You Are My Romance Story
Bruk!
“Eh, maaf Mas!” Salina mengelus lengannya ketika tubuhnya yang tidak terlalu tinggi, tidak juga terlalu pendek menubruk seorang pria bertubuh tinggi dengan ekspresi wajahnya yang dingin. Pria itu tidak repot-repot menanggapi permintaan maaf Salina, ia terus melangkah meninggalkan Salina.
Sambil mengedikkan bahu, Salina melanjutkan langkahnya.
Salina kembali memastikan pantulan dirinya pada dinding lift yang sepi di rumah sakit HG Hospital, kotak besi itu akan membawanya ke lantai 4, tempat dimana ruangan direktur utama sekaligus pemilik rumah sakit itu berada. Karena hari ini, Sal sudah membuat janji meeting dengan Tuan Hadran, untuk membicarakan soal rencananya yang akan menjadikan kehidupan aktifitas rumah sakit sebagai bahan tulisan novelnya, dengan harapan dan doa sejak dua hari lalu semoga rencana dan ijinnya tidak ditolak oleh Tuan Hadran.
Salina yakin permohonannya akan diterima, mengingat Tuan Hadran sejauh ini dikenal sebagai pribadi yang dermawan, baik hati dan ramah.
“Huuuuf. Semangat, Sal!” Salina memberikan semangat pada dirinya sendiri tepat sebelum pintu lift bergerak terbuka.
Dirinya langsung memasuki sebuah lorong yang akan membawanya menuju ruangan Tuan Hadran. Sesuai instruksi bagian represionis di lantai bawah, Salina bisa langsung saja masuk ke dalam ruangan itu, jadi beberapa langkah sebelum tiba di depan pintu ruangan Tuan Hadran, Salina mengatur napasnya agar bisa bersikap tenang.
Dua langkah kemudian, Salina sudah berdiri di depan pintu ruangan itu, yang menghentikan dirinya adalah pintu itu yang tidak tertutup rapat, dari celah yang terbuka itu, Salina dapat melihat dengan jelas, juga mendengar dengan jelas apa yang sedang terjadi di dalam sana.
Entah apa yang terjadi sebenarnya, yang jelas saat ini, Salina melihat seorang pria tengah berlutut di depan Tuan Hadran, pria itu tampak ketakutan, dan ada seorang pria lainnya yang memegangi pundak pria yang tengah berlutut itu, seperti menahan agar si pria itu tidak dapat berdiri atau pun bergerak.
Napas Salina tercekat di tenggorokan, ia ingin segera pergi dari tempatnya, ia tidak ingin melihat apa yang semestinya tidak dia saksikan. Tapi seluruh ototnya seolah membeku, tidak bisa bergerak sama sekali, termasuk memejamkan matanya.
Dilihatnya Tuan Hadran mengambil sebuah jarum suntik dari meja di belakangnya, ia menunduk, mensejajarkan wajahnya pada wajah pria yang berlutut itu. Mata Tuan Hadran berkilat sadis dan kejam, sangat bertolak belakang dengan apa yang selama ini Salina tahu dari media tentang Tuan Hadran.
“Kau tidak pantas untuk hidup.” Ucap Tuan Hadran lalu detik berikutnya dia menyuntiknya cairan apa pun itu dari jarum suntikan tadi ke leher pria itu. Setelah Tuan Hadran mencabut jarum suntiknya, Salina dapat melihat bagaimana tubuh pria tadi seketika ambruk, lalu kejang-kejang dengan hebatnya, sampai mata, hidung, mulut juga telinganya mengeluarkan darah.
Salina takut! Takut sekali!
Tangannya mencengkram tali tas selempangnya dengan kuat.
Lari, Sal! Lari! Perintah otaknya pada selurut otot tubuhnya, tapi lagi, ototnya kali ini seperti mempunyai otaknya sendiri.
Lain halnya dengan Salina yang ketakutan dan tak tega melihat pria yang tak ia kenal itu merenggang nyawa, Tuan Hadran malah melihat pemandangan itu dengan senyuman sinis yang menghiasi wajahnya.
Drrrt!
Ponsel Salina tiba-tiba bergetar dan berbunyi dari dalam saku celananya.
Seketika itu juga, keberadaan Salina disadari oleh Tuan Hadran.
“Siapa itu?!” Hadran membentak.
LARI!
Akhirnya, Salina mampu menggerakkan tubuhnya untuk melesat dari depan pintu itu. Ia berlari tunggang langgang menelusuri lorong yang sepi menuju kembali kearah lift. Jantungnya berdegup cepat ketika ia sampai di depan pintu lift. Salina menekan-nekan tombol panah ke bawah dengan panik.
Ting!
Pintu lift bergerak terbuka, tapi begitu Salina mau masuk, tubuhnya menubruk dada seorang pria yang berdiri tepat di antara pintu. Pria itu menatap Salina dengan tatapan dingin.
“Tolong saya, Mas!” Pinta Salina sebagai kalimat pertama yang keluar dari bibirnya. Dalam keadaan paniknya, Salina masih bisa mengingat wajah pria itu. Dia adalah pria yang sama dengan pria yang tadi sebelumnya juga tak sengaja ditubruknya.
Tanpa mengatakan sepatah kata pun, pria itu mencekal tangan Salina dengan kuat hingga Salina meringis. Kemudian pria itu langsung menyeret Salina kembali ke dalam lorong.
“Jangan! Jangan, Mas! Saya mohon! Saya harus pergi!” Tapi pria itu tidak merespon apa pun sampai akhirnya Salina dibawa keruangan Hadran.
Ya Tuhan! Ya Tuhan! Batin Salina teriak.
.
.
Abrisam menarik tangan gadis bermata bulat yang dia cekal itu masuk ke dalam ruangan Hadran, kemudian melepaskannya dan dia melangkah beberapa langkah membiarkan gadis itu berdiri sendirian di tengah ruangan.
Kepalanya menunduk, kedua tangannya mengepal, jelas gadis itu ketakutan.
Hadran berjalan perlahan meninggalkan bekas bunyi sol sepatunya pada lantai ruangannya, perlahan dia berhenti tepat di depan gadis itu.
"Kau yang tadi ada di luar ruanganku?" tanya Hadran dengan suara yang mengingimidasi. "JAWAB!" Bentaknya karena gadis itu tak kunjung memberikan jawaban.
"Iya." jawabnya.
Abrisam cukup tertegun dengan jawaban bulat yg keluar dari mulut gadis yang masih menundukkan kepalanya itu.
"Apa kau melihat apa yang terjadi?" tanya Hadran lagi.
Abrisam dapat melihat dengan pasti, kepala gadis itu bergerak sedikit menengok ke samping, ke arah sebuah tubuh pria berkemeja kotak2 yg sudah tidak lagi bernyawa tergeletak tepat di belakang kaki Abrisam. Meski kepalanya tetap menunduk, Abrisam dapat merasakan kebimbangan juga ketakutan yang bercampur dalam hati gadis itu.
"JAWAB!" Lagi, Hadra membentaknya.
"Iya! Saya melihatnya."
"Apa yg kau lihat?"
"Anda... Anda menyuntik sesuatu pada seseorang."
"Ah! Sayang sekali," Hadran melangkah mundur kemudian berbalik badan memunggungi gadis itu. "kau harus menyaksikan apa yang tidak seharusnya kau saksikan."
Gadis itu masih menundukkan kepalanya.
"Siapa namamu? Jangan membuatku bertanya dua kali."
"Sal... Salina."
"Salina?" Hadran mengulang. "Apa kau penulis yang akan meeting denganku pagi ini?"
"Iya, benar."
"Wah, sangat kebetulan yang tak terprediksi. Siapa yang akan menyangka, seorang penulis terkenal sepertimu harus menyaksikan hal yang tidak seharusnya. Kau tahu, apa yang kau lihat bisa kau jadikan cerita thriller." kata Hadran dengan entengnya tanpa beban, tanpa sedikit pun rasa bersalah telah melenyapkan sebuah nyawa manusia.
"Apa kau akan menuliskan sebuah cerita tentang ini? jawab pertanyaanku dan lihat wajahku!"
"Saya tidak akan menuliskan sebuah cerita novel untuk apa yang saya lihat." jawab gadis itu dengan kepalanya yang terangkat. Suaranya bergetar. "Tapi saya akan melaporkannya." Nah, meski bergetar, tapi cukup berani untuk
mengancam Hadran.
"Berani sekali! Padahal kau tahu, nyawamu berada ditanganku!" Hadran kembali melihat gadis itu. "Abrisam! Periksa ponselnya!"
Abrisam dengan langkah lebarnya langsung menarik paksa tas selempang yang dikenakan gadis itu, ia langsung mengeluarkan semua isi tas, tapi tidak menemukan ponsel itu, kemudian ia melihat benjolan kotak pada saku celana gadis itu.
"Berikan ponselmu." Ucap Abrisam dengan suara beratnya yang begitu dingin, sedingin tatapan matanya yang tidak bebelas kasih seperti Hadran.
Gadis itu tidak melawan, ia memberikan ponselnya pada Abrisam setelah menempelkan sidik jarinya pada layar. Tidak sampai lima menit Abrisam mengecek ponsel gadis itu.
"Bersih." ucapnya pada Hadran.
"Kau yakin?" Hadran bertanya.
"Ya."
"Bagus, berarti kau hanya merekamnya di dalam kepalamu itu saja, kan? Sayang sekali, kau akan kehilangan kepalamu sebentar lagi." ujar Hadran.
Gadis itu semakin menguatkan kepalan tangannya.
"Abi, bereskan dia. Dan juga semua orang yang kemungkinan akan mencarinya. Aku tidak ingin ada kericuhan. Pastikan namaku tetap bersih untuk pilkada ini."
Abrisam mengangguk tanpa suara, kemudian dengan sekali hentakkan ia menarik gadis itu, menyeretnya keluar dari ruangan Hadran kembali menelusuri lorong yang sepi menuju lift.
.
.
"Kemana kau akan membawaku?" tanya Salina, tapi Abrisam diam saja.
"Apa kau akan membunuhku? Seperti pria yang disuntik mati itu?"
"Apakah aku akan mati sebelum menikah?"
"Apakah aku akan mati tanpa perpisahan dengan keluargaku? Dengan kekasihku?"
"Setidaknya kabari keluargaku dimana aku dikubur, agar mereka tetap mendoakan arwahku."
"Apakah aku-"
"Diam atau aku akan membuatmu kehilangan jiwamu, bukan nyawamu!" Bentak Abrisam yang membuat gadis itu sontak merapatkan bibirnya.
Mata bulatnya menatap Abrisam takut tapi juga berani.
Liift bergerak turun, Abrisam mengeluarkan senjata api dari balik pinggangnya yang membuat Salina terkesiap. ini adalah kali pertama ia melihat senjata api sungguhan tepat di depan batang hidungnya.
"Apa itu pistol sungguhan? Bukan korek api?"
"Apa kau selalu banyak tanya begini?"
"Tuntutan profesi."
Abrisam kembali menarik Salina lebih dekat dengannya lalu menempelkan ujung senjata api itu pada pinggang Salina.
"Bersikap normal, lakukan saja apa yang aku katakan, jangan membuat onar, atau aku akan menembak kepalamu sebelum kau sempat menyebut nama Tuhanmu." Bisik Abrisam penuh dengan ancaman yang mana Salina yakin pria itu akan benar-benar melakukannya.
Glek!
Salina tidak membantah dan melawan. Ia berusaha bersikap normal yang berjalan bersisian dengan seorang pria bertubuh tinggi tegap, berpakaian serba hitam dan bermata dingin yang menempelkan pistol dibalik semi blazer yang dikenakan Salina.
Abrisam terus membawanya ke area belakang rumah sakit, kemudian keluar melalui pagar pembatas area rumah sakit itu. Mereka kini berada di tengah kebun kosong yang ditanami pohon-pohon lebat.
"Kemana kau akan membawaku?"
"Ke tempat peristirahatan terakhirmu."
.
.
.
TBC~
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments