BAB 5.

 Nisa serta merta menarik tangannya dari genggaman Adel.

"Maaf, Mbak. Ini maksudnya apa ya? Bukannya Mbak minta Nisa ke sini sama bude dan pakde karena kata Mbak ada hak penting yang mau Mbak bicarain sama Nisa? Tapi ini ...," ucapan Nisa menggantung saking bingungnya dia situasi yang di hadapkan di depannya sekarang.

 Bu Hanif dan Pak Hanif tampak saling pandangan sejenak, sama-sama kebingungan dengan keputusan besar putri tersayang mereka.

"Kamu ngomong apa sih, Del? Kamu ngantuk ya? Ini pasti bawaan obat makanya kamu jadi ngomong ngawur gini, ya udah kamu mendingan istirahat aja ya," tukas Bu Hanif yang merasa ucapan Adel tidaklah serius.

 Pak Hanif pun tampak setuju dengan istrinya, namun berbeda dengan Zidan yang kini tampak menatap tak berkedip pada Nisa yang masih berada di samping Adel.

"Adel serius Pak, Bu. Dan Adel juga sudah bicarakan ini sama Mas Zidan, dan Mas Zidan juga sudah setuju. Lagipula ini juga untuk kebaikan keluarga Mas Zidan Pak, Bu. Mama mertua susah lama inginkan cucu, dan kondisi Adel sekarang nggak memungkinkan untuk itu. Jadi Adel harap kalian mau mengerti," papar Adel getir.

"Tapi maaf ,Nisa nggak mau, Mbak. Nisa nggak bisa! Ini nggak sesuai perkiraan Nisa, lebih baik Nisa pulang aja." Nisa beranjak hendak menjauh, tapi lagi-lagi pegangan tangan Adel yang mulai melemah membuatnya tak tega.

"Iya, Nduk. Jangan aneh-aneh, masa tiba-tiba kamu minta Nisa buat jadi madumu. Ya pasti nggak mau lah dia, kenal sama Zidan aja nggak. Lagipula kamu kan nggak tau di luar sana dia punya kekasih atau nggak. Wes lah, jangan macem-macem, Del." Bu Hanif mengusap tangan Adel lembut, berharap agar putrinya yang agak keras kepala itu bisa menurut

Adel menggeleng lemah, "nggak, Bu. Adel kenal siapa Nisa, Adel tau dia bahkan nggak pernah dekat sama pria manapun. Dan sejauh Adel bersahabat sama Nisa sejak dulu, Adel yakin kalau cuma Nisa yang cocok buat jadi madu Adel."

"Tapi, Mbak?" sela Nisa tampak keberatan.

"Mbak mohon, Nis. Cuma kamu satu-satunya yang Mbak percaya buat jadi istri bagi Mas Zidan, Mbak mohon sama kamu jangan tolak permintaan Mbak ini ya. Mbak sayang sama kamu lebih dari sekadar sahabat, dan sekarang Mbak minta sama kamu untuk menjadi adik madu, Mbak. Kamu mau kan?" tanya Adel menatap manik mata bening milik Nisa.

 Nisa diam tak menjawab, perasaannya sungguh dilema sekarang. Jika menolak dia sungguh tak kuasa, namun jika menerima itu artinya dia tak ubahnya seperti pelakor diluaran sana. Namun bedanya kini istri sahnya yang meminta secara langsung untuk Nisa menjadi madunya.

"Apa nggak ada cara lain, Del? Supaya suamimu nggak perlu sampai menikah lagi. Toh Zidan juga nggak menginginkannya sepertinya, kamu jangan jadi dzolim dengan memaksa mereka bersatu tanpa adanya cinta. Malah dosa nanti yang di dapat sama suamimu," tegas Pak Hanif angkat bicara.

 Adel berusaha tersenyum tipis dan menjelaskan secara perlahan, alasannya meminta suaminya menikah kembali.

"Ini satu-satunya cara, Pak. Mama mertua sudah selalu menekan Adel untuk bisa kasih keluarga mereka keturunan. Dan kalian lihat kan kondisi Adel sekarang? Hampir mustahil buat Adel bisa wujudkan keinginan Mama mertua, Pak. Dan selama Adel di rawat, Adel sudah nggak pernah bisa lagi merawat dan melayani Mas Zidan sebagaimana mestinya. Adel nggak bisa kalau harus terus menerus bikin Mas Zidan repot ngurusin Adel tanpa ada yang ngurus Mas Zidan juga. Jadi Adel mohon bapak dan ibu juga bisa mengerti kenapa Adel mengambil keputusan ini," terang Adel panjang lebar.

 Air mata kembali mengalir di pipinya entah untuk ke berapa kalinya di hari ini.

 Bu Hanif dan Pak Hanif terdiam meresapi setiap kata-kata yang keluar dari bibir pucat putrinya dan mencernanya perlahan. Kembali mereka ikut menangis menyadari betapa berat penderitaan yang di tanggung putrinya selama ini karena tekanan dari keluarga suaminya. Beruntungnya Adel memiliki suami sepengertian Zidan, yang bisa menempatkan diri dan tak ikut-ikutan keluarganya menekan Adel.

"Hufff, baiklah kalau itu keputusan kamu, Nduk. Tapi pesan bapak dan ibu, tolong kamu pikirkan ulang matang-matang dan berembuklah bertiga kalian bagaimana baiknya. Jangan mengambil keputusan dengan terburu-buru, bapak dan ibu cuma bisa mendoakan yang terbaik buat masa depan kalian," ucap Bu Hanif mengalah.

 Pak Hanif menepuk pelan pundak istrinya, memberi kehangatan agar perasaan Bu Hanif yang gundah bisa sedikit terobati.

 Adel terharu mendengar jawaban bijak ibunya dan mengangguk samar menanggapinya.

"Terima kasih banyak Bu, Pak."

 Bu Hanif dan Pak Hanif mengangguk kemudian beranjak keluar ruangan untuk memberi ruang pada mereka membahas rencana mereka bertiga.

"Nis," panggil Adel lembut sambil menuntun Nisa menuju tepi ranjangnya dan duduk disana.

"Nisa bingung, Mbak. Ini terlalu cepat dan aneh menurut Nisa, di luar sana semua perempuan berusaha melindungi suaminya dari pelakor. Tapi di sini dengan entengnya Mbak justru meminta wanita lain untuk jadi istri dari suami Mbak," ujar Nisa bingung.

 Zidan hanya menunduk saja sejak tadi, tak berani mengangkat wajahnya sama sekali dan hanya duduk terpekur di kursi yang ada tepat di sebelah pembaringan Adel.

"Kamu sudah denger alasan Mbak melakukan ini semua tadi kan? Jadi bagi Mbak ini semua sah-sah saja kita lakukan. Asal kamu ikhlas insyaallah Mbak pun ikhlas berbagi Mas Zidan sama kamu, Mbak tau kamu perempuan baik, Nis." Adel mengusap pelan tangan Anissa.

"Tapi aku bingung harus gimana, Mbak."

"Kamu tenang aja, Mas Zidan sudah setuju menikah lagi dengan pilihan Mbak. Yaitu kamu," tegas Adel.

 Nisa tampak terkesiap, tak menyangka kalau rencana besar ini rupanya sudah di atur sedemikian rapi oleh Adel.

"Kamu sendiri bagaimana, Bi?" Adel mengalihkan pandangannya ke arah Zidan yang masih menunduk sambil melantunkan dzikir lirih.

 Zidan mengangkat wajahnya dan balas menatap istrinya dengan penuh cinta.

"Apapun mau Umi, selama Abi sanggup penuhi insyaallah akan Abi lakukan, Sayang," jawab Zidan yakin.

 Adel tersenyum kecil, senang bercampur sedih bersatu dalam dadanya. Senang karena rencana menikahkan kembali suaminya dengan wanita pilihannya akan berjalan lancar. Dan sedih karena itu artinya sebentar lagi dia harus rela berbagi semua yang ada di diri Zidan dengan Nisa.

"Terima kasih ya, Sayang," lirih Adel lembut.

 Tangannya bergerak menggamit tangan Zidan, dan menggenggamnya erat menikmati setiap momen selagi suaminya masih akan menjadi miliknya seorang.

"Kamu udah dengar kan, Nis? Sekarang tinggal keputusan kamu, kalau kamu setuju secepatnya kita atur pernikahan kalian," ujar Adel.

 Nisa tampak gelisah, benar-benar tidak tau harus berbuat apa sekarang. Tidak pernah pacaran atau dekat dengan lelaki sekalipun dan kini malah di hadapankan pilihan untuk menjadi istri kedua dari seorang pria yang tidak hanya sempurna parasnya tapi juga hati dan hartanya. Sungguh benar-benar dilema yang luar biasa.

"N ... Nisa, Nisa telepon ibu dulu ya, Mbak. Mau minta pendapat, Nisa bingung harus jawab apa sekarang." Nisa gegas beranjak dan mengambil ponsel jadulnya dari dalam tas kusam yang dia bawa.

 Setelahnya melangkah ke arah balkon kamar untuk menelpon sang ibu.

"Assalamu'alaikum, Bu." Nisa membuka percakapan sambil tak henti menggigit kuku jarinya dengan gelisah.

"Wa'alaikumsalam, ada apa Nis? Kok suaramu gemetar gitu?" sahut Bu Sekar dari sebrang telepon.

"Hmmm anu, anu Bu. Ni ... Nisa di ... dilamar, Bu." Nisa menggigit bibir bawahnya karena begitu gugup.

Praakkk

 Tak di dapati jawaban dari ibunya oleh Nisa kecuali suara bising di sebrang telepon sana.

"Bu, Ibu? Ibu masih di sana?" seru Nisa panik.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!