Hari yang begitu indah, langit biru cerah dihiasi awan putih terlihat di atas sana. Burung berkicau seakan bernyanyi dengan sangat riang. Cahaya sang mentari menghangatkan tubuh, bagaikan selimut di malam yang dingin.
Bunga yang bermekaran di taman menambah keindahan pagi hari itu. Inilah kenikmatan yang diberkahi sang ilahi untuk dirasakan setiap makhluk ciptaannya.
Diatas pohon beringin yang lebat, di dalam rumah kayu yang dijadikan basecamp mereka. Terlihat lima remaja yang sedang berkumpul, seperti menyusun sebuah rencana yang sudah disepakati oleh para anak manusia itu.
Akhirnya, sesuai dengan kesepakatan. Pagi hari itu, pukul tujuh lewat tiga puluh menit. Mereka pergi menuju ke tempat yang sudah direncanakan sebelumnya. Mereka pun tak lupa berpamitan kepada orang tua masing-masing.
Mereka meyakinkan orang tua masing-masing agar mengizinkan pergi berlibur ke daerah Jawa Barat, namun mereka tak mengatakan akan berkemah di puncak gunung. Mungkin, mereka takut para orang tua akan khawatir.
Alena juga meminta izin cuti untuk sahabatnya, Renita, kepada sang kakak sebagai bos sahabatnya tersebut. Bukan perkara mudah untuk membujuk kak Al yang sangat susah sekali untuk berkompromi, sebab pekerjaan di kantor cukup banyak.
Namun, karena itu Alena, maka Aldrian tak bisa menghalangi Renita untuk cuti selama beberapa hari ke depan sesuai keinginan sang adik
Huh, memang menyebalkan Alena itu. Tapi, dia adek gue, batin Aldrian dongkol.
Setelah berpamitan, barulah mereka pergi menuju tempat yang diinginkan sesuai rencana awal. Gunung besar yang tinggi menjulang dan terkenal angker, yang berada di salah satu daerah di Jawa Barat menjadi tujuan mereka.
Dengan menempuh perjalanan selama empat jam menggunakan bis kota, dilanjutkan satu jam menaiki angkot, kemudian dilanjutkan berjalan kaki memanjat gunung selama dua jam. Menyusuri hutan yang lebat, sungai yang jernih, dan akhirnya mereka sampailah di puncak gunung.
Pemandangan yang indah bisa terlihat dari atas sini. Udaranya masih sangat segar untuk dihirup, tanpa tercampur polusi sedikitpun. Benar-benar sejuk.
Karena waktu sudah menunjukan senja, tanpa membuang waktu lagi, mereka langsung mendirikan 2 tenda. Yang satu untuk perempuan dan satu lagi untuk laki-laki.
Tak lupa, mereka juga membuat api unggun untuk menghangatkan tubuh agar tidak kedinginan. Karena jika malam tiba, udaranya akan sangat dingin.
Rutinitas selayaknya anak kemahan pun dilakukan tanpa terlewatkan. Sekedar bercanda, berdendang ria diiringi alunan gitar, dan sebagainya. Semua mereka lakukan tanpa terlewatkan.
Kelima muda-mudi tersebut sangat menikmati liburan yang menyenangkan ini.
Dengan suara yang kencang dan berjingkrak-jingkrak, mereka menyanyikan lagu dengan sangat heboh seperti terlepas dari beban hidup yang begitu berat. Hahaha.
"Eh bro, jangan terlalu berisik! Kata warga sekitar, di sini itu tempatnya angker. Banyak hantunya," bisik Indra.
"Alah, elu mah bilang aja penakut. Elu jadi cowok cemen banget, sih. Gue mah gak percaya hal begituan!" tukas Alena.
"Serius, gue gak bohong! Sebaiknya, kita berhenti nyanyi terus tidur aja, yuk! Capek gue seharian gak istirahat," lanjut Indra.
Keempatnya pun mengalah karena memang ucapan Indra ada benarnya juga. Tubuh mereka perlu istirahat agar tetap sehat. "Oke lah!"
Akhirnya setelah makan malam, tidur pun jadi pilihan mereka untuk mengistirahatkan otot-otot yang terasa begitu kaku. Perut yang kenyang membuat tidur menjadi lelap, apalagi setelah menempuh perjalanan yang begitu melelahkan.
Suara binatang malam yang bersahutan, seakan menjadi pengiring tidur menuju alam mimpi di malam yang dingin ini.
~~
"Hiks ... hiks.," terdengar sayup-sayup suara seseorang yang sedang menangis dari kejauhan. Dari suaranya, sepertinya orang itu sungguh kesakitan.
Ternyata, tangisan orang itu terdengar oleh salah satu dari mereka, yaitu Alena.
Gadis itu terbangun dengan mengerjapkan mata secara berulang. Ia pun menajamkan pendengaran_takut salah dengar. Tapi, tangisan yang berasal dari suara seorang wanita itu masih jelas didengarnya.
"Ada orang nangis? Apa gue gak salah denger?" Alena tak yakin dengan pendengarannya. Bisa saja itu suara hewan yang mirip seperti orang menangis. Tapi, lagi-lagi suaranya terdengar jelas di telinga Alena.
Alena melirik teman di sampingnya. "Ren, Renita, bangun! Ada orang nangis, Ren." ia mencoba membangunkan temannya dengan tepukan di pipi, di bahu, serta menggoyangkan tubuh Renita. Tapi, gadis itu bahkan tak mau beranjak dari posisi tidurnya yang masih meringkuk dengan selimut.
Hanya gumaman yang terdengar dari mulutnya. "Lo salah denger, Alle. Di sini mana ada orang selain kita,"
"Tapi, gue denger jelas kalo ..." ucapan Alena tidak bisa tersampaikan sebab Renita sudah terlelap kembali. "Haish, bener juga apa katanya. Ini pasti karena gue kecapekan," tepisnya seraya merebahkan kembali tubuhnya.
Baru saja Alena memejamkan mata, tangisan itu kembali terdengar. Kali ini, posisinya lebih dekat dari tenda mereka.
Astaga, bikin gue penasaran aja. batin Alena.
Karena besar rasa penasarannya, Alena pun memilih keluar tenda tanpa ditemani temannya. Dia memberanikan diri sebab tangisan itu terdengar seperti mendekat ke arahnya.
"Dari mana sih tangisan itu berasal? Bikin gue penasaran aja," gerutunya sembari menyingkap tirai tenda.
Dengan langkah pasti dan bermodalkan senter kecil di tangan, ia pun berjalan menyusuri gelapnya malam.
Sinar rembulan menemani rasa penasaran Alena akan suara tangisan tadi. Gadis itu berhenti tak jauh dari sebuah batu besar di depan sana.
Terlihat seorang perempuan sedang duduk sambil menundukkan kepalanya. Rambut panjangnya menutupi bagian wajah. Tangisan tadi berasal dari wanita tersebut.
"Tuh kan, ada orang nangis!" Alena segera menghampiri. Tanpa rasa takut, ia pun bertanya. "Mbak ... Teteh, kenapa menangis?"
~ Hening tak ada jawaban~
Ia pun mencoba memberanikan diri lebih mendekat, seraya menepuk pelan pundak perempuan itu. "Teteh, gak apa-apa kan?"
Namun, perempuan itu tak menjawab pertanyaan Alena. Ia asyik menangis dengan kedua tangan menutupi wajahnya.
Melihatnya tak merespon, Alena pun memutuskan untuk pergi meninggalkan perempuan tersebut. Mungkin perempuan itu tak mau diganggu, batin Alena.
"Ya udah kalau Teteh gak mau cerita, aku pergi aja deh! Takut teman-temanku mencari,"
Alena melangkahkan kaki berbalik menuju tempat mereka berkemah. Namun, baru tiga langkah, suara perempuan itu menginterupsi.
Hei, Indit siah ti dieu!" (Hei, Pergi dari sini) ucapnya dingin dan serak.
"Hah?!" Alena berbalik. "Kenapa Teh?" ia bertanya kembali untuk memastikan pendengarannya.
"Indit ti dieu!" (Pergi dari sini) Perempuan itu berkata kembali dengan ciri khasnya seraya mengibaskan tangan, menyuruh Alena pergi.
Alena termenung sejenak, sebelum kembali bertanya. "Maksud Teteh kami harus pergi dari sini?" Ia mencoba menebak dan perempuan itu mengangguk. "Apa alasannya? Kami bahkan baru saja tiba tadi sore,"
Perempuan itu berdiri secara spontan, lalu berteriak. "Jeuk urang indit nya indit. Tong loba tatanya," (Kataku pergi ya pergi. Jangan banyak bertanya)
Alena terkejut bukan kepalang, melihat tingkah perempuan di hadapannya seperti orang yang tidak waras. Ia mundur beberapa langkah, sebelum akhirnya berlari dengan kencang.
"Asyem, dia orang gila apa ya." gumamnya sembari terus berlari meninggalkan tempat si perempuan tadi.
Sedangkan perempuan itu masih terus berteriak menyerukan kata-kata yang diucapkan kepada Alena dengan sangat keras. "Tinggalkan tempat ini!"
"Huaaaaa, Mommy!" Alena bergegas memperlebar langkahnya agar segera sampai ke tenda di tempat perkemahan.
...Bersambung ......
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments