Opsi.

"Kemana kau akan membawaku?" tanya Salina. Ia gugup, takut dan cemas sebenarnya. Tapi sepercik keberanian dalam dirinya membuatnya untuk tetap yakin bahwa ia akan tetap hidup. Harus optimis.

"Ke tempat peristirahatan terakhirmu." jawaban Abrisam memupuskan setitik optimis yang Salina pegang dalam hidupnya yang diujung tanduk.

Setelah tiba di tengah-tengah kebun kosong yang luas itu, Abrisam mendorong Salina kasar dengan ujung senjata apinya.

Salina mengangkat ke dua tangannya, ia memberanikan diri bebalik badan untuk melihat dan menatap mata dingin yang tajam dan gelap itu.

"Abrisam... Abrisam kan namamu... kumohon, jangan lakukan ini. Kumohon!" Pecah juga akhirnya tangis Salina melihat bagaimana kerasnya ekspresi Abrisam dengan mulut pistol itu mengarah ke kepalanya.

"Aku yakin, jauh dalam hatimu, kau juga masih manusia, kau masih punya hati, kumohon."

"Kau akan mati dengan cepat. Jangan khawatir. Setelah ini keluargamu juga akan menyusul. Jadi tidak perlu takut kau akan berpisah dengan mereka."

"Apa? Apa? Keluargaku? Bundaku? Adikku? Ya Tuhan, jangan, kumohon! Baiklah, kau boleh menghabisiku, kau boleh menguburku dimana pun kau mau, atau tidak menguburku, terserah! Tapi kumohon jangan sentuh keluargaku. Kumohon!" Air mata semakin deras membanjiri wajah dengan pipi chubby-nya.

Perlahan dengan memberanikan diri, Salina melangkah mendekat pada Abrisam, sambil terus mengucapkan permohonan agar tidak menyakiti orang-orang yang dia sayangi.

"Mundur!" Bentak Abrisam begitu menyadari Salina semakin mendekat.

Salina masih menangis.

"Berlutut!"

"Baik! Baik! Tapi jangan sakiti keluargaku!"

"Berlutut!"

Salina berlutut, tangannya ke atas. Ia pasrah!

Abrisam pun mendekat hingga jarak antara kening dan mulut pistol itu hanya 5 cm.

"Apa ada kata-kata terakhir?" tanya Abrisam.

Salina mendongak, menatap lurus ke mata Abrisam dengan matanya yang basah dan ketakutan, kemudian menjawab, "Selamatkan aku."

Tapi yang terdengar kemudian bukanlah jawaban dari bibir tipis Abrisam melainkan suara letupan dari senjata api itu.

DOR!

.

.

Salina membuka mata setelah keheningan yang cukup menggigit setelah suara letupan pistol Abrisam.

"Apakah aku sudah mati?" Suaranya bergetar bertanya pada satu-satunya manusia yang berdiri di depannya.

"Kalau kau mati, apakah kau masih bisa bertanya pada pembunuhmu?" Abrisam balas bertanya dengan nada suaranya yang dingin.

"Oh Tuhan! Oh Tuhan! Terima kasih! Aku janji akan menutup mulutku! Aku janji!" Salina berdiri dan hendak pergi.

"Siapa yang menyuruhmu pergi?!" Bentak Abrisam.

Langkah kaki Salina terhenti. "Bukankah kau membebaskanku?"

Abrisam tersenyum tipis. "Apakah aku mengatakan itu?"

"Tapi kau tidak menembakku."

"Kau minta diselamatkan, bukan?"

"Ya!" jawab Salina diiringi anggukan kepala dengan cepat.

"Maka aku akan memberikanmu dua opsi."

"Baiklah, apa itu?"

"Jika kau ingin kau dan keluargamu selamat, maka kau harus menikah denganku.”

“APA?” Salina melotot, dengan sisa air mata pada ujung-ujung matanya. “Menikah?”

“Ya. Om Hadran tidak akan menyakiti anggota keluarga. Jadi jika kau ingin selamat, maka satu-satunya jalan adalah dengan menjadi istriku. Kau otomatis akan menjadi anggota keluarga, dan keluargamu akan menjadi keluargaku.” Abrisam menjelaskannya singkat, jelas, padat dan dingin.

“Tapi… tapi itu tidak mungkin, aku sudah mempunyai kekasih, kami saling mencintai!”

“Terserah saja padamu. Tapi jika kau tidak menikah denganku, maka hayatmu berakhir di tempat ini, begitu pun dengan nyawa anggota keluarga, juga kekasihmu itu. Aku tidak bisa menyisakan orang-orang yang akan mencarimu dan akan mengarah pada Om ku.”

“Tapi… ini tidak adil… ini sungguh tidak adil…”

“Aku tidak memaksamu. Kau yang minta diselamatkan. Dan aku memberikanmu pilihan. Kau yang menentukan. Apanya yang tidak adil?”

“Jika… jika aku menikah denganmu, apa aku akan bebas?”

“Bebas?” Abrisam tersenyum sinis. “Kau akan hidup dalam peraturanku. Tapi aku akan menjamin keselamatan dirimu juga keluargamu, tapi tidak dengan kekasihmu.”

“Apa maksudmu aku akan menjadi tawananmu?”

“Ya.”

“Oh Tuhan…. Apa sebaiknya aku mati saja?”

“Terserah kau saja.”

“Jika aku memilih opsi kedua, tidak bisakah kau lepaskan keluargaku?”

“Tidak bisa.”

“Tidak bisakah aku saja yang kau habisi?”

“Memangnya kau ingin mati?” tanya Abrisam balik.

“Tidak! Sesungguhnya aku ingin lari saat ini.”

“Aku berikan kau waktu satu menit untuk memikirkannya.”

“Aku ingin hidup panjang, menikah, memiliki anak, berkeluarga dengan damai dan bahagia, tapi… tapi… jika aku hidup, aku harus menikah denganmu, itu sama saja aku mengubur mimpiku dan-“

“Waktumu habis!” Potong Abrisam, ia kembali mengarahkan pistol di depan wajah Salina yang panik. “Aku hitung sampai tiga, jika tidak menentukan pilihanmu, aku akan ambil pilihan kedua.”

“Apa?”

“Satu…”

“Tunggu dulu… aku…”

“Dua…”

“Ya Tuhan! Tunggu, aku tidak bisa berpikir!”

“Tig-“

“Baiklah! Baiklah!” Potong Salina dengan cepat dan setengah berteriak. “Pilihan pertama! Aku pilih pilihan pertama!”

Abrisam menyunggingkan senyuman sinis yang dingin.

“Ya Tuhan!” Salina kembali menangis.

“Bagus! Sekarang ayo pergi!” Abrisam kembali memasukkan pistolnya ke balik pinggangnya yang ditutupi bawahan jas hitamnya. “Ayo cepat! Dan hapus air matamu!”

Abrisam membawa Salina ke parkiran mobil, dan memerintahkan Salina untuk masuk ke dalam mobil sedan model tua namun sangat antik.

“Masuk!”

Tanpa membantah, Salina masuk dengan patuh.

Tak lama kemudian Abrisam pun masuk ke dalam mobilnya dan duduk di belakang kemudi.

“Katakan dimana alamat rumah keluargamu.”

“Hah? Untuk apa? Bukankah kau bilang keluargaku akan selamat jika aku menikah denganmu?”

“Ya. Karena itu, kita harus menikah dengan secepat mungkin. Kita harus temui mereka sekarang juga. Dan katakan besok kita akan menikah.”

“Apa?”

Mobil melaju meninggalkan pelataran parkir, keluar dari rumah sakit. “Dimana rumah keluargamu?”

“Tapi… apa yang akan aku katakan pada mereka? Keluargaku tahu aku sudah mempunyai Bagas. Aku dan Bagas saling mencintai.”

“Lupakan cintamu dengan pria itu mulai detik ini. Dan karanglah cerita untuk kau jelaskan pada keluargamu, bukan kah kau seorang penulis?”

“Astaga! Apa yang harus aku katakan!” Salina mengusap wajahnya dengan kasar.

“Katakan dimana rumah keluargamu, atau aku akan membawamu langsung ke KUA tanpa keluargamu perlu tahu.”

“Apa kau hobi mengancam?!”

“Aku tidak mengancam, Nona Penulis! Aku akan membawamu ke KUA sekarang jika kau tidak juga beritahu aku dimana rumah keluargamu.”

“Bogor! Aku akan tunjukkan jalannya!”

Pluk!

Tiba-tiba saja Abrisam melemparkan sekotak tisu basah di atas pangkuan Salina. “Bersihkan wajahmu. Kau harus terlihat tenang tanpa tekanan di depan keluargamu.”

“Kau menyimpan tisu basah di dalam mobilmu? Untuk apa? Menghilangkan sidik jarimu pada orang yang kau bunuh?” Sarkas Salina sambil menarik dua lembar tisu basah tanpa pewangi itu.

“Ya, begitu lah.” Jawab Abrisam santai.

Salina hanya mampu menggelengkan kepala.

“Apa yang terjadi pada… pada tubuh orang yang… yang meninggal di ruangan Tuan Hadran?”

“Bukan urusanmu. Pikirkan saja cerita yang masuk akal untuk kau ceritakan.”

Salina menarik napas panjang dan dalam, kemudian mengembuskannya perlahan, ia melakukannya berkali-kali sampai ia merasa tenang.

“Baiklah, aku rasa aku ada ide.”

“Aku mendengarkan.”

“Sekitar dua tahun lalu, aku pernah tinggal sementara di Bali untuk menulis. Aku akan katakan bahwa kita pernah bertemu disana, jatuh cinta, tapi kemudian kita berpisah tanpa saling mengungkapkan perasaan kita. Dan kita bertemu lagi, dan kau langsung melamarku, karena kau tidak ingin kehilanganku lagi. Bagaimana?”

“Apakah akan masuk akal jika sekarang kau menerima lamaranku sementara kau berhubungan dengan pria lain?”

“Tidak, tentu saja tidak masuk akal. Tapi, jika aku bersikap seolah aku adalah gadis egois yang berhati dingin, maka cerita itu akan masuk akal. Oh, Bagas… maaafkan aku.” Keluhnya pada akhir kalimat.

“Baiklah. Bali dan dua tahun lalu kurasa waktu dan tempat yang pas. Dua tahun lalu pun aku juga pernah bertugas disana.”

“Bertugas? Membunuh maksudmu?” Lagi, Salina melemparkan pertanyaan sarkas yang membuat Abrisam dengan sepasang mata dinginnya yang setajam elang melirik gadis itu dengan senyuman tipis yang sinis.

“Ya, anggap saja seperti itu.”

“Semoga Tuhan tidak akan pernah memaafkanmu dan Om mu itu.” Ujar Salina dengan penuh kebencian.

.

.

.

TBC~

Terpopuler

Comments

Whyro Sablenk

Whyro Sablenk

cerita kamu itu lho thor, kok yo mesti uapik2... /Drool/

2024-02-09

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!