Brak
Tak bisa menahan amarah sebuah vas bunga menjadi sasaran Lin begitu ia masuk ke kamarnya, padahal ibunya telah membuat Yumna cacat tapi Pangeran tetap saja menyukainya dan masih berniat menikahinya.
"Ibu! lihat apa yang terjadi! ibu sudah berjanji tidak akan ada satu pria pun yang mau menikahi Yumna, tapi bahkan Pangeran sendiri masih bersikeras untuk menikahinya," rengek Lin.
"Kau pikir ibu buta? ibu juga lihat bahkan masih tak percaya Pangeran begitu bodoh," sahutnya lebih kesal lagi.
"Ah... ibu... aku tidak rela... " rengek Lin kini sambil menangis.
"Putri ku yang malang, kau selalu saja tidak beruntung. Kali ini ibu berjanji akan membuatmu menjadi nomor satu," ujarnya membujuk.
"Apa yang akan ibu lakukan?" tanya Lin penasaran.
Tapi ibunya tidak menyahut, ia malah tersenyum dengan rencana yang sedang ia susun di kepalanya.
...................................
Tak bisa tidur karena memikirkan Pangeran Yumna melamun tepat di hadapan lilin, api kecilnya kadang bergoyang karena hembusan nafas Yumna saat ia merasa terlalu bahagia.
Tak pernah ia sangka seorang Pangeran akan menerimanya dengan kecacatan yang bahkan pria biasa pun sulit menerimanya, ini telah menunjukkan betapa baiknya hati Pangeran.
"Yumna... apa kau sudah tidur?" seru ibu tirinya dari luar.
"Belum ibu, kau bisa masuk," ujarnya segera bangkit.
"Ah maaf telah mengganggumu malam-malam, aku tidak bisa tidur dan ingin menyulam. Apa kau bisa menemaniku mengambil beberapa kain di gudang?" tanyanya.
"Tentu," sahut Yumna.
Dengan seorang pelayan pribadi ibu tirinya mereka pun pergi, seharusnya Eum juga ikut tapi melihat dia tidur dengan pulas Yumna memilih untuk tidak membangunkannya.
Di malam hari gudang itu jauh lebih gelap, mereka butuh lebih dari tiga lilin sebagai sumber pencahayaan.
"Menurutmu mana kain yang bagus?" tanya ibu tirinya menunjukkan dua kain.
"Keduanya juga bagus," sahut Yumna sambil menatap dua kain itu.
Jleb
"Ah... " pekik Yumna saat tiba-tiba ia merasakan sesuatu menusuknya dari belakang.
Saat menoleh rupanya pelayan pribadi ibu tirinya sudah menusuk punggungnya dengan sebilah pisau.
"Kau.... " ujar Yumna merasakan sakit yang kiat kuat.
"Beri dia satu tusukan lagi," perintah ibu tirinya.
Yumna membelalakkan mata tak percaya, ternyata pelayannya di perintah untuk menghabisi Yumna.
Tanpa ragu pelayan itu bersiap untuk menyerang, tapi Yumna mencoba bertahan sehingga pergelutan pun terjadi.
Dengan kondisi yang tak baik Yumna yang semakin lemah karena kehilangan banyak darah akhirnya mendapat satu tusukan lagi di perutnya, kini ia bersimpuh dilantai yang di penuhi darah.
"Ibu... kenapa.... " tanya Yumna.
"Kenapa katamu? kau adalah penghalang terbesarku, padahal kau sudah ku buat cacat tapi tetap saja kau masih beruntung!" sahut ibu tirinya ketus.
Yumna mengerutkan kening, rupanya perampokan yang terjadi padanya adalah rencana ibu tirinya juga. Pantas Yumna merasa ada yang aneh, jika perampok itu takut ia melapor harusnya ia di bunuh saat itu bukan di lukai wajahnya.
"Kau dan ibumu saja, kalian selalu mendapatkan semua yang aku dan putri ku inginkan. Memang tindakan ku tepat, aku memang harus membunuhmu sama seperti yang ku lakukan dulu pada ibumu."
"Apa? ibu ku... " tanya Yumna dalam kelemahannya.
"Ya, ibu mu bukan mati karena sakit. Tapi aku memberinya racun setiap saat yang akhirnya membuatnya mati," jawabnya.
"Kau.... tega sekali, padahal kami sangat baik padamu," keluh Yumna dengan deraian air mata.
"Aku tidak peduli, bakar tempat ini!" perintah ibunya kepada si pelayan.
Membiarkan Yumna sekarat pelayan itu kemudian membakar gudang setelah tuannya keluar, ditengah kobaran api yang kian ganas hal terakhir yang Yumna lihat adalah senyum jahat ibu tirinya sebelum pintu gudang di tutup.
Sekelilingnya kini tak hanya semakin terang tapi juga berasap yang membuatnya batuk dan hangat, membalikkan badan Yumna menatap langit-langit dimana sebentar lagi atap itu akan roboh karena di lahap api dan menimpanya.
Tersenyum kecut Yumna sungguh tak menyangka nasibnya sangat tidak beruntung, ia sudah cacat dan kini akan mati seorang diri dengan mengenaskan.
Air mata mengalir deras di pipinya, merasa pilu sekaligus marah.
"Dewa... apa yang harus ku katakan pada ibu setelah aku bertemu dengannya? sepanjang hidupku padahal aku hanya belajar demi martabat keluarga, padahal aku sudah mengesampingkan kebahagiaan ku sendiri. Tapi.... aku tetap tidak beruntung," ujarnya merajuk.
Sakit yang ia rasakan semakin menyiksa, udara semakin tipis hingga membuatnya tercekik dan tubuhnya semakin terasa panas.
"Dewa... di kehidupan ku selanjutnya... beri aku kebebasan dan kebahagiaan," pinta Yumna sebelum akhirnya ia menutup mata.
..................
Ooooaaaaa.... Ooooaaaa...
Tangis bayi di malam itu menarik perhatian sepasang pasutri yang baru pulang bekerja, tepat di dekat tong sampah dalam sebuah balutan selimut seorang bayi yang baru lahirtengah menangis karena lapar dan kedinginan, saat si istri menggendongnya barulah ia sedikit tenang.
Tanpa pikir panjang mereka membawa bayi itu pulang, memberinya susu dan mengganti pakaiannya dengan yang bersih dan hangat.
"Kejam sekali... siapa yang membuang bayi secantik ini?" protes Jeny.
"Entahlah, siapa pun itu semoga Tuhan menghukumnya," sahut Fabio yang tak bisa melepas pandangannya dari wajah si bayi.
"Lalu bagaimana sekarang?" tanya Jeny lagi.
"Tentu kita laporkan pada polisi," sahutnya.
Jeny mengangguk, untuk malam itu mereka membiarkan bayi tu tinggal bersama mereka. Saat pagi datang mereka segera pergi ke kantor polisi untuk melapor.
"Terimakasih sudah melapor, kami akan segera menyelidikinya," ujar pak polisi.
"Sama-sama, lalu bayi ini harus kami tinggal di mana?" tanya Fabio.
"Oh untuk itu bisakah kalian antarkan ke panti asuhan? aku akan memberi alamatnya dan kalian hanya perlu mengatakan aku yang menyuruh, nanti suster disana yang akan mengurusnya."
"Baiklah kalau begitu," ujar Fabio segera berpamitan.
Sepanjang jalan Jeny tak bisa berhenti mengajak bayi itu bercanda sampai mereka tertawa, tawa bayi yang begitu imut bahkan membuat Fabio tergoda untuk ikut dalam candaan ringan itu.
Sampai di panti asuhan yang di sebut alangkah kagetnya mereka mendapati tempat itu kurang layak, banyak anak kecil dan bayi yang tinggal sementara tempatnya sempit.
"Ada yang bisa ku bantu?" tanya seorang suster melihat mereka di pintu.
"Oh iya, pak polisi menyuruh kami mengantarkan bayi ini," ujar Fabio.
"Astaga... apa ini kasus bayi di buang lagi?" tanya suster itu frustasi.
"Kami menemukannya di tong sampah, setelah melapor kami di suruh mengantarkannya kemari," jelas Jeny.
"Kenapa mereka melakukan hubungan intim jika tidak ingin punya anak? apa harga karet sangat mahal sampai mereka tidak mampu beli? lihatlah anak-anak itu! mereka sudah di sini selama beberapa tahun dan belum ada yang datang untuk mengambilnya, aku ragu polisi itu melakukan tugasnya. Akhir-akhir ini bantuan yang datang pun sedikit," keluh suster itu.
Fabio dan Jeny saling bertukar pandang, ada rasa kasian melihat bagaimana repotnya suster itu dan masa depan sang bayi yang belum tentu baik.
"Permisi, jika kami mengadopsinya apa di ijinkan?" tanya Jeny mengambil keputusan.
"Apa kalian sungguh akan mengadopsinya?" tanya suster itu kaget.
"Jika itu bisa dilakukan kami akan mengambilnya, lagi pula kami tidak punya anak," sahut Fabio.
"Oh Tuan, Nyonya... kalian sangat berhati malaikat. Tentu saja kalian boleh mengadopsinya, silahkan ikut aku ke dalam untuk mengurus suratnya," ajak Suster itu kini dengan penuh semangat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 124 Episodes
Comments
fifid dwi ariani
trus sAbar
2023-09-24
0
belimbing asam???
jd gmn dong selir jalang itu?
2023-04-21
0