia nyuruh kita pergi, gaes! Apa mungkin semalem Alena ketemu dengannya dan ia berlari karena ketakutan, dan akhirnya ...." semua kepala melongo ke bawah tebing karena sudah menebak perkataan Indra selanjutnya.
"Astaga!"
Bergegas keempatnya mencari jalan untuk turun ke bawah tebing tersebut. Mereka juga meminta bantuan warga sekitar dan polisi hutan agar memudahkan proses pencarian.
Ada warga yang bilang kalau takutnya Alena dibawa ke alam ghaib, karena mereka berkeyakinan bahwa di gunung itu terdapat sebuah pintu alam bawah. Konon katanya di gunung itu dulunya adalah sebuah Kerajaan yang subur nan makmur.
Perasaan khawatir, bercampur ketakutan, jelas terlihat dari raut wajah keempat teman Alena. Dengan ditemani Polisi hutan dan para warga, mereka menyusuri hutan di gunung tersebut.
"All ... Alena!" teriakan keempatnya mengudara dengan suara lantang.
Alena yang sedang kesulitan untuk hanya berdiri saja, menguatkan hati dan tubuhnya agar bisa bertahan sampai keempat temannya datang menolong.
Samar-samar dari kejauhan ia mendengar ada yang memanggil namanya. "Gue bisa denger suara mereka tak jauh dari sini. Gue harus selamat," gumamnya terus berusaha bangkit.
"All ... Alena!"
"Gue di sini, gaes!" lirih suara Alena nyaris tak terdengar.
Salah satu warga yang berjalan di depan pun melihat tangan Alena melambai. "Itu dia," Semua orang segera berlari menghampiri.
Kondisi Alena terlihat menyedihkan. Seluruh tubuhnya terdapat luka goresan dan kakinya bengkak karena terkilir. Mereka pun segera membawanya untuk memberikan pertolongan pertama kepada gadis itu.
Beruntung nasib baik masih berpihak padanya, karena menurut warga sekitar, banyak orang yang menghilang dan berakhir menjadi sesosok mayat yang sudah membusuk.
Percaya atau tidak, tapi memang itu kenyataannya. Banyak pendaki gunung yang hilang dan tak ditemukan keberadaannya sampai seminggu, sebulan, bahkan selamanya.
Entah itu hilang karena jatuh ke jurang, atau hilang karena dimakan binatang buas. Tapi, itu kenyataannya.
"Alhamdulillah, teman kalian sudah ditemukan. Sebaiknya kalian segera kembali pulang, karena tempat ini sangat berbahaya!" kata para warga menasehati.
"Kalian harus segera turun secepatnya. Jangan menunda kepulangan kalian lagi sebelum malam tiba!" timpal Polisi hutan.
Setelah mendengarkan perkataan mereka, Dika dan kawan-kawan segera kembali ke tenda dan membereskan semua barang mereka. Sedangkan Alena sendiri diobati di pos jaga oleh para Polisi hutan yang tak jauh dari pemukiman warga.
Setelah semuanya selesai, mereka bergegas turun gunung dan menyewa mobil untuk kembali ke kota.
Acara berlibur selama sepekan gagal total gara-gara hilangnya Alena dan ditemukan dalam keadaan terluka. Mereka tak mau memaksakan tinggal melihat kondisi memprihatinkan salah satu sahabatnya itu.
"Maafin gue, gaes! Seharusnya kita bisa bersantai menikmati hidup dalam seminggu ke depan. Tapi gegara gue, liburan kita gatot." cetus Alena merasa bersalah.
"Apa sih yang elu omongin, All? Lebih baik kita kehilangan waktu liburan dari pada harus kehilangan lo," ujar Dika.
"Bener, All. Liburan bisa kapan aja, kok!" timpal Indra.
"Keselamatan lebih penting," Geri menyahut.
"Yang penting kita bersama," Renita tersenyum memeluk Alena.
Alena membalas pelukan Renita sambil tersenyum.
🍁🍁🍁🍁
Dua minggu sudah berlalu dari kejadian itu.
Mereka melakukan aktivitas seperti biasa. Semua kembali ke pekerjaannya masing-masing.
Alena yang tadinya terlihat murung terus setelah pulang dari gunung, sekarang sudah mulai tersenyum ceria kembali. Kondisi tubuhnya pun berangsur membaik.
Aldrian yang melihat adik tercintanya termenung sendiri, segera menghampiri. "Dek. Dari pada murung di rumah terus, ikut kakak ke kantor yuk! Biar kamu bisa melupakan kejadian itu. Sekalian belajar menangani bisnis daddy!" ucap sang kakak sambil mengelus rambut panjang Alena.
Keluarga Alena sudah tahu tentang apa yang menimpa anak bungsunya itu, karena teman-temannya menceritakan kejadian tersebut secara terperinci.
Walaupun awalnya orang tua Alena marah, tapi mereka juga tidak bisa menyalahkan para remaja itu. Karena semua itu diluar keinginan mereka. Siapa yang ingin celaka, semua orang pasti ingin selamat, bukan?
"Males, ah! Aku gak minat masalah bisnis. Daripada ikut Kakak ke kantor, mending aku ikut Kakak Ipar aja ke butik. Sekalian mau liat hasil rancangan ku yang kemaren," jawab Alena malas dengan kepala yang masih tenggelam di bantal.
Aldrian beranjak dari duduknya. "Kalo gitu ya sudah, gak apa-apa! Yang penting, kamu keluar rumah nyari kesibukan. Jangan ngelamun terus! Entar kesambet, lho!"
tutur sang kakak.
"Iya kakak ku tersayang yang paling gagah, paling ganteng, tapi kalah gantengnya sekarang sama Reihan. Hahahaha!" Alena tertawa setelah meledek kakaknya itu.
"Huuh, giliran ngebully semangat bener. Tapi gak apa-apa, Kakak gak marah untuk sekarang ini. Asalkan adek tercantik ku ini bisa bahagia lagi," ucap kak Al dengan lembut sambil mencium pucuk kepala adiknya.
"Aku sayang banget sama kakak!" Alena memeluk kakaknya dengan erat. "Makasih ya Kak, karna kalian sudah menemaniku sepanjang waktu, buat aku bangkit lagi!" Ia semakin membenamkan wajahnya di dada bidang si kakak.
Aldrian menyunggingkan senyumnya. "Jangan nangis, entar ingusnya nempel di baju Kakak. Pagi ini kakak ada rapat Dewan Direksi. Jangan bikin malu, karena ingus yang nempel disini!" ledeknya kepada si adik sambil menunjuk bagian dadanya.
Alena sontak melotot dengan sebal. "Iiiihh apaan sih, nangis juga enggak!" Alena kesal langsung melemparkan bantal ke arah kakaknya.
Kakaknya mengelak dari lemparan adiknya sambil tertawa. "Hahaha ... kirain nangis. Orang udah melow-melow kan biasanya gitu. Kalo kamu nangis, bisa satu jam. Kakak gak bisa nemenin kamu lama-lama," ujarnya.
"Au ah, sebel deh! Gak mau ngomong sama kakak lagi." Dia cemberut karena ulah iseng kakaknya.
"Cie~elah dia ngambek, dasar anak manja. Ambekan lu," cibirnya seraya berlalu setelah mencubit kedua pipi si adik.
Mata Alena membulat dengan tangan memegangi kedua pipinya yang dicubit. "Kakaaaaaakkk!" teriak Alena yang hanya disambut tutup telinga oleh kakaknya dan tak lupa menutup pintu kamar.
"Gadis berisik!" tambah Aldrian sebelum pintu kamar benar-benar tertutup rapat. Tawanya pun masih bisa didengar Alena dari dalam.
"Dasar, Kakak lucnat!"
...Bersambung ......
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments
Be___Mei
setidaknya anak kalian masih bisa pulang 🥲
2023-04-21
1