Keluarga Darmansyah sudah sampai di kediaman rumah Wijaya, Darmansyah menatap rumah yang sering ia kunjungi dulu, semenjak Wijaya meninggal dunia ia jadi jarang untuk ke sini lagi, begitu pun dengan almarhum Wijaya ia juga sering berkunjung di rumah Darmansyah, mereka berdua sudah seperti saudara kembar yang tidak bisa di pisahkan, tapi kini mereka di pisahkan oleh kematian.
Kematian itu memang tidak bisa kita hindari, mau kemana pun kita pergi untuk menghindari kematian itu tetap tidak akan bisa, semua makhluk hidup yang ada di dunia ini akan merasakan kematian itu juga, dan juga merasakan Sakaratul Maut itu.
Darma memukul pundak ayahnya itu, ia paham dengan ayahnya itu yang lagi membayangkan masa-masa dia dulu dengan almarhum Wijaya.
"Darma sering menemani ayah ke sini sewaktu paman Wijaya masih hidup!" ujar darma kepada ayahnya itu.
Sesering itu kah Darmansyah ke rumah Wijaya ini? sampai-sampai dia jadi ke ingat dengan masa lalunya dulu.
Kafkha menye-menye sediri di belakang kakek dan papa nya itu berdiri, dia masa bodoh dengan cerita kakeknya ini.
"Hekhem!" deheman Kafkha membuat kakek dan papa nya itu tersentak.
"Mari kita masuk!" ujar Darmansyah
Mereka semua berdiri di depan pintu utama rumah besar Wijaya itu, Darmansyah memencet bel rumah itu tidak lama dari itu seorang art wanita paruh baya membukakan pintu utama itu.
"Selamat datang tuan!"
Mereka mengangguk seraya tersenyum, "bapak dan ibuk sudah menunggu kalian!" ujar art itu dengan ramah.
Keluarga besar Darmansyah masuk ke dalam rumah itu, Harun dan Ajeng berdiri seraya menyalami keluarga Darmansyah itu satu persatu.
"Silahkan duduk!"
Kafkha berdecak malas dengan pertemuan seperti ini, coba saja kalau keluarga nya bertemu keluarga Clara mungkin Kafkha akan sangat senang dan bahagia, tapi kenyataannya berkata lain.
Kafkha memasang wajah datar tanpa ekspresi sedikit pun, ia kembali bersikap dingin seperti es di Kutub Utara.
Darmansyah berbincang-bincang dengan Harun, semua orang sibuk dengan pikirannya masing-masing sedangkan Kafkha hanya diam seperti patung.
Berbeda dengan Medina, dia dari tadi mondar-mandir di kamarnya, rasa takut dan grogi menyerang nya.
"Ya Allah... Medina sangat takut dan grogi dengan pertemuan keluarga Medina dan keluarga kakek Darmansyah, berilah ketenangan untuk Dina ya Allah... aamiin...!" mulut Medina yang di tutupi oleh niqab nya itu selalu komat kamit meminta kekuatan kepada Allah SWT.
"Gimana ini? Dina sangat takut bertemu dengan nya!"
Medina duduk di pinggir ranjang lalu ia berdiri lagi dan mondar-mandir, lalu ia duduk kembali dan berdiri lagi sambil mondar-mandir.
"Ya Allah... Dina benar-benar grogi!"
Tangan Medina sudah dingin dan mati rasa karena ketakutan nya itu, Medina duduk kembali lalu ia menghela napas pelan-pelan.
"Bismillahirrahmanirrahim... Medina tidak boleh takut, Allah SWT akan selalu ada untuk Medina, jangan takut lagi Medina karena Allah selalu ada buat kita!" ujar Medina menenangkan diri nya dan selalu mengingat Allah SWT.
Ajeng menyuruh Dena--adiknya Medina untuk memanggil kakaknya itu.
"Dena, panggil kakak kamu ya!" ujar Ajeng
"Baik ibu!" jawab gadis berusia tujuh belas tahun itu.
Sampainya Dena di kamar kakaknya itu ia langsung memanggil Medina, "kak Dina di panggil ibu!" ujar Dena di sebalik pintu kamar yang tertutup rapat itu.
Deg
Jantung Medina berdetak tidak karuan karena ia di panggil oleh mamanya.
"Bismillah... kamu harus kuat dan tidak usah grogi, Allah bersama kita!" Medina membuka pintu kamarnya itu ia melihat adiknya itu yang tersenyum padanya.
Medina juga ikut tersenyum di balik cadar yang selalu menutupi setengah wajah cantik nya itu.
"Cie... yang mau di lamar!" ujar Dena menggoda kakaknya itu, Medina tambah grogi dengan godaan adiknya itu.
"Dena... jangan begitu!" tegur Medina dengan nada halus dan lembut.
"Iya kak, tuh kakak sudah di tunggu dari tadi!"
"Baiklah, kakak turun dulu ya!"
Medina menuruni anak tangga itu satu persatu, sampai dia di pertengahan anak tangga ia berhenti, kakinya tidak bisa melanjutkan langkahnya karena grogi.
"Ya Allah... bantulah Medina...!"
Ajeng melihat putrinya itu seraya tersenyum sementara itu Medina masih berdiri di pertengahan anak tangga itu, Ajeng menjemput putrinya itu karena ia tau Medina sangat grogi.
"Tidak perlu di takuti!" bisik Ajeng pada Medina, Medina mengangguk kecil seraya mengikuti langkah kaki mamanya itu.
Medina duduk di tengah-tengah keluarga nya itu, Kafkha mengerutkan keningnya saat melihat wanita berpakaian tertutup itu.
"Eh? apa wanita berpakaian seperti ninja ini yang akan aku nikahi?" batin Kafkha
Darmansyah melihat perubahan mimik wajah cucunya itu, "Kafkha inilah wanita yang akan kamu nikah kan nanti!" ujar Darmansyah dengan senyum senang.
"Wanita seperti ninja ini?" bisik Kafkha pada Darmansyah, kakeknya itu memukul paha Kafkha, "jaga ucapan kamu itu kaf, dia wanita baik-baik, tidak seperti ninja!" ujar Darmansyah sangat geram dengan kelakuan cucunya ini.
"Baiklah kita akan masuk ke acara kita yang semula, kedatangan kami ke sini untuk melamar putri dari keluarga Harun untuk cucu saya!" ujar Darmansyah langsung saja memulai acara ini.
"Kami sangat senang dengan niat baik kalian ke sini untuk melamar anak kami, kami tidak bisa memutuskan nya sendiri, kami akan menyerahkan kepada putri kami untuk menerima atau tidaknya, karena putri kami dan putra kalian yang akan menjalankan pernikahan ini!" ujar Harun
Medina memilin ujung jilbab panjang lebarnya itu, semua orang tatapan nya menuju pada Medina.
"Bagaimana Dina, apakah kamu mau menerima lamaran ini?" tanya Harun
Medina tersenyum kikuk di balik cadarnya itu, ia menghela napas untuk memutuskan apa yang akan ia ambil, "bismillahirrahmanirrahim... Dina akan menerima lamaran ini!" jawaban dari Medina membuat semua orang jadi tersenyum, setelah itu Darmansyah menyuruh Kafkha untuk menyematkan cincin di jari manis Medina.
Kafkha memasang wajah tembok nya rata tanpa ekspresi sekalipun, Kafkha menyematkan cincin di jari manis Medina itu, tidak lupa pula Hanif memotret momen pemasangan cincin itu, setelah itu Medina juga menyematkan cincin di jari manis Kafkha.
Pada malam ini acara lamaran itu akhirnya berakhir juga, keluarga Darmansyah juga sudah pulang ke rumah nya.
Saat ini Kafkha sedang berbaring di tempat tidur nya setelah ia mengganti pakaian nya tadi, Kafkha mengangkat tangan kirinya yang memperlihatkan sebuah cincin melingkar di jari manisnya.
"Sekarang aku sudah resmi melamar gadis yang tidak pernah aku cintai, apa lagi pakaian nya sangat tertutup, sangat tidak nyaman jika di lihat!"
Kafkha melepaskan cincin lamaran nya itu, sangat tidak pantas ia memakai cincin itu jika wanita itu yang memakainya untuk Kafkha, kalau saja Clara yang memasangkan nya mungkin Kafkha tidak akan menolak.
"Maafkan aku Clara sudah membohongi mu!"
...
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments
Yunerty Blessa
nanti melihat wajah Medina baru kau mana cantik Clara..
2024-01-15
0
Intan IbunyaAzam
ckrag mencibirr,, NNT klepek klepek kafhka
2023-09-18
0
Uthie
sekarang masih mencibir.. nanti kau akan bucin Kafhka 😜
2023-05-09
1