"Mas, Johan? Kok ada disini?" tanya Kirana gugup dan mata membulat.
"Harusnya aku yang tanya kamu ngapain disini?" selidik Johan, kakak Kirana.
"Aku ... aku habis bertemu sama teman tadi, Mas."
"laki-laki yang barusan keluar tadi itu temanmu?" Johan menunjuk ke arah pintu.
Kirana menganggukan kepala.
"Tadi Sintya telpon. Dia ngasih tau sesuatu tentang kamu," Johan menatap tajam ke arah Kirana.
Degh.
"Maafkan aku, Mas. Itu semua murni kecelakaan," jawab Kirana masih terus menundukkan wajahnya.
"Kenapa kamu nggak cerita sama aku, Ran? Aku ini kakakmu satu-satunya disini. Kenapa aku harus tau kabar buruk ini dari orang lain? Apalagi Sintya bilang kalau laki-laki itu adalah kekasihnya," sesal Johan.
"Aku takut membuatmu kecewa, Mas. Dan aku juga nggak mau merepotkan Mas Johan. Kalau soal laki-laki itu siapanya Sintya, aku nggak tau menau sebelumnya. Karena yang aku tau mereka nggak saling kenal. Tapi kapan hari Sintya bilang juga ke aku kalau Mas Hendrik itu kekasihnya. Sedangkan tadi aku tanya langsung ke Mas Hendrik, katanya Sintya itu hanya teman biasa. Entahlah mana yang benar dan mana yang salah," tutur Kirana sambil mengangkat bahunya.
"Bodoh! Kamu pikir dengan kamu merahasiakan semua ini dari aku, kamu nggak bikin aku sedih?" sinisnya.
"Terus apa laki-laki itu mau tanggung jawab?" sambungnya lagi.
"Iya, Mas. Kita akan menikah secepatnya. Aku harap Mas Johan merestui kami. Meskipun kami menikah karena kecelakaan seperti ini," pinta Kirana.
"Aku mau bertemu dengannya dulu. Aku ingin lihat seperti apa sikap dia sama kamu. Bilang sama dia aku tunggu disini sekarang juga," titah Johan.
"Dia baru saja pulang, Mas. Bagaimana kalau lusa aja? Kebetulan lusa kami akan bertemu lagi dan membahas rencana pernikahan kita."
"Baiklah." lalu Johan mengajak Kirana untuk segera pulang.
*****
Dua hari kemudian, Kirana kembali bertemu dengan Hendrik. Tapi kali ini Kirana mengajak Johan juga.
Melihat Kirana yang datang berdua dengan laki-laki lain, membuat Hendrik menatap heran ke arah mereka.
"Maaf, Mas aku nggak datang sendiri kali ini. Kenalkan ini kakakku," ujar Kirana sambil menunjuk ke arah Johan.
"Oh, salam kenal, Mas. Saya Hendrik, temannya Kirana." Hendrik mengulurkan tangannya sembari berdiri dari kursinya.
Hendrik benar-benar tak tahu tentang latar belakang Kirana. Karena selama ini Hendrik hanya tau Kirana bekerja di salah satu swalayan yang ada di dekat restoran miliknya.
Lalu mereka berkenalan karena Kirana sering di suruh oleh bos nya untuk membeli makan di restoran milik Hendrik. Awalnya Hendrik sempat sedikit kagum dengan Kirana karena Kirana seorang yang pekerja keras dan mandiri. Tapi untuk rasa cinta memang nggak ada sama sekali.
Berbeda dengan Kirana yang dari awal sudah ada rasa tertarik dengan Hendrik. Tapi selalu di pendamnya seorang diri.
"Teman?" tanya Johan dengan raut wajah tak suka.
"Ca-calon suami Kirana maksud saya, Mas," mendapat tatapan tak suka membuat Hendrik menjadi gugup seketika.
Lalu mereka bertiga duduk dikursi masing-masing.
"Silahkan pesan minum dulu, Mas. Biar enak kita ngobrolnya nanti," tawar Hendrik dengan sangat ramah.
"Cuiih, kemarin waktu ketemuan sama aku aja, aku nggak di tawarin minum sama sekali. Sekarang giliran ada Mas Johan, kita di minta pesen minum dulu. Pinter juga aktingnya di depan Mas Johan. Atau jangan-jangan dia bersikap seperti ini lantaran takut sama penampilan Mas Johan?
Memang kalau dilihat secara fisik, Mas Johan penampilannya seperti seorang preman. Tapi sebenarnya hatinya lembut banget seperti softcake," Kirana berucap dalam hati, tapi sambil senyum-senyum sendiri.
"Kamu mau pesan minum atau makan apa, Ran?" kali ini Hendrik menawari Kirana dengan sangat ramah.
"Aku pesen minum aja, Mas. Tadi sebelum kesini sudah makan kok di kos," tolak Kirana.
"Loh, kita harus pesan makan yang banyak dong hari ini. Apalagi kamu kan lagi hamil muda, jadi harus pesan makanan yang banyak dan bergizi," celetuk Johan sambil melirik ke arah Hendrik.
"Oh, iya betul itu, Ran. Kamu harus makan yang banyak dan bergizi," sahut Hendrik sambil menyodorkan buku menu. "Ayo kamu pilih-pilih aja mana yang kamu suka. Biar kita enak nanti ngobrolnya," imbuhnya lagi.
Setelah puas memilih menu makanan dan minuman, sekarang mereka tinggal menunggu pesanan mereka datang.
"Jadi kapan rencananya kalian akan menikah?" tanya Johan.
"Secepatnya, Mas. Tapi kedua orangtuaku nggak bisa datang nanti. Karena sibuk mengurus rumah makan yang ada di Jakarta," jawab Hendrik.
"Terus siapa nanti yang jadi wali dan saksi kamu?" Kirana mengerutkan dahinya bingung.
"Ada adikku nanti yang datang kesini. Jadi kamu tenang aja."
"Terus soal biaya pernikahan bagaimana?" Johan bertanya lagi.
"Semua biaya nanti saya yang tanggung, Mas. Kalian nggak perlu memikirkan soal biaya lagi. Oh iya, kita nikahnya di gereja aja ya. Jadi nggak perlu sewa gedung. Kan yang penting kita sah jadi suami istri."
"Terserah kamu aja lah, Mas!" jawab Kirana sedikit jutek.
Padahal kalaupun harus ada pesta, Kirana siap untuk mengeluarkan uang juga. Tapi ternyata Hendrik memang tak mau acara nikahnya di buat pesta.
"Lusa kita daftar bimbingan pranikah ya, Ran," ajak Hendrik.
"Tapi bimbingan pranikah kan butuh waktu sekitar tiga bulan? keburu perutku membesar nanti, Mas."
"Nanti kita minta di percepat. Pasti bisa kalau kita jujur tentang keadaan kamu saat ini," ucap Hendrik yakin.
"Ya sudah kalau gitu kita nikah di gereja tempat aku ibadah aja," pinta Kirana dengan wajah masih cemberut.
"Iya lah, kan aku selama ini memang nggak pernah ibadah di gereja. Males gitu," sahut Hendrik santai.
Sontak Johan dan Kirana saling adu pandang. Mereka berdua sama-sama kaget dengan pernyataan Hendrik barusan.
Beberapa menit kemudian semua makanan yang di pesan oleh Johan telah datang. Hendrik membeliakkan matanya, karena saking banyaknya makanan yang di pesan oleh Johan.
"M-mas, pesen makanan sebanyak ini untuk kita bertiga?" tanya Johan terbata sembari memperhatikan para pelayan menata piring-piring berisi makanan ke atas meja.
"Iya, apa ada yang kurang? Kalau ....,"
"Cukup, Mas. Ini sudah lebih dari cukup kok," potong Hendrik segera.
Johan tertawa puas dalam hati. Memang Johan sengaja memesan banyak makanan dan tidak akan menghabiskannya nanti. Ia ingin melihat bagaimana reaksi Hendrik ketika calon istrinya bersikap boros dan membuang-buang makanan seperti ini.
"Sepertinya aku sudah tidak lapar lagi sekarang," seloroh Johan ketika baru menyendokkan beberapa suap nasi goreng seafood ke dalam mulutnya.
"Tapi ini masih banyak, Mas. Ayo di habiskan aja," bisik Kirana merasa tak enak pada Hendrik.
Johan menatap ke arah Hendrik, "Maaf ya, makanannya jadi mubadzir deh," ucap Johan dengan wajah di buat sesedih mungkin.
"Nggak apa, Mas. Kita bisa bungkus kok makanannya nanti." sahut Hendrik berusaha tetap ramah di depan Johan.
"Tapi seharusnya tadi jangan pesan terlalu banyak begini juga," gerutu Hendrik, namun Johan tetap bisa mendengarnya.
"Kamu bilang apa barusan? Coba kalau ngomong jangan terlalu pelan begitu," tanya Johan pura-pura tak dengar.
"Nggak ada kok, Mas. Mungkin Mas Johan aja yang salah dengar," jawab Hendrik kikuk.
"Mas, Ran, sepertinya pertemuan kita hari ini sudah cukup. Aku sekarang mau pamit dulu ya, soalnya tadi karyawan di rumah makan sudah meminta saya untuk datang kesana," pamit Hendrik lalu ia berdiri dari kursinya.
"Untuk makanannya sudah aku bayar semua, dan sudah aku minta untuk sisanya bisa di bungkus aja," sambungnya lagi.
Johan dan Kirana sama-sama menganggukan kepala. Lalu Hendrik melangkah ke arah pintu.
"Aku nggak setuju kalau kamu nikah sama dia, Ran!" seru Johan dengan wajah marah.
"Tapi kenapa, Mas? Bukannya tadi dia terlihat baik dan sopan? Dan kemarin Mas juga berharap agar Mas Hendrik mau tanggung jawab atas kehamilanku. Tapi kenapa sekarang Mas Johan berubah pikiran jafi nggak setuju?" bantah Kirana merasa heran dengan keputusan Johan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments