ISTRI UNTUK SUAMIKU
"Tidak Mi! Abi nggak akan pernah menikah lagi walau apapun yang terjadi sama Umi nanti. Tolong jangan terus memaksa Abi, Mi. Percayalah Allah nggak tidur, Allah pasti mendengar doa-doa supaya suami lekas sembuh. Percaya sama Abi," seru Zidan yang lagi dan lagi di bujuk oleh Adelia agar mau menikah lagi.
"Umi cuma mau Abi ada yang merawat, Abi lihat sendiri kondisi Umi sekarang gimana kan? Bahkan ke kamar mandi sendiri pun Umi nggak bisa. Umi merasa nggak berguna jadi istri, Bi! Umi nggak berguna!" Isak Adel mulai tak tahan.
Sudah berbulan-bulan dia hanya bisa berada di atas tempat tidur rumah sakit, kanker serviks yang di deritanya memaksanya untuk terbaring tak berdaya di atas brankar rumah sakit tersebut.
Sedangkan Zidan, sang suami yang berprofesi sebagai pengusaha barbershop dan tenaga pengajar di sebuah lembaga pendidikan Islam itu harus bolak-balik setiap hari guna bisa merawat langsung istrinya dengan kedua tangannya.
Zidan membawa Adelia ke dalam pelukannya, membiarkannya menumpahkan semua tangis dan sesaknya di sana.
"Abi nggak apa-apa, Sayang. Abi ikhlas! Abi ikhlas ngurusin Umi, Abi cuma berharap Umi juga bisa yakin sama kekuasaan Gusti Allah. Berdoa terus, insyaallah Umi bakal segera sembuh," bisik Zidan di telinga Adelia.
Tidak ada siapapun di ruangan itu, hanya mereka berdua. Tidak mertua ataupun orang tua Adel yang tinggal berbeda pulau.
Adel melerai pelukannya dan dengan kasar menghapus air matanya.
"Umi akan sembuh, kalau Abi setuju menikah lagi." Adel menatap mata suaminya dalam-dalam.
Zidan mendesah, ini sudah kesekian kalinya kalimat itu keluar dari mulut wanita yang teramat sangat di cintainya itu. Walau rejeki akan hadirnya seorang anak belum didapatkan mereka tapi cintanya pada Adelia adalah yang paling suci baginya. Sangat luar biasa berat bagi Zidan untuk menyetujui keinginan istrinya yang satu itu.
"Jangan bicara seperti itu, Sayang. Kamu pasti sembuh, tanpa Abi harus menikah lagi," tukas Zidan lembut seraya mengusap kepala istrinya yang tertutup jilbab lebar itu.
Adel kembali terisak, kali ini bahkan sampai sesenggukan.
"Anggaplah ini permintaan terakhir Umi, Bi. Tolong penuhi permintaan Umi ini," Isak Adel semakin menjadi.
Perlahan isakan lirihnya berubah menjadi tangisan yang menyayat hati. Zidan yang tak tega akhirnya mengalah, memeluk kembal tubuh ringkih istrinya dan berbisik lembut di telinganya.
"Baiklah, kalau memang begitu kemauan Umi. Tapi dengan dua syarat," pinta Zidan setelah berusaha menekan egonya sedalam mungkin agar tak terus menerus membuat jejak air mata di pipi tirus istrinya.
Adel melepas pelukannya dan menangkup wajah Zidan dengan kedua tangannya, tampak binar bahagia terpancar jelas dari matanya.
"Serius, Bi? Katakan! Apa syarat yang Abi minta?" ucap Adel antusias.
Mata Zidan berkaca-kaca, betapa mirisnya hatinya saat melihat istri yang sangat di cintainya bahkan tampak begitu senang saat dia setuju untuk menikah lagi.
"Yang pertama, Umi harus semangat untuk sembuh. Nggak boleh putus asa dan jangan putus berdoa."
Adelia mengangguk mantap.
"Dan yang kedua, Umi yang harus memilih calon madu Umi sendiri. Karna ini keinginan Umi, jadi Abi nggak akan ikut campur. Selama Umi bahagia Abi akan lakukan apapun kemauan Umi," ucap Zidan penuh keterpaksaan.
Adelia kembali mengangguk dengan semangat, senyumnya terbit bercampur tangis. Setelah mereka berdua kembali larut dalam pelukan, melepaskan lagi segala beban yang bercokol di dada masing-masing.
****
Tok
Tok
Tok
Pintu ruangan rawat Adel di ketuk dari luar, Zidan yang tengah menyuapi istrinya itu gegas beranjak untuk membuka pintu.
"Assalamu'alaikum, Ma. Sama siapa?" sapa Zidan pada wanita paruh baya dengan dandanan ala sosialita yang ternyata adalah mamanya, ibu mertua dari Adel.
"Sama supir," jawab Bu Sita singkat, tak ada jawaban sama sekali atas salam yang di ucapkan Zidan tadi.
Bu Sita melangkah masuk, memindai sekitat ruangan bagaikan petugas polisi menyidik rumah tersangka. Zidan masuk dan kembali mengambil mangkok bubur untuk menyuapi istrinya lagi.
"Sendirian, Ma?" sapa Adel ramah, tangannya terulur hendak menyalami tangan ibu mertuanya.
Tapi bukannya menyambut uluran tangan menantunya, Bu Sita justru menatap sinis pada mereka berdua.
"Kamu ngapain sih segala nyewa kamar VIP gini, Dan? Kan sayang uangnya kalau cuma buat ngurusin benalu satu ini!" tunjuknya pada Adel.
Sejak awal mereka menikah Bu Sita memang sudah tak suka pada Adel, karena Adel hanyalah anak dari keluarga biasa yang menurutnya tak sebanding dengan mereka yang merupakan keturunan darah biru.
"Ma! Berhenti bilang Adel benalu! Dia istriku, Ma! Tolong hargai dia juga!" marah Zidan tak terima dengan perkataan Bu Sita.
Adel memegang lengan suaminya agar tak kelepasan membentak ibu kandungnya.
"Jadi kamu udah berani bentak Mama? Ingat Zidan! Surga kamu ada di bawah telapak kaki Mama, bukan perempuan mandul dan penyakitan ini! Heran Mama, masih aja kamu pertahankan perempuan nggak berguna seperti dia ini!" tuding Bu Sita pada Adel.
Zidan memejamkan matanya sambil mendesah berat. Tangannya yang terus di usap Adel sedikitnya mengalirkan ketenangan walau sedikit padanya agar tetap ingat kalau sedang berhadapan dengan orang yang melahirkannya.
"Maaf, Ma. Bukan maksud Zidan bentak mama, tapi Zidan mohon Ma jangan selalu sinis begitu sama Adel. Dia lagi sakit, Ma. Kasian dia," pinta Zidan penuh harap.
Sudah cukup selama mereka menikah, Adel selalu jadi sasaran olok-olok Bu Sita. Bahkan menjadi bahan gunjingan ya dengan para anggota sosialitanya.
"Ya justru itu! Dia itu penyakitan Zidan! Masa kamu nggak bisa liat, kamu itu cuma di manfaatin sama dia, sama orang tuanya supaya penyakitnya itu bisa sembuh tanpa harus keluar biaya karena kamu yang nanggung semuanya." Bu Sita berkacak pinggang.
Adel yang tak tahan setiap orang tuanya mulai dibawa-bawa akhirnya berani buka suara.
"Maaf, Ma. Tapi Adel nggak pernah di ajari buat memanfaatkan kebaikan Mas Zidan ke Adel, bahkan orang tua Adel di sana pun nggak pernah sekali pun berbuat seperti apa yang Mama takutkan barusan. Tolong berhenti menjelekkan nama orang tua Adel, Ma." Adelia kembali meratap, tangisnya kembali luruh bak air bah.
Melihat tangis istrinya, Zidan yang sejak tadi berusaha untuk tak terpancing akhirnya geram juga. Dengan wajah merah padam Zidan beranjak dan berjalan cepat menuju sang mama.
"M ... mau apa kamu, Zidan?" tanya Bu Sita dengan raut ketakutan. Ini pertama kalinya sang putra tampak begitu marah sampai urat-urat di leher dan pelipisnya tampak menonjol.
Zidan tak menjawab, hanya rahangnya yang bergemeletuk menjelaskan betapa marahnya dia saat ini. Air matanya tumpah dari matanya yang turut memerah.
Dengan nafas naik turun tak beraturan Zidan merogoh saku belakang celananya dan mengeluarkan sesuatu dari sana. Mata Adel membeliak lebar saat melihat apa yang di pegang Zidan di balik punggungnya.
Zidan mengangkat tangannya tinggi-tinggi dan mengarah benda berkilat itu ke arah Bu Sita yang menatap dengan wajah pucat pasi.
"Jangan Abi!" pekik Adel terkejut.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments