BAB 4.

Ceklek

 Zidan membuka pintu ruangan dan tampaklah wajah ibu dan bapak mertuanya di sana, raut cemas tak dapat mereka sembunyikan. Namun yang yang menjadi fokus Zidan kini bukanlah mereka, melainkan seorang gadis manis yang tertunduk malu di belakang mereka.

"Gimana kondisi Adel? Kenapa kamu baru ngabarin ibu sama bapak sekarang?" tanya Bu Hanif, ibu dari Adel dengan raut wajah cemas.

 Zidan yang sejak tadi tak fokus karena gadis yang ada di belakang mertuanya itu tampak terkejut, kemudian mempersilahkan mereka masuk.

"Adel yang ngelarang Zidan buat kasih tau bapak sama ibu, takut bikin khawatir katanya," jelas Zidan lembut.

 Bu Hanif dan Pak Hanif, orang tua Adel gegas masuk ke dalam ruangan dan memberondong putri semata wayang mereka dengan pelukan dan ciuman penuh haru.

"Anak nakal, seneng sekali dari dulu bikin ibu sama bapaknya jantungan. Kamu itu kenapa tho, Nduk? Kok bisa sampe di rawat di rumah sakit begini?" tanya Bu Hanif dengan air mata mulai berlinang di pipinya.

 Adel tersenyum tipis, bibirnya yang pucat tampak semakin pucat ketimbang sebelum orang tuanya datang.

"Adel nggak papa kok Pak, Bu." Adel berusaha bangkit untuk duduk.

Pak Hanif memapahnya dan menegakkan bantal Adel untuk menyangga punggungnya.

"Nggak papa gimana tho, Nduk. Namanya di rawat di rumah sakit itu ya pasti karena badan kita kenapa-kenapa, masa iya kamu di rawat di rumah sakit karena mau pelesiran? Kan nggak mungkin," celetuk Pak Hanif mencairkan suasana.

"Beneran kok Pak, Adel nggak papa. Tanya aja Mas Zidan kalau nggak percaya. Ya kan Abi?" Adel mengalihkan pandangannya menatap sang suami yang tengah sibuk membawa koper-koper mertuanya masuk ke dalam.

 Tanpa sengaja saat hendak menarik koper Pak Hanif tangannya bersentuhan dengan tangan gadis yang datang bersama mertuanya. Zidan tertegun begitu juga gadis itu, bahkan dia sampai tak mendengar pertanyaan dari sang istri di sana.

"Abi?" panggil Adel lagi.

 Hati Adel merasa tersentil saat melihat adegan itu di depan matanya, bagaimana untuk pertama kalinya suaminya menatap wanita lain begitu lama selain dirinya. Namun dia tak bisa berbuat apa-apa, dia menguatkan dirinya agar bisa lekas terbiasa dengan pemandangan itu

Zidan terkesiap dan lekas mengalihkan pandangannya pada Adel, sedang gadis itu pun beranjak dan memilih duduk di sofa yang ada di ruangan tersebut.

"Ya, Sayang? Kamu bilang apa? Maaf Abi nggak denger," sahut Zidan kikuk.

 Untuk pertama kalinya dalam sejarah pernikahan mereka, Zidan tidak mendengar perkataan Adel.

"Ibu sama bapak tanya, Adel sakit apa kenapa bisa sampe di rawat. Eh sama Adel malah di suruh nanya sama kamu," ujar Bu Hanif mewakili suaminya.

 Mendung menggelayuti wajah Zidan, sesaat dia menatap sendu wajah istrinya yang semakin tampak tirus dan cekung. Padahal dulunya Adel adalah gadis periang yang cantik.

 Adel mengangguk, memberi izin pada Zidan untuk menyampaikan kabar sakitnya pada orang tuanya. Dengan menghela nafas berat, Zidan akhirnya menjawab.

"Adel ... Adel sakit kanker rahim Pak, Bu." Tangis Zidan menetes, di iringi dengan jeritan tertahan Bu Hanif dan gadis yang tadi ikut dengan mereka.

"Ya Allah, Nduk. Kenapa kamu bisa sakit separah itu, Nduk? Dan kenapa kamu malah diam dan nggak ngasih tau bapak dan ibu? Apa kamu sudah nggak nganggep kami lagi? Apa bagi kamu kami sudah mati?" teriak Bu Hanif frustasi.

 Tak pernah terlintas di benaknya kalau putri satu-satunya yang teramat sangat di sayangi akan mengahadapi penyakit yang bisa saja merenggut nyawanya.

"Maafin Adel, Bu. Bukan itu maksud Adel, Adel cuma nggak mau ngerepotin kalian, Adel nggak mau kalian jadi cemas cuma gara-gara Adel." Adel mengusap matanya yang berair.

"Apa kamu bilang, Nduk? Cuma? Apa serendah itu kamu menilai diri kamu sendiri? Padahal buat kami kamu itu bagaikan berlian, Adel. Lebih berharga bahkan dari berlian, tentu saja kamu sangat layak untuk di cemaskan," ucap Pak Hanif mengelus kepala putrinya yang tertutup jilbab.

 Pak Hanif dan Bu Hanif memeluk Adel dengan tangis di masing-masing pipi mereka. Larut dalam kesedihan yang tak sengaja tercipta hanya karna sebuah rasa khawatir.

"Sekali lagi, Adel minta maaf ya Pak, Bu." Adel melerai pelukan kedua orang tuanya.

"Ya sudah, sekarang kamu istirahat yang banyak ya, Nduk. Jangan mikirin apa-apa, bapak sama ibu bakalan ada di sini juga buat ngurus kamu," titah Pak Hanif sambil mengelus tangan putrinya.

"Iya, Nduk.bener kata bapak, kami akan ada di sini buat kamu sampai kamu benar-benar sembuh," tegas Bu Hanif pula.

"Terima kasih ya Pak, Bu," gumam Adel terisak.

"Alhamdulillah, terima kasih banyak Pak, Bu. Maaf kalau Zidan belum bisa jadi suami yang baik buat putri kalian," ujar Zidan angkat bicara.

 Pak Hanif berbalik dan menepuk pundak menantu kesayangannya itu.

"Wes nggak papa, bapak sudah sangat berterima kasih sama kamu, Le. Karna sejak menikah sama kamu Adel nggak pernah sekalipun mengeluh kekurangan atau apapun. Setiap telepon dia selalu terdengar bahagia, dan itu terbukti sekarang," ujar Pak Hanif sambil melayangkan pandangannya ke seantero ruangan kamar rawat Adel yang bisa di sebut lebih mirip kamar hotel bintang lima itu.

"Ini bukan apa-apa, Pak. Perempuan sesempurna anak bapak dan ibu bahkan pantas mendapatkan yang lebih dari ini," gumam Zidan seraya menatap penuh cinta pada istrinya di pembaringan.

 Bu Hanif yang juga melihat bagaimana cara Zidan menatap istrinya penuh cinta itu merasa terenyuh, dan langsung bersyukur karena putrinya ternyata mendapatkan suami yang tepat. Bahkan sangat tepat. Bu Hanif memeluk Adel dari samping dan mengusap-usap punggungnya.

"Luar biasa! Bapak bangga sekali sama kamu, Zidan. Bapak titip anak bapak, jaga dia seperti kamu menjaga nyawamu sendiri," pesan Pak Hanif mantab.

"Insyaallah, Pak. Saya siap menjalankan amanah bapak," sahut Zidan yakin.

"Dia putri kesayangan kami satu-satunya, seperti kami menyayanginya sejak kecil tolong jangan sakiti dan jangan tinggalkan Adel, Nak Zidan. Walau sekarang kondisi Adel sedang sakit parah," pinta Bu Hanif pula.

 Zidan berjalan mendekat ke arah istri dan mertuanya, meraih tangan Adel dan mengecupnya dalam-dalam. Tak malu sama sekali walau di lihat langsung oleh kedua mertuanya.

"Pasti, Bu. Adel akan tetap jadi istri Zidan, sampai nyawa Zidan kembali ke maharibaan-Nya."

 Adel tersenyum kecil menanggapi perkataan suaminya yang sejak dulu memang selalu saja romantis padanya.

"Terima kasih, Bi. Tapi walau begitu tolong jangan lupa sama janji Abi," tukas Adel pelan.

 Bu Hanif dan Pak Hanif tampak kebingungan mendengar perkataan putri mereka.

 Adel melambaikan tangannya pada gadis yang sepertinya terlupakan kehadirannya sejak tadi, gadis itu mendekat dan Adel langsung menggenggam tangannya erat. Di ikuti tatapan penuh tanya dari kedua orang tuanya dan tatapan sendu dari suaminya.

"Ada apa ini, Nduk? Ibu sama bapak dari kemarin juga bingung, apa maksud kamu minta kami turut membawa dia untuk ikut ke sini jenguk kamu," ujar Bu Hanif sambil menunjuk gadis yang tengah di gandeng Adel.

 Adel menarik senyum di bibirnya, dan menatap sebentar pada gadia ayu di sampingnya itu.

"Mumpung semuanya di sini, Adel sekalian mau ngasih tau kalau dia, Anissa Salsabilla. Dia adalah calon istri muda Mas Zidan," ucap Adel jelas dan tegas.

"Apa?" jerit Bu Hanif dan Pak Hanif berbarengan, begitu dengan Nisa yang tampak sama terkejutnya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!