Percakapanku dengan pak Beni beberapa hari lalu selalu terngiang dalam kepalaku.
Pernikahanku memang tak berjalan mulus seperti yang Aku impikan- tidak juga romantis seperti pasangan muda lain. Mungkin konsep pernikahan yang ada di benakku berbeda dengan Edi. Walau sebelum menikah kami sudah membicarakan tujuan pernikahan kami di masa depan- namun kenyataan yang kami jalani sangat jauh berbeda. Tidak bisa kupungkiri konsep pernikahan yang dulu ditawarkan Edi sangatlah membuai pikiran dengan janji-janji manis padaku. Semua yang dijanjikan ternyata berbeda dengan apa yang kami jalani.
Selain itu- pepatah orang tua tentang Bibit, Bebet,Bobot dalam mencari jodoh memang perlu dipertimbangkan juga. Terkadang berbeda status sosial bisa jadi masalah dalam rumah tangga-walaupun perbedaan status sosial sangat bergantung pada masing-masing individu dalam menyikapinya.
Sebenarnya Aku tidak pernah mempermasalahkan perbedaan status antar Aku dan Edi. Tapi justru Edi menganggap perbedaan itu adalah masalah dalam rumah tangga kami. Besar kemungkinan karena perbedaan status sosial diantara kami berdua berpengaruh pada perbedaan kebiasaan, gaya hidup, lingkungan dalam relasi sosial. Edi selalu merasa enggan bila berkumpul dengan keluarga besarku, bahkan setiap perayaan hari raya Edi lebih memilih untuk merayakan bersama keluarganya. Sebagai seorang istri tentunya Aku akan mengikuti kemauan suamiku- bahkan sejak pernikahan kami hanya sekali Aku diijnkan untuk merayakan hari raya bersama keluargaku.
"Silahkan saja kamu berlebaran dengan keluargamu- tapi jangan harap Aku akan ikut serta"" ujarnya suatu kali.
Aku hanya diam dengan tanggapan Edi. Tapi Aku tidak pernah ingin memaksakan kehendakku karena akan berakhir dengan keributan bila hal itu kulakukan.
Kembali Aku ingat kata-kata Pak Beni padaku saat perjalanan kami memantau perkembangan proyek baru perusahaan di Kota Balikpapan.
""Kamu akan menderita bila bertahan. Dia telah menyakitimu bahkan keluarganya akan melakukan hal yang lebih menyakitkan padamu." ujar Pak Beni padaku.
"Ah- Saya pikir tidak begitu Pak. Keluarganya sangat baik pada Saya." ujarku membela.
"Ya semoga saja begitu." ujar Pak Beni seraya menepuk pundakku
Selama hampir setahun Aku bergabung dengan perusahaan milik Pak Beni. Pundi-pundi penghasilan kami pun semakin bertambah. Atas saran Pak Beni agar Aku fokus dengan pekerjaan yang kujalani selaku pegawai negeri dan juga orang kepercayaan di perusahaannya.- Akhirnya Aku memutuskan untuk membeli sebuah rumah hunian di wilayah Bandung Barat. Sebuah rumah yang sudah lama tidak dihuni dengan keadaan rusak berat dengan harga yang sangat terjangkau. rumah yang dibangun dari awal dengan design yang ku buat sendiri untuk menghemat biaya.
Proses pembangunan itu menghabiskan waktu selama lebih dari delapan bulan. Proses pembangunan sepenuhnya kuserahkan pada Edi dan Ayahnya untuk mengatur dan memonitor pekerja.
Drama pertengkaran saat membangun rumah ini pun sering kali terjadi - bermula dari Ayah Edi yang ingin mempekerjakan keluarganya yang tidak berpengalaman sebagai tukang bangunan sampai keinginan ayahnya untuk merubah bentuk rumah dari design yang aku buat. Alhasil rumah yang selesai pun lebih lama dari target seharusnya dan dengan hasil akhir yang tidak sesuai harapan.
Tapi sudahlah- walaupun begitu kami memutuskan menerima apapun kondisi rumah itu dikarenakan banyak dana diluar dugaan yang sudah kami keluarkan.
Bulan pertama kami menempati rumah- Edi mulai memboyong adiknya satu per satu untuk tinggal bersama. Erni dan Deni adik Edi yang ketiga dan bungsu terlebih dulu tinggal di rumah kami- tak berselang bulan- Ayuni, Adik Edi berserta suami dan kedua anaknya yang masih balita pun ikut pindah ke rumah kami.
Ayuni telah menikah dengan Aman- lelaki yang berasal dari Kota yang sama denganku dan sejak mereka menikah Ayuni `diboyong oleh suaminya yang bekerja di Kota Bengkulu dan sudah dikaruniai sepasang anak lelaki dan perempuan yang masih balita. Ayuni yang manja berkeras untuk pindah dari Kota Bengkulu karena merasa tidak betah tinggal seatap dengan orangtua Aman.
Sebenarnya Aku sama sekali tidak keberatan bila adik-adik Edi tinggal bersama kami- Namun ada rasa risih untuk Aku bebas di dalam rumahku sendiri apalagi dua adik Edi lainnya sudah bertahun-tahun tinggal dengan kami. Hidup dalam satu rumah dengan beberapa anggota keluarga Edi terasa berat bagi ku -apalagi semua biaya kebutuhan harian dan bulanan serta uang pendidikan kedua adik Edi aku yang menanggungnya..
“Kau tidak suka mereka tinggal disini? tanya Edi dengan nada tinggi padaku saat Aku menanyakan berapa lama adiknya Ayuni akan tinggal bersama kami.
“Bukan begitu. Ayu kan sudah menikah- apa mereka tidak berusaha untuk mencari rumah sendiri. Apalagi mereka punya dua anak” ujarku berusaha untuk sabar.
"Bagus kan ada anak kecil dirumah ini daripada kamu sampai sekarang mandul tidak bisa kasih anak. “ jawaban sinis Edi sungguh menyakitkan hati mendengarnya. "Biarkan saja mereka disini toh rumah ini banyak kamar dan jadi tidak sepi.” lanjutnya lagi.
Kata-kata yang keluar dari mulut Edi lagi-lagi membuatku sakit hati dan terhina sebagai wanita. Keluargaku sendiri pun tidak pernah seperti ini. Tapi lelaki yang menjadi suamiku yang seharusnya melindungi dan menjaga martabatku di depan orang lain justru berbuat sebaliknya. Kata-kata “mandul” itu sering kali terucap dari mulutnya dan juga ayahnya saat aku berada di antara rekan-rekan mereka atau keluarga besarnya.
Edi sejak awal kami menikah memang selalu berperilaku kasar dan seakan menganggapku bagai seorang musuh bukan sebagai seorang istri. Tak ada hak diriku untuk protes ataupun mengutarakan pendapat padanya.
Aku tak lagi banyak berkomentar dengan kehadiran adik-adik Edi di rumah kami. Walau kehadiran mereka membuatku merasa tidak nyaman untukku melakukan aktifitas di dalam rumah. Aku serasa orang asing di rumahku sendiri.
Mata ini masih merasakan berat menahan kantuk -apalagi beberapa malam ini Aku selalu terganggu dengan suara bising Edi dan keluarganya. Aku membasuh wajahku untuk menghilangkan rasa kantuk lalu berwudhu untuk menyegerakan sholat subuhku yang hamper terlewat. Aku mengintip ke luar kamar dari celah pintu yang terbuka kondisi di ruang tamu- kulihat Edi, Adik laki-laki serta Ayahnya masih tidur bergeletak di lantai ruang tengah dengan beralaskan karpet merah.
Walau ada rasa enggan untuk keluar dari kamarku- Akhirnya kuputuskan membuka pintu kamar dan keluar. seketika setelah mendengar suara derit pintu kamar terbuka- semua mata orang-orang yang ada di ruangan tengah seketika tertuju kearahku. Tak ada senyum atau sapaan pagi dari mereka- walau Aku berusaha melebarkan senyumku pada mereka. Dan-mereka kembali dengan keasyikan mereka lagi tanpa memperdulikanku.
Aku berjalan menuju lantai atas melalui tangga yang ada di sisi kamar Deni- adik bungsu Edi. Entah kenapa- mataku tanpa sengaja melihat kearah meja belajar Deni yang posisinya dekat dengan pintu. Tegeletak handphone milik Edi yang berkedap kedip dengan pesan singkat yang masuk, Posisi handphone yang sedang diisi dayanya itupun dalam kondisi tidak terkunci pengaman sehingga pesan-pesan yang masuk bisa terlihat di layar.
Aku tahu persis Edi sering sekali berdiam lama di kamar Deni adiknya sambil sibuk dengan handphone yang kubelikan sebagai hadiah ulang Tahunnya yang ke 32 setahun lalu. Tanganku lancang membuka handphone Edi. Aku masih belum berdamai dengan diriku-dengan segala perselingkuhannya diawal pernikahan bahkan disaat Aku mengandung anak kami yang pertama.
Aku memilih mencari tahu dengan tangan dan mataku sendiri tentang apa sebenarnya yang disembunyikan Edi dariku. Dengan lincah tanganku mencari SMS atau isi BBM yang mencurigakan di handphone miliknya. Ah biasa saja pikirku setelah membaca nama-nama yang muncul dalam rekam perakapan SMS maupun BBM yang ditujukan pada Edi.
Semua dari teman kantor dan keluarga edi yang Aku kenal, batinku. Tapi entah mengapa ada
perasaan penasaran ketika kulihat sebuah nama yang lebih dominan mengirim pesan dalam whatsapp dan panggilan telpon kepada Edi.
Tertulis beberapa panggilan telepon dan whatsapp dari seseorang yang bernama Ali. Aku membuka salah satu pesan dari Ali padanya- dan betapa terkejutnya Aku melihat isi pesan yang diawali dengan kata-kata Sayangku kepada Edi. Apakah lelaki yang menjadi suamiku ini seorang pecinta sesama jenis?
Semakin penasaran Aku buka semua isi pesan yang masuk. Tak sadar emosiku semakin memuncak ketika semakin kutahu bahwa Ali adalah seorang wanita yang sebenarnya bernama Lia Erliana. Beberapa foto dengan pakaian seksi dan bahkan tanpa selembar pakaian dikirimkan Lia melalui pesan Whatsapp itu kepada Edi. Otakku berpikir keras untuk semakin menyelidik sejauh mana hubungan mereka.
(Sayang, sudah bangun? Aku memimpikanmu semalam.Aku kangen ingin tidur dalam pelukanmu)
(Sayang Kapan istrimu balik ke Jakarta. Aku butuh kamu disini? Atau Aku ke rumahmu sayang?)
kemudian terbaca olehku juga balasan dari Edi.
(Ya sayang. Tunggu kabar dariku. hari ini perempuan mandul itu balik ke jakarta.)
(Aku mencintaimu seksi)
Beberapa pesan mereka berdua yang terbaca olehku itu sudah cukup membuat pikiranku meracau tak tentu arah- Aku ingin marah apalagi membayangkan apa yang mereka lakukan saat Aku tidak ada di kota ini. Tak Ada airmata sedih dan kecewa sama sekali. Hanya kemarahan dan kebencian yang semakin bertambah yang ada dalam diriku kepada Edi.
"Hei, Apa yang kau buat disini! suara Edi terdengar lantang keras kepada ku dari luar kamar ketika melihatku sibuk membuka-buka handphone miliknya. Dengan sigap dia merampas handphone miliknya yang ada di tanganku. "Beraninya kamu buka-buka hape suami tanpa ijin!
"Siapa Ali? oh atau nama sebenarnya Lia." tanyaku
"Siapa yang kau maksud.Aku tidak kenal" ujarnya berkelit
"Baiklah. Tidak perlu kamu katakan pun tidak apa. Semakin lama semakin jijik Aku lihat ulahmu." ujarku akhirnya dengan suara yang sedikit meninggi. Keluarga Edi yang mendengar pertengkaran kami berdua-menatap ke arahku dengan pandangan tidak suka-teruma Ayah Edi yang biasa dipanggil Apih.
"Kamu itu tidak menghargai suami. Istri macam apa kamu itu, Di. Apa orangtuamu tidak mengajarkan menghargai suami? suara Apih dengan sedikit berteriak kearahku.
Tentu saja Aku kalah jumlah di rumah ini. Aku seorang diri- sedangkan Edi bersama keluarganya ada di rumah ini.
Aku tidak menyahut ucapan Apih padaku. Bagaimanapun Dia adalah orang tua suamiku dan juga telah menjadi orang tuaku sejak Aku memutuskan menikah dengan Edi.
Aku menyadari suasana yang tidak bersahabat pagi ini padaku. Aku lalu bergegas masuk ke kamarku dan berkemas.
Edi melihatku dengan penuh amarah.
"Mau minggat? ucapnya kasar
Aku tak menjawab. Tanganku masih sigap mengambil beberapa kembar pakaianku dan barang-barang berharga milikku ke dalam koper.
"Pergilah yang jauh. Bikin susah orang aja."lanjutnya sambil membanting pintu kamarku.
Aku terkejut seketika mendengar suara bantingan pintu tadi. Hal itu juga menyadarkanku tentang hak dari keberadaanku di rumah ini. Hei, ini adalah rumahku. Aku yang bekerja keras membeli rumah ini. Tak sedikitpun jerih payah Edi ada di rumah ini. lalu kenapa Aku yang harus keluar dari rumah ini?
Aku menyusul Edi yang lebih dulu keluar kamar- kulihat edi dan keluarga masih sempat -sempatnya bercanda seakan tak ada pertengkaran yang terjadi diantara kami.
"Maaf. Apih, Mamah dan semua adik-adik. Mungkin saya tidak bersikap sopan kali ini- Saya juga tidak bermaksud untuk mengusir kalian semua. Tapi sejujurnya Saya merasa tidak nyaman tinggal di rumah Saya sendiri," ujarku berusaha menurunkan volume suaraku dan emosiku."Seandainya kalian berkenan- terutama Ayuni dan Aman kalian sudah berkeluarga kiranya carilah tempat tinggal kalian sendiri. Terlalu berat beban Saya menanggung biaya kalian semua di rumah ini."
"Apa maksudmu? Kamuingin mengusir aku dan keluargaku?! ujar Edi membentakku semakin tidak senang.
"Huh. kenapa Teteh semakin kurang ajar ke Apih dan Mamah sih! Ayuni ikut-ikutan membentakku. namun tangan Topo- suaminya menahan Ayuni untuk tidak berkomentar lebih jauh atas ucapanku tadi.
Semua yang mendengar perkataanku terlihat tak senang- terkecuali Deni. Deni tampak tertunduk tak berani melihat ke arahku. Diantara semua keluarga Edi hanya Deni yang dekat denganku. Bahkan Deni selalu mengucapkan terima kasih padaku setiap kali Aku memberinya uang bulanan atau uang SPP kuliahnya. Deni sangat tahu- bahwa biaya yang selama ini kukeluarkan untuk keluarga ini adalah hasil kerja kerasku sendiri- sedangkan penghasilan Edi untuk kesenangan dirinya sendiri.
"Menantu tidak tahu diri. Rumah ini juga anakku yang membangunnya." ujar Apih . "Kalau kamu tidak suka kenapa bukan Kamu yang keluar dari rumah ini.!" suaranya semakin kencang menunjukkan kemarahannya padaku.
"Bukan,Pih." ujar Deni menyela ucapan Ayahnya. " Selama ini Teh Diana yang telah berkorban banyak untuk keluarga kita. rumah ini pun Teteh yang membiayai semua. Apih, Ak Edi dan semua disini- kalian harus tahu selama ini teh Diana sudah banyak berkorban untuk membiayai Kita bukan Ak Edi." lanjut Deni tak kuasa menahan emosinya. Kesedihan dan kekecewaan pada keluarganya terpancar dari matanya. Deni menghampiriku kemudian dia menyambut tangan kananku dengan lembut serta menyalami tanganku.
" Maaf teteh Kalau Deni, Ak Edi, Apih, Mamah dan semua telah banyak menyusahkan teteh."
Aku tidak mampu mengucapkan apa-apa lagi. Semua yang diucapkan Deni sudah mewakilkan segenap[ beban pikiran dan perasaanku selama ini.
..........................
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 20 Episodes
Comments