BAB 3.

Nt2 bab 3.

 "Kenapa, Nis? Kok tegang gitu mukanya?" tanya ibu setelah aku selesai bertelepon.

 Aku menatap ibu dengan pandangan syok, bagaimana tidak. Baru saja aku mendapat kabar kalau Mbak Adel di rawat di rumah sakit, dan parahnya lagi sudah berbulan-bulan dan aku bahkan baru tau sekarang.

"Hayo malah ngelamun." Ibu menepuk pundak ku.

 Aku tersentak kaget, namun lekas mengusir rasa kaget ku barusan dengan minta pendapat ibu.

"Tadi Mbak Adel telepon, Bu," gumam ku tak memberi tahu yang sebenarnya kalau yang bicara dengan ku adalah seorang pria yang ku tebak adalah suami Mbak Adel.

"Adel anaknya lek Surya itu? Yang rumahnya di kampung sebelah kan?" tanya ibu bertubi-tubi.

"Iya." Aku mengangguk lemah.

Ibu menatapku cemas dan beranjak berpindah tempat duduk ke sebelah ku.

"Lah terus kenapa kok kamu kayaknya sedih gitu?"

 Aku menatap ibu dengan pandangan nanar. "Mbak Adel sakit, Bu. Sudah lama di rawat di rumah sakit."

 Tanpa sadar air mataku luruh, begitu pula dengan ibu yang tampak terkejut dan matanya mulai berkaca-kaca.

"Ya Allah, Adel sakit. Sudah di rawat lama? Kok ya kita bisa nggak tau, Nis? Padahal dulu Adel itu loh baik sekali sama keluarga kita," kenang ibu sambil menerawang jauh, mengingat kembali semua kebaikan Mbak Adel pada keluarga kami.

 Aku mengangguk dalam tangis. "Nisa mau jenguk Mbak Adel, Bu."

 Ibu mendesah pelan, seperti melepaskan beban yang tengah bercokol di pikirannya.

"Ibu sebenarnya nggak ngelarang kamu mau ke kota jenguk Adel, Nis. Cuma kan kamu tau sendiri ibu sekarang nggak pegang uang, gaji kamu dari PAUD juga belum cair. Jadi mau pake apa kamu ke sananya?" tanya ibu lirih.

 Secercah mendung tampak menggelayuti wajah tuanya yang mulai di hiasi keriput.

 Aku lekas menghapus air mataku dan tersenyum menenangkan ibu.

"Masalah itu ibu nggak usah khawatir, Alhamdulillah tadi Mbak Adel sekalian ngasih ongkos buat ke sana. Udah di kirim ke rekening belum lama tadi, jadi Ibu nggak usah khawatir Nisa gimana perginya, ya." Aku menepuk tangan ibuku pelan, meyakinkannya kalau aku pasti akan baik-baik saja.

"Masyaallah! Adel sampe ngasih kamu ongkos buat berangkat ke sana? Ah tapi masa ngasih cuma-cuma sih Nis? Kok Ibu malah nggak yakin?" tukas ibu tampak tak percaya.

 "Iya Bu, serius. Bahkan barusan Mbak Adel ngirimin aku bukti transfernya nih." Aku menunjukkan layar ponsel ku yang menampakkan gambar struk transfer pada ibu.

"Banyak banget, Nis? Ini nggak salah? Balikin aja, Nis. Ibu kok malah takut kalau ujung-ujungnya nanti malah jadi masalah." Ibu menjauhkan layar ponsel dari hadapannya.

 Aku menarik ponsel itu menjauh, dan membawanya dalam pangkuan ku.

"Tadi kata Mbak Adel, aku di minta buru-buru ke sana sih, Bu. Katanya ada sesuatu hal penting yang mau di bicarakan sama aku," gumam ku memberi tahu ibu.

 Ibu tampak mendengar dengan seksama dan mulai berpikir dengan keras, tampaknya.

"Hal penting apa kira-kira, Nis?" gumam ibu pula.

 Aku menanggapinya dengan menggeleng pelan, pertanda aku pun tak tau hal apa yang akan di bicarakan mbak Adel padaku.

"Ya sudah kalau gitu gih kamu siap-siap berangkat, mungkin Adel di sana lagi butuh orang buat bantu-bantu. Katamu dia lagi sakit kan? Bisa jadi dia nyari kamu buat bantu bersih-bersih di rumahnya atau apalah. Tapi ibu setuju sih kalau akhirnya kamu kerja sama Adel, kan biar gimana pun dia juga udah kayak kakak buat kamu. Pasti dia bakal gaji kamu lebih tinggi daripada gajimu sekarang yang bahkan sampai bulan ini belum juga cair," oceh ibu sambil berpindah tempat menuju ruang tamu yang hanya beralaskan sebuah tikar pandan tipis yang sudah tampak berlubang di beberapa sisinya.

 Aku masih diam di tempat, merasakan dilema luar biasa antara pilihan yang satu dengan pilihan yang lainnya.

 ****

 Di rumah sakit tempat Adel di rawat.

"Gimana, Bi? Apa kata Nisa?" tanya Adel tak sabar setelah Zidan baru saja selesai menelpon Nisa sesuai permintaannya.

 Zidan bergegas mendatangi brankar istrinya, meletakkan ponsel dan mengelus lembut jemari istrinya yang kini tampak lebih kurus itu.

"Nisa bilang mau pikir-pikir dulu, Mi. Karena di sana dia juga punya pekerjaan, jadi dia harus urus izinnya dulu," jawab Zidan apa adanya.

"Terus ongkos yang buat dia udah Abi kirimin belum?" telisik Adel lagi.

 Zidan mengangguk. "Udah juga kok, Sayang."

 Adel mengalihkan pandangannya, menerawang jauh menatap keluar jendela ruang rawatnya. Tampak lalu lalang kendaraan yang tak henti-hentinya di bawah sana.

 Bohong jika Adel berkata hatinya tak sakit membayangkan suami tercintanya akan bersanding dengan wanita lain, walau dia sendiri lah yang meminta hal itu. Perih hatinya kini berusaha di tutupinya dengan senyuman, bersikap seakan dirinya baik-baik saja.

"Kalau Umi nggak kuat, kita batalin saja ya rencana ini. Abi nggak kuat kalau harus nyakitin hati Umi, sumpah Abi nggak sanggup, Mi." Zidan menggenggam tangan Adelia erat.

 Adel lekas menoleh menatap manik mata suaminya yang sejak dulu begitu menjadi candu baginya. Dan kini, dia harus mulai belajar menerima kenyataan kalau nanti tatapan mata hangat suaminya itu tak akan jadi miliknya seorang lagi.

"Nggak, Bi. Umi nggak apa-apa kok, Umi cuma lagi mikir kata-kata yang tepat untuk di sampaikan ke Nisa nanti kalau dia jadi datang. Umi harus bisa buat dia bersedia jadi istri muda Abi, karna Umi sudah lama kenal dia. Dan Umi juga tau karakternya, jadi insyaallah dia adalah calon istri yang ideal buat Abi," papar Adel dengan senyum tak pernah lepas dari bibirnya saat menyampaikan apa yang dia tau tentang Anissa.

 Zidan mengelus lembut kepala istrinya, tampak jelas di matanya luka yang tengah di sembunyikan istrinya demi bisa berbakti padanya.

"Selama itu bisa bikin Umi tersenyum seperti ini, dan bisa buat kondisi Umi lebih membaik tentunya. Abi akan turuti, apapun mau Umi," gumam Zidan beralih mengecup punggung tangan istrinya.

"Terima kasih banyak ya, Sayang?" Adel balas mencium tangan suaminya takdzim.

"Kapan pun, Sayang. Umi adalah prioritas Abi, Abi mohon jangan pernah tinggalin Abi ya." Zidan menghapus sisa air mata di pipi Adel.

 Adel mengangguk cepat, dan dengan tetap tersenyum mulai mengambil obat-obatan yang sebelumnya selalu di tolaknya. Adel mulai meminum obatnya satu demi satu sampai habis, dan hal.itu tentu saja membuat Zidan berucap syukur berkali-kali di dalam hati.

 Akhirnya setelah berminggu-minggu, Adelia mulai mau mengonsumsi obat dan vitaminnya kembali. Padahal beberapa waktu lalu dia sempat menolak semua jenis obat dan makanan yang masuk ke mulutnya.

"Sesuai janji Umi ke Abi, Umi bakalan cepat sembuh." nada suara Adel terdengar getir, namun dia tetap memaksakan senyumnya di depan Zidan.

 Zidan baru hendak menjawab saat tiba-tiba terdengar suara pintu ruangan kembali di ketuk.

Tok

Tok

Tok

"Boleh kami masuk?"

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!