Salina tidak akan pernah menyalahkan Bunda atas perih dan hancur hatinya saat ini. Karena jika ia berada pada posisi Bunda dengan segala ketidaktahuan atas apa yang terjadi sebenarnya, ia pun akan melakukan hal yang sama. Tapi, sungguh miris sekali rasanya. Air mata tak hentinya keluar dari kedua mata Salina, ketika Abrisam membawanya kembali ke Ibu kota bersama dengan satu tas kopor besar dan satu ransel juga satu tas laptop menumpangi jok belakang dan bagasi mobil Abrisam.
"Tidak bisakah kita berhenti sebentar di pom bensin? Aku mau cuci muka." kata Salina akhirnya setelah bermenit menit menguras air matanya.
"Tidak bisa. Lap saja wajahmu dengan tisu basah yang tadi." jawab Abrisam tanpa simpatik.
"Kau manusia berhati dingin yang pernah kukenal!" Salina berkata dengan nada kesal yang tertahan pada tenggorokannya sambil mengeluarkan lembaran-lembaran tisu basah itu dari kotaknya dan mengusap wajahnya dengan kasar.
"Aku berjanji akan membencimu dan Om mu seumur hidupku!"
Abrisam diam saja. Tetap fokus menyetir tanpa terinterupsi dengan semua kata-kata kebencian dari Salina.
Setelah hampir dua jam perjalanan, Abrisam membawa Salina ke sebuah apartemen tanpa penjelasan apa pun, ia hanya memerintahkan Salina untuk keluar dari dalam mobil.
"Keluar." Titahnya pelan.
Salina keluar tanpa membantah. "Dimana ini?" Tanyanya kemudian.
"Hei, kesini." Abrisam menyuruh Salina untuk mendekat padanya yang tengah membuka bagasi mobilnya.
"Apa?"
"Ambil pakaian ganti, dan riasan wajah. Kau akan mandi dan rias wajahmu agar terlihat seperti manusia. Setelah ini kita akan menemui Om Hadran.
"Kenapa aku harus berganti pakaian dan make up untuk menemui orang yang menyuruhmu membunuhku?"
"Karena dia Tuan Hadran. Kau tidak bisa meyakinkan dia dengan kisa cinta romantis kita di Bali dengan penampilanmu yang menyedihkan. Cepat ambil satu setel pakaian dan bawa serta alat make up mu. Kita tidak punya banyak waktu!"
.
.
.
Salina dan Abrisam menelusuri lorong menuju pintu unit apartemen milik Abrisam. Dengan akses menggunakan kartu, Abrisam membuka pintu.
"Kamar mandi sebelah sana. Ingat kita tidak mempunyai banyak waktu."
Merengut tapi menurut, Salina melangkah menuju arah kamar mandi yang ditunjuk Abrisam. Sementara Salina masuk ke dalam kamar mandi, Abrisam mulai menghubungi seseorang untuk mendukungnya.
“Aku membutuhkan bantuanmu secepatnya.” Ujar Abrisam pada seseorang pada ponselnya. Cukup lama Abrisam berbicara dengan ponselnya sampai tak menyadari Salina sudah keluar dari kamar mandi. Gadis itu sudah rapih dan wajah yang lebih segar, meski kesedihan juga kebencian terpancar nyata dalam sorot matanya.
“Baiklah, lakukan dengan cepat.” Katanya mengakhiri pembicaraannya begitu keberadaan Salina disadarinya.
Abrisam memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku jas hitamnya seraya memandangi Salina dari bawah hingga ke atas.
“Apa kau mau makan dulu?” Pertanyaan Abrisam nyaris saja membuat Salina tertawa terbahak-bahak.
“Pagi tadi kau nyaris menanamkan peluru ke dalam kepalaku, memberikanku pilihan yang tidak adil, dan sekarang kau menawariku makan? Makan apa? Racun?”
“Baiklah, tidak usah makan. Kita berangkat sekarang.” Sahut Abrisam super dingin. Dia berjalan mendahului Salina keluar dari dalam apartemen. Salina berjalan di belakangnya, tidak berniat sama sekali untuk menyamai langkahnya dengan langkah pria di depannya itu.
Mereka kembali menaiki mobil Abrisam, pria itu tidak banyak bicara. Dia memang sepertinya tidak suka bicara, sekalinya bicara hanya membuat Salina kesal.
Salina pun memutuskan untuk diam seribu bahasa sampai mobil Abrisam memasuki sebuah bangunan yang bertuliskan jelas sebagai kantor urusan agama.
“Apa ini? Kenapa kita kesini?” tanya Salina bingung.
“Kita akan menikah, kau lupa?”
“Bukannya besok?”
“Lebih cepat lebih baik. Lagi pula, sekarang atau besok, keluargamu tetap tidak akan datang.”
“Ya! Terima kasih padamu, gara-gara kalian, aku harus mengubur semua rencana masa depanku!”
“Apa kau tidak bisa melihat dari sisi positifnya? Kau dan keluargamu selamat. Seharusnya kau bersyukur.”
“Aku lebih baik mati kalau tahu hidupku akan selamanya berjalan di atas api neraka dunia.”
“Baiklah, kalau begitu aku harus menyiapkan tiga liang lahat.”
“Eeerrggghhh!” Salina mengeram kesal lalu keluar dari dalam mobil dan menutup pintunya dengan sangat kasar.
Seseorang telah menunggu mereka di depan pintu kantor urusan agama itu. Seorang pria berkaca mata hitam yang tersenyum menyambut kedatangan Abrisam dan Salina.
“Apa sudah beres semua?” tanya Abrisam.
“Sudah, Kak. Kakak hanya tinggal ijab qobul saja.” Jawab pria itu.
Abrisam mengangguk.
“Salam!” Pria itu mengulurkan tangan pada Salina dengan senyuman lebar. Bukan senyuman sinis seperti milik Abrsiam. Senyuman pria yang ini jauh lebih manusiawi dan ramah. “Aku Galih.”
“Apakah kau sama seperti dia?” tanya Salina tanpa membalas uluran tangan Galih. Pria itu memakluminya sambil terkekeh.
“Sama dalam hal apa ya?”
“Mengancam dan menghabisi orang.”
Galih terkekeh sambil melihat Abrisam dan kembali melihat Salina dengan tatapan takjub. “Bisa dikatakan, aku adalah tangan kanan Kak Abi.”
Tunggu dulu, apa tadi dia bilang? Kak Abi? Jangan bilang si darah dingin ini panggilannya adalah Abi? Dan tadi di depan Bunda aku memanggilnya Abi? Huueekk! Aku harus segera menyikat lidahku dengan sikat kawat dan berkumur dengan si4nida!
“Cukup perkenalannya. Ayo cepat!” Abrisam masuk ke dalam bangunan itu, Galih mempersilahkan Salina berjalan lebih dulu, sementara dirinya berjalan dibelakang Salina, memastikan situasi aman.
“Tunggu, kalau menikah, bukan kah membutuhkan dokumen data diri aku dan kau. Bagaimana mungkin bisa menikah? Kita tidak menyiapkan dokumen apa pun.” Salina menahan lengan Abrisam dengan sangat berani dan tanpa sungkan, membuat Galih mengangkat kedua alis matanya. Itu adalah fenomena baru.
“Galih sudah megurusnya.” Jawab Abrisam.
Salina beralih pada Galih, melepaskan tangannya dari lengan Abrisam tanpa rasa apa-apa.
“Dari mana kau mendapatkan data-dataku?”
“Bantuan sihir, Kak.” Jawab Galih asal.
Salina memicingkan mata menatap Galih dengan tatapan penuh kecurigaan.
“Cepat! Atau Hadran akan mulai curiga dan mencarimu.”
.
.
.
“Bagaimana, sah?” tanya petugas yang berwenang menikahkan Abrisam dan Salina.
“SAH!” Sahut Galih. Ia tak lupa mendokumentasikan pernikahan sederhana dan mendadak itu dengan kamera ponselnya.
Doa dipanjatkan, Salina mengernyit melihat bagaimana Abrisam terlihat khusyuk mengikuti doa yang diucapkan dan mengamininya dengan serius.
Setelah acara akad selesai dengan singkat, poto-poto dengan singkat tanpa persiapan apa-apa, mereka langsung pergi dari tempat itu. Tak terasa, Salina kembali menangis sambil memandangi dua buku nikah yang ada di tangannya.
Seharusnya moment ini adalah moment paling bahagia dan penuh haru yang diiringi dengan tangis dan tawa bahagia. Seharusnya Salina menjadi istri pria yang ia cintai dan mencintainya. Seharusnya ia mencium tangan ibunya. Tapi ini apa? Pernikahan macam apa ini?
“Apa kau tidak bosan menangis seharian ini?” Abrisam melemparkan tisu kering pada Salina.
“Apa kau tidak bosan cosplay menjadi manusia?” Balas Salina sambil menyabut dua helai tisu dengan kasar untuk melap cairan dari hidungnya dan air matanya.
“Kau tahu, kita akan menjadi pasangan paling epic.”
“Aku lebih baik menjadi pasangan Voldemort.”
.
.
.
TBC~
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments
Whyro Sablenk
sampek bingung arep koment spa thor...
terlalu epic/Drool/
2024-02-09
0