BAB 2.

"Jangan Abi!" pekik Adel terkejut.

 Tapi terlambat, benda berkilat itu kini sudah sampai di depan mata Bu Sita yang membelalak lebar.

"Mama lihat? Lihat baik-baik, Ma! Ini hasil CT scan Adel, dan Mama lihat ini? Sel kankernya sudah menyebar, Ma! Tolong jangan terus menambah beban pikiran Adel karna omongan nggak berguna Mama! Cukup Ma! Cukup!" jerit Zidan frustasi.

 Bu Sita termangu, mulutnya terbuka dan tertutup seperti hendak mengatakan sesuatu namun urung. Matanya bergantian menatap wajah marah Zidan dan Adel yang kini menangis tersedu-sedu di pembaringannya.

"Apa masih ada yang mau Mama katakan? Kalau nggak pintu keluar ada di sana, Ma. Kalau Mama masih terus bertindak seperti barusan, Zidan harap dan Zidan mohon dengan sangat tolong Mama jangan pernah lagi datang kemari," lirih Zidan menunduk.

 Kertas berkilat hasil pemeriksaan istrinya jatuh ke lantai, luruh bagaikan hatinya yang kini luluh lantak ke dasar penyesalan yang paling dalam karna tak bisa menjauhkan istrinya dari kebencian sang mama.

 Bu Sita menghentakkan kakinya ke lantai dan berlalu dengan kesal menuju pintu keluar tanpa sepatah katapun keluar dari mulutnya.

Brakk

Pintu ruangan tertutup dengan kencang saat Bu Sita sengaja membantingnya.

Adel terkejut, begitu pula Zidan. Namun setelahnya Adel kembali menangis mengingat semua perkataan kasar ibu mertuanya padanya.

"Maafin Abi belum bisa buat Umi bahagia ya, maaf kalau Abi belum bisa mendamaikan Mama sama Umi. Abi yang salah, maafin Abi," lirih Zidan sambil memeluk Adel.

 Adel menggeleng cepat di pelukan suaminya. "Nggak! Abi nggak salah. Ini salah Umi yang belum bisa kasih Mama cucu seperti keinginan Mama sejak dulu, jadi ini salah Umi. Stop nyalahin diri Abi sendiri ya."

"Jadi sekarang, Umi minta keikhlasan Abi supaya mau menikah secepatnya. Supaya Abi bisa kasih cucu ke Mama, siapa tau dengan begitu nanti Mama akhirnya mau berdamai sama Umi. Iya kan?" imbuh Adel kembali meyakinkan Zidan akan permintaannya.

"Umi yakin?" Zidan menghapus air mata istrinya, menatap matanya dalam mencari sebersit keraguan di sana. Namun sayangnya tidak ada, Adel sudah sangat yakin untuk meminta suaminya menikah lagi.

"Yah, bismillah Umi sangat yakin." Adel mengangguk mantab.

"Umi sudah punya calonnya?" telisik Zidan lagi, karena melihat istrinya begitu semangat setiap membicarakan akan pernikahan keduanya.

Senyum manis Adel terbit. "Tentu saja."

****

Anissa Salsabilla.

 Telingaku tiba-tiba panas pagi ini, padahal hari sedang hujan. Ku nikmati seduhan teh hangat di cangkirku sambil menatap hujan lewat jendela yang sengaja ku buka.

"Kamu nggak ngajar, Nis?" tanya ibuku yang berjalan menuju dapur sambil membawa sapu di tangannya.

 Aku tersenyum tipis. "Nggak, Bu. Hujan gini pasti anak-anak banyak nggak masuk, biasalah anak TK hujan dikit libur," kekeh ku sambil berjalan ke meja makan mendekati ibu yang kembali sibuk menata sarapan.

 Begitulah hari-hari di kampung kami, hujan di pagi hari selalu bisa menjadi alasan jitu untuk meliburkan diri dari rutinitas sekolah. Terutama murid-murid PAUD tempatku mengajar saat ini. Jadilah akhirnya tanpa ada aba-aba apapun setiap hujan pagi maka seluruh murid termasuk staf gurunya pun akan libur tanpa terkecuali. Lucu bukan?

"Enaknya kerja mu itu, Nduk. Hujan sedikit libur, hujan sedikit libur. Wes marem (puas) sama libur kalo musim hujan begini," cibir ibuku sambil mulai menyuap sesendok nasi goreng ke mulutnya.

 Ibuku bernama Bu Sekar, hanya seorang ibu rumah tangga biasa. Ibu seorang janda sejak beberapa tahun lalu, saat bapak meninggal dalam kecelakaan ketika tengah mengangkut hasil kebun kami ke kota.

"Biar puas di rumah jadi anak semata wayang, Bu." Aku turut menyendok nasi ke mulut ku.

"Semata wayang? Lha terus adek bontotmu yang jarang pulang itu gimana?" cerocos ibu.

"Ya nggak bisa di anggap anak toh, wong pulang aja jarang. Haha, biarin lah Bu. Lebih seneng kerja dia," ujar ku mengenang adik ku, Alan yang bekerja paruh waktu di kota sebagai kasir minimarket.

 Ibu tampak menghela nafas, sekelebat tampak kabur tipis di matanya. Mungkin lagi-lagi ibu merindukan Alan yang memang sangat jarang pulang karena terikat kontrak dengan pekerjaannya.

"Kamu sendiri kapan nikah, Nis? Umur mu sudah cukup. Mau nunggu apalagi? Kalau cuma ngarepin gaji dari ngajar di PAUD, ibu rasa nggak bakalan cukup Nis. Bukannya apa-apa, ibu cuma khawatir," lirih ibu sambil menundukkan kepalanya menatap pilu pada nasi di hadapannya.

 Aku turut merasa sesak setiap kali ibu membahas masalah ini, umur ku sudah hampir 27 tahun namun sekali pun aku tak pernah berpacaran. Jangankan berpacaran, dekat dengan teman lelaki saja tak pernah.

 Ku pandangi nasi yang ada di hadapanku kini, bisa di bilang nasi ini sudah tak begitu enak karena aku tau ini nasi sejak dua hari yang lalu yang kembali di panaskan ibu karena kami tak punya uang lagi untuk membeli beras. Memang Alan kadang mengirim sebagian gajinya untuk kami, namun kondisi sekarang yang serba mahal membuat uang sama sekali tak berarti apa-apa.

"Nis? Kamu tersinggung ya? Maaf ya Ibu ngomongin ini, ibu nggak bermaksud ...."

"Ah, nggak kok Bu. Nggak papa, Nisa cuma lagi mikir aja," ucapku memotong ucapan ibu.

"Kalau ucapan ibu tadi bikin kamu kepikiran, ibu minta maaf ya Nis. Ya wes ibu mau ke kebun dulu kalo gitu, mau ambil pisang," tukas ibu seraya beranjak dari duduknya membawa piring bekas makannya keluar, tampak sedikit sisa nasi di sana mungkin untuk memberi makan ayam-ayam peliharaan kami.

Sepeninggalan ibu, aku masih termangu di tempatku. Teringat kembali gunjingan warga tentang aku yang tak kunjung menikah di usia ku sekarang. Berbagai gosip miring mulai beredar, terkadang sampai membuatku malu untuk sekedar duduk di teras rumahku sendiri.

Ceklek

 Pintu dapur terbuka, tampak ibu kembali masuk ke dalam rumah dan meletakkan golok yang sebelumnya akan di gunakan untuk menebang pohon pisang.

"Kok balik lagi, Bu? Ada yang ketinggalan?" tanyaku penasaran.

Dengan wajah tegang ibu kembali duduk di kursinya tadi dan memandangiku.

"Nggak jadi pergi, ada ibu-ibu tukang gosip di gang sana," tukas ibu sambil menuang air ke gelas dan meminumnya hingga tandas.

"Cuma ibu-ibu saja kok pake balik lagi toh, Bu? Kan bisa numpang lewat? Memangnya mereka minta pajak lewat apa?" tanyaku sedikit berkelakar.

 Ibu mengibaskan tangannya di depan wajah. "Haish, kamu ini orang lagi serius kok di ajak bercanda terus."

"Ya gimana? Abisnya belum ada yang ngajak serius sih," kekeh ku pula.

Ibu tiba-tiba menatapku serius. "Katanya kemarin si Fajar anaknya pak kades itu suka sama kamu loh, Nis."

 Mataku membelalak lebar demi mendengar perkataan ibu barusan.

"Apa Bu? Si Fajar yang giginya sampe ke Monas itu?" seruku kaget sampai menggebrak meja dan membuat ibu turut kaget.

"Biasa aja! Kaget ibu, memang kayaknya kamu ini punya cita-cita buat jadi anak yatim piatu kayaknya," omel ibu sambil mengelus dadanya.

"Hush, ibu kok ada-ada aja sih? Yo nggak mungkin toh sampe kayak gitu. Aku itu cuma kaget lha kok bisa-bisanya ibu mau jodohin aku sama si Fajar," gelak ku.

"Ya maksud ibu kan ...."

 Ucapan ibu kembali terpotong dengan bunyi dering ponsel jadul ku, ponsel yang sempat di belikan bapak dulu saat panen raya dari kebun kami.

Tring

Tring

Tring

  Lekas aku mengangkatnya saat melihat nama Mbak Adel di sana, senior kesayangan ku saat di SMA. Sudah lama kami tak saling berkomunikasi sejak dia menikah, tapi entah kenapa kini dadaku berdebar kencang saat akan menjawab telepon darinya.

"Assalamu'alaikum, Mbak?" sapaku pelan.

"Wa'alaikumsalam, bisa bicara dengan saudari Nisa?"

 Aku terkejut bukan kepalang saat mendengar suara bariton yang baru saja menyapa gendang telingaku. Namun yang semakin membuatku tak mengerti adalah debaran jantung ini yang malah semakin luar biasa.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!