“Kakak ipar tenang saja, semua akan baik-baik saja.” Ujar Galih tepat sebelum Abrisam, Salina dan Galih masuk ke dalam sebuah rumah yang besar yang dijaga oleh penjaga-penjaga berbadan besar. Lantai marmer, suhu ruang yang ber-AC, perabotan mewah dan dekorasi yang berkelas langsung dilihatnya, tapi kenapa Salina sama sekali tidak terpukau? Oh, biar Salina ingat kembali, siapa yang akan ditemuinya? Yap! Monster berkedok manusia bernama Hadran.
“Kak Abi?!” Seorang gadis berambut lurus seperti kain yang baru saja disetrika berlari kecil mengampiri Abrisam dengan senyumnya yang mengembang. “Kemana saja? Kenapa baru pulang?” tanya gadis itu manja.
Salina mengernyit mendengarnya. Jika yang bermanja itu adalah gadis berusia balita, Salina pasti akan sangat memakluminya, tapi gadis itu bisa Salina lihat dari penampilan dan make up nya, dia gadis berusia kepala dua. Mungkin juga seusia Salina.
Dan lihat bagaimana reaksi manusia berdarah dingin itu dengan efek manja gadis tadi? Cuek dan dingin. Malah, Abrisam tidak repot menjawab pertanyaannya, hanya menggunakan tangannya untuk menyingkirkan gadis itu dari jalurnya.
Gadis itu melengkungkan bibirnya, merajuk karena tidak mendapatkan perhatiannya dia inginkan. Galih dan Salina menyusul di belakang Abrisam. Galih menyempatkan diri untuk menyapa ramah, tapi gadis itu tidak menjawab dan pergi membawa kesal pada hatinya.
“Itu siapa?” Tanya Salina pada Galih dengan suara berbisik.
“Adik sepupu Kak Abi.” Jawab Galih. “Namanya Liona, dia seusiamu, Kakak ipar.”
Nah, benar, kan, dugaanku.
Mereka naik ke lantai dua, menuju sebuah ruangan di balik pintu. Sebelum Abrisam membukanya, ia beralih pada Salina dan Galih. Tatapannya tajam menghunus ke dalam mata Salina.
“Kau hanya perlu menjawab seputar kisah kita. Ceritakan sama seperti yang kau ceritakan pada ibumu.” Titah Abrisam dengan nada rendah penuh peringatan. "Improvisasi jika memang diperlukan. Ingat, keselamatanmu dan keluargamu ada pada plot cerita yang kau kembangkan."
Salina hanya mengangguk.
“Dan kau, dukung ceritanya. Sisanya biar aku yang urus.” Titah Abrisam pada Galih.
“Siap, Kak.” Galih menyanggupi.
Abrisam mengetuk pintu tiga kali, hingga terdengar suara sahutan dari dalam. Suara yang mengingatkan Salina kembali pada kejadian pagi tadi sebelum semuanya berubah menjadi neraka.
Abrisam membuka pintu, Galih mempersilakan Salina berjalan lebih dulu barulah dia ikut masuk ke dalam ruangan kerja bergaya klasik Eropa. Pria berpakaian rapi dan formal dengan setelan jas lengkap terihat terkejut dengan kedatangan Abrisam, lebih tepatnya kehadiran Salina di samping Abrisam.
“Abrisam? Kau sudah kembali?” Pertanyaan itu muncul bukan dari Hadran, melainkan dari Winda, istri Hadran yang tengah menggendong seorang bayi yang sedang lucu-lucunya. “Siapa gadis cantik ini?” Winda lanjut bertanya.
“Istriku.”
Jawaban itu diiringi gerakan tangan Abrisam yang meraih pinggang Salina untuk membawanya lebih dekat berdiri tepat disisinya, juga diiringi dengan tatapan-tatapan keterkejutan dari Winda dan tentu saja dari Hadran.
“Istri?” Winda menaikkan kedua alis matanya. “Kapan kau menikah? Kenapa kami tidak tahu?”
“Kami baru menikah. Galih, berikan yang kau bawa.”
Tanpa banyak bicara, Galih bergerak meletakkan dua buku nikah di atas meja kerja Hadran.
“Kenapa mendadak sekali? Aku akan secepatnya membuat acara-”
“Tidak perlu.” Potong Abrisam. “Cukup kenali Salina sebagai istri juga bagian dari keluarga ini, mulai hari ini.”
Dua detik kesunyian tanpa respon dari Hadran pun Winda.
Salina mulai berkeringat dingin.
“Ah, tentu saja. Istrimu akan menjadi bagian dari keluarga ini. Benar, kan, sayang?” Winda bertanya pada Hadran.
Pria itu perlahan mengendurkan otot wajahnya dengan menyunggingkan senyuman.
“Tentu saja.” Jawabnya ramah, tapi sorot matanya pada Abrisam tidak bisa dibohongi. “Selamat datang, Nak. Sayang sekali kalian menikah begitu mendadak, tapi aku yakin kalian memiliki alasan.”
Bisakah aku muntah? Batin Salina menatap sinis pada Hadran.
Tangan Abrisam masih bertengger pada pinggang Salina, yang membuat Salina sangat tidak nyaman.
“Jadi, bagaimana kalian bisa bersama?” tanya Hadran.
“Ya, aku juga penasaran. Bagaimana Abi bisa memutuskan menikah begitu cepat. Padahal selama ini paling anti dekat dengan perempuan.” Ujar Winda dengan senyuman ramah.
"Kami bertemu dua tahun lalu di Bali, tidak sengaja sebenarnya. Tapi pertemuan itu cukup berkesan. Dan singkat cerita, kami jatuh cinta, tapi tidak sempat mengutarakan perasaan kami masing-masing.” Salina menjawab dengan mengusahakan dirinya tetap tenang, meski tangannya sudah dingin.
“Lalu kalian bertemu lagi dimana?” Winda sepertinya menyukai cerita romantis semacam ini. Ia tidak tahu ada pertaruhan nyawa dibalik kisah romantis ini.
“Pagi tadi, di rumah sakit. Saat aku hendak meeting dengan Tu- Om Hadran untuk urusan bahan tulisanku.”
“Benarkah? Lalu kalian langsung menikah?” Winda benar-benar terkesima dengan cerita buatan sang penulis.
“Ya, dia langsung melamarku. Ku pikir, cintaku dua tahun di Bali hanya sepihak dan tidak terbalas. Tapi rupanya, kami memendam perasaan yang sama dan tidak pernah berubah. Meski aku… aku pernah berusaha move on dengan berkencan dengan pria lain. Tapi ternyata, aku tetap tidak bisa melupakan Abrisam.”
“Oh manis sekali. Ternyata di balik sikap dingin Abi selama ini, dia mempunyai sisi yang
manis juga ya.” Goda Winda pada Abrisam yang tidak direspon sama sekali.
“Kau langsung melamarnya?” Hadra bertanya pada Abrisam, terselip nada tak percaya.
“Ya. Aku tidak mau kehilangan Sal lagi.”
Salina dapat melihat bagaimana rahang Hadran mengeras. Tapi pria itu tetap bersikap wajar, mungkin karena di depan istrinya. Jadi, bisa jadi istrinya tidak tahu iblis dibalik sikap ramah dan bijaksana suaminya itu.
“Sayang, bisa kah kau antar Salina berjalan-jalan keliling rumah ini. Biarkan semua orang mengenal anggota baru keluarga kita.” Ujar Hadran dengan begitu lembut pada Winda yang disanggupi dengan sangat antusias oleh wanita itu.
“Ayo, cantik, kuajak kau melihat-lihat rumah ini. Dulu saat aku baru menikah dengan Hadran, aku sempat tersesat di dalam rumah ini.” Winda bercerita singkat dengan ringan seraya dua wanita itu melangkah ke luar dari ruang kerja itu.
Tinggal lah Abrisam, Hadran dan Galih disana.
Wajah bijaksana ala Gandalf yang sedari tadi dipakainya perlahan memudar, Hadran bangkit dari kursinya seraya mengambil dua buku nikah yang tadi diletakkan Galih di atas sama, kemudian melemparkannya dengan kasar pada Abrisam.
“Apa maksudmu?!” Hadran menatap sengit pada Abrisam, keponakan sekaligus orang kepercayaannya. “Aku menyuruhmu untuk menghabisinya tapi kau malah menjadikannya sebagai istrimu! Berengsek!”
“Aku tidak bisa melakukannya, Om.” Jawab Abrisam tenang.
“Kau pikir aku percaya dengan apa yang dikatakan penulis itu?”
“Om harus percaya, karena itu yang terjadi.”
“Kau akan membawa duri di dalam keluarga ini, Abi! Dia bisa melaporkan apa yang dia lihat!”
“Dia tidak akan melakukannya. Aku akan menjamin itu. Selama, Om juga berjanji tidak akan menyentuhnya atau pun menyentuh keluarganya.”
Hadran masih tidak puas dengan jawaban Abrisam. Ini adalah kali pertama Abrisam tidak menuruti perintahnya selama belasan tahun Abrisam tumbuh dalam pengawasannya.
“Siapa yang memberikanmu ijin untuk menikahinya?!”
“Aku tidak membutuhkan ijin siapa pun untuk menikah dengan wanita yang aku mau.”
“Kau pikir aku percaya dengan cerita pertemuan kalian di Bali?”
“Galih!”
Galih tanpa dipanggil dua kali langsung bergerak mengeluarkan dua lembar kertas dan menunjukkan data online history penerbangan dua tahun lalu sebuah maskapai dengan ponselnya.
“Ini adalah potokopian tiket Kakak ipar ketika ia pergi ke Bali dua tahun lalu, dan ini adalah potokopian tiket Kak Abi dua tahun lalu ketika ditugaskan Tuan ke Bali. Dan ini adalah record perjalanan mereka. Dan ini adalah salah satu cctv dimana Kak Abi dan Kakak ipar berada di salah satu restoran di sana. Disanalah kisah mereka dimulai.” Galih menjelaskan.
Hadran tidak lagi bisa mengatakan kalau cerita pertemuan mereka adalah kebohongan, karena ia tahu bagaimana Galih bekerja layaknya seorang intel yang bisa mendapatkan data yang paling rahasia sekali pun. Dan bukti-bukti pertemuan mereka di Bali tidak dapat Hadran hindari lagi. Dua tahun lalu ia memang menugaskan Abrisam ke Bali untuk membereskan seorang pengkhianat.
“Baiklah.” Kata pria itu kemudian. “Asalkan kau menjamin mulutnya tetap tertutup.”
“Selama Om juga berjanji tidak akan menyentuhnya juga menyentuh keluarganya.”
“Jawab dulu dengan jujur pertanyaanku, apa kau sungguh jatuh cinta padanya?”
“Ya.” Jawab Abrisam tanpa keraguan dalam nada suara juga dalam sorot matanya yang selalu tegas, dingin dan dalam.
“Baiklah, aku tidak akan menyentuhnya juga keluarganya. Aku akan menerimanya sebagai anggota keluarga, aku juga akan memperlakukannya sebagai anggota keluarga.”
Dan kedua pria itu pun saling berjabat tangan juga saling menghunuskan tatapan tajam.
Kita lihat seberapa lama kau bertahan dengan kepura-puraanmu mencintai gadis itu. Hadran dengan kata hatinya.
Aku tidak akan membiarkanmu menyentuhnya. Abrisam dengan janji yang dia buat dalam hatinya.
.
.
.
TBC~
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments