I LOVE YOU (I LOVE YOU NOT)

I LOVE YOU (I LOVE YOU NOT)

Pertemuan Pertama

Suara muadzin yang mengumandangkan Azan subuh kali ini terdengar sangat merdu dan lantang. Berbeda dari beberapa hari sebelumnya dimana setiap tiba waktu sholat suara azan di perumahan kami sama sekali tak terdengar sejak ada pembatasan volume penggunaan Toa masjid.  Mataku masih terasa berat untuk terbuka setelah sekian hari disibukkan dengan aktifitas kantor yang begitu menguras pikiran. Sungguh nikmat dan nyenyak rasanya tidurku kali ini.Ingin rasanya Aku melanjutkan buaian mimpiku- tapi tentu saja suara Azan sekali lagi

mengingatkan waktuku untuk cepat bangun untuk melaksanakan sholat.

Suara gemericik air yang dihidupkan dari keran kamar mandi  terdengar - sepertinya Ibu terlebih dahulu bangun dan berwudhu.  Aku bergegas keluar kamar dan menuju kamar mandi yang ada di ruangan tengah rumah kami untuk segera berwudhu dan menyusul Ibuku untuk sholat berjamaah dengannya. Tak lama berselang kulihat ibu sudah menungguku untuk bersama-sama melaksanakan sholat - ibu menggeser kursi lipat sholatnya yang biasa dipakai setiap kali melaksanakan sholat. Sejak dua tahun ini ibu hanya bisa melaksanakan sholat dengan duduk di kursi yang dulu biasa digunakan Ayahku setiap sholat-di usianya yang menginjak tujuh puluh tahun Ibu masih terlihat sehat dan cantik-namun kemampuannya untuk mengerjakan beberapa gerakan dalam rukun sholat sudah berkurang.

Selesai Sholat Subuh- Ibu melanjutkan dengan membaca beberapa ayat Al quran. Semangatnya untuk mengkhatamkan bacaannya patut  diacungkan jempol. Dalam sebulan ini mungkin sudah tiga atau empat kali ibuku mengkhatamkan bacaan Al qurannya sedangkan Aku sampai seumur ini Aku baru tiga kali khatam  Al Quran.

Saat Ibu masih sibuk dengan kajian Al Quran nya- Aku seperti biasa melakukan rutinitas pagiku menyiapkan cemilan pagi buah-buahan dan jus herbal ibuku.  Semua  pekerjaan rumah tidak lagi dilakukan oleh seorang asisten rumah tangga. Suara mesin juicer terdengar menguasai ruangan dapur –kutuangkan  satu per satu jus buah dan minuman herbal ke dalam botol kaca yang sudah kusiapkan dan dengan  rapi kusimpan minuman-minuman tadi kedalam lemari pendingin yang ada di kamar ibu.

“Bu, jus buahnya sudah siap ya di meja,” ujarku pada Ibu yang masih duduk di kursinya. Ibu hanya mengangguk sambil tetap berfokus pada bacaannya.

Kuletakkan beberapa gelas jus buah di meja kecil yang ada disamping kursi Ibu. Aku lalu mengganti pakaian tidurku dengan pakaian olahraga - rutinitas pagi hariku adalah jogging disekitar  perumahan. Pukul setengah enam pagi hari – saat matahari belum sepenuhnya terlihat sinarnya di langit kota Palembang Aku memulai dengan langkah perlahan keluar dari halaman rumahku. Dinginnya embun pagi masih terasa- langkahku terasa ringan ditemani suara alunan music yang terdengar melalui earphone.

Kemudian langkah kaki yang tadinya perlahan mulai kupercepat seirama dengan ritme music yang terdengar di telingaku. Peluh pun mulai  bercucuran di wajah dan seluruh tubuhku. Sesekali aku menghentikan langkah kakiku saat ada orang yang kebetulan melintas berhadapan menegurku.

"Pagi Di. mama nggak ikut olahraga? tanya seorang lelaki tua yang juga rutin jalan pagi dengan rekan-rekan sebayanya.

"Mama biasanya keluar jam delapan atau sepuluh pagi om. Biar ada matahari dikit katanya" jawabku.

"Oh begitu, lanjut Di."ujar lelaki itu seraya  tersenyum dan memberi aba-aba dengan tangannya untuk membiarkanku melanjutkan  aktifitasku.

Tak terasa sudah kulalui putaran ketiga kukelilingi jalan di komplek perumahanku dan aku memutuskan kembali ke rumah untuk bersiap -siap memulai aktifitasku selanjutnya. Kulihat Ibuku sudah menyiapkan sarapan pagi dengan sepiring telur omlet dan  nasi goreng untuk  sarapan kami.

“Mau dibawakan apa Di untuk bekal makan siang di kantor? tanya Ibu yang masih sibuk menyiapkan piring diatas meja makan kami.

“Ndak usah lah Bu. Hari ini Aku ada rapat di kantor -  biasanya disana sudah disiapkan untuk makan siang.” Jawabku.

“oh begitu.”sahut Ibuku lagi.

“Ibu mau dibelikan apa nanti untuk makan siang? Tanyaku balik pada Ibuku seraya mengistirahatkan tubuhku di kursi ukir tua yang ada di ruangan tengah.

“Ibu gampang. Nanti biar Pak Sidik yang membelikan makan siangnya.” Jawab ibu yang menyusul duduk di kursi ukir dihadapanku.

Pembicaraan pagi hari kami cukup kompleks -mulai dari segala hal yang terjadi di kantorku, cerita tetangga di lingkungan perumahan kami sampai cerita tentang cucu- cucu Ibu yang mulai beranjak remaja. Cukup seru pembicaran kami- apalagi dengan ekspresi tubuh ibuku setiap kali bercerita tentang cucunya dari adik bungsu kami.

“Di- kalau suatu saat kamu menikah lagi. Ibu pengen cucu laki-laki ya,” canda Ibu

Aku tertawa mendengar ucapan Ibu itu. Cucu laki-laki? Ah ada-ada saja Ibu ku ini batinku.

“Aamiin. Smoga aja nanti dapat menantu yang baik ya Bu. Jadi bisa kasih cucu yang lucu untuk Ibu.” Balasku bercanda.

Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh pagi - sudah waktunya Aku mempersiapkan diri untuk pergi bekerja. Tak perlu memakan waktu yang lama untuk bergegas dan Aku pun sudah siap berangkat dengan mengendarai mobil silver  keluaran daihatsu Tahun 2018. Pak Sidik dengan sigap membukakan gerbang pagar rumah agar aku bisa mengendarai mobilku tanpa harus turun lagi untuk membuka pintu gerbang.

Pagi ini jalanan terlihat sudah mulai padat dengan kendaraan yang lalu lalang. semua orang di waktu yang bersamaan secara serentak memulai aktifitasnya masing-masing. Aku mengendarai mobilku dengan santai seraya

menikmati alunan lagu Madness dari The Muse. Jarak rumahku ke kantor memang tidaklah terlalu jauh-hanya kemacetan dipagi hari perjalanan yang biasanya bisa ditempuh dalam waktu duapuluh menit kali ini  bisa ditempuh dalam waktu hampir satu jam.

Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh lewat empatpuluh lima menit- dan artinya aku sudah melewati waktu masuk jam kantor. Sesampainya di gerbang halaman kantorku- segera kuparkirkan mobilku dengan rapi berjejer dengan mobil lainnya yang sudah terparkir di kantor. kulihat Herdi salah seorang pegawai di kantor kami dengan sigap membantu membawakan semua dokumen kantor yang kujinjing yang sengaja kubawa pulang tadinya.

"selamat pagi, Bu." sambut Herdi seraya mengambil alih semua bawaan yang ada di tanganku.

"Pagi, Herdi Sehat Di? ujarku kembali.

“Alhamdulilah Bu. Pagi ini terlambat datang bu?

“Iya. Hari ini jalanan begitu macet.” Jawabku sambil berjalan menuju ke lantai atas ke  ruangan kerjaku.

“Selamat Pagi- Bu Dee.” Salam beberapa pegawai yang kebetulan sudah terlebih dahulu datang ke tempat kerja.

“Pagi semua.” Jawabku sambil tersenyum pada mereka.

Aku langsung menuju ruanganku. Masih tersusun rapi beberapa dokumen yang tertumpuk diatas meja kerjaku. Kusimpan tas ransel kecilku di laci meja bagian bawah-dan Herdi meletakkan dokumen yang dibawanya tadi diatas meja kecil disampingku.

Kuhidupkan Personal Computer ruangan dan aku mulai berkutat dengan data dan angka melanjutkan pekerjaanku yang tertunda kemarin sore. Seperti biasa disela-sela aktifitas kerja Aku mengaktifkan chat room facebook milikku berharap ada berita yang iseng dapat kubaca hari ini dari kerabat dan sahabatku saat waktu senggang.

"Ting!

sesaat terdengar suara pesan dalam chat room ku yang dikirim oleh seseorang.

(Hi, Diana)

Entah kenapa seketika hanya sekedar membaca sepenggal kata dari pesan itu sudah membuatku merasa bersemangat.

Sebuah pesan pembuka dari Mahendra-lelaki yang saat ini dekat denganku yang saat ini menetap di negeri kangguru Australia.  Aku bertemu dengannya saat Aku, kakak  perempuanku Triana dan anak lelakinya Rafif berkunjung ke Sydney  untuk mengantarkan Rafif keponakanku yang berencana melanjutkan pendidikannya di kota tersebut.

(Hi, How are you?)  jawabku kemudian

*(I am Fine. Are you at work?)

(yes)

(can I call?)  lanjut pesan masuk itu lagi

(Yes. Offcourse)

tak perlu menunggu lama, berselang kemudian terdengar suara telpon genggamku berbunyi.

""Apa kah-bar Di? terdengar suara dari seberang sana dengan bahasa Indonesia yang terpatah-patah.

"Aku Baik. kenapa kamu sudah terbangun ?

"Yes. Aku Kang-gen pada kamu." jawab suara itu lagi.

Suara itu adalah suara Mahendra lelaki berdarah Pakistan-Jerman yang kukenal tanpa sengaja beberapa tahun lalu di Kota Sydney- Australia. Mahendra adalah seorang pemuda perantau dari pakistan yang merantau ke Australia dan mengenyam pendidikan doktoral nya di Universitas Sydney Australia.Disela kesibukannya bekerja di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang kesehatan  Gigi lelaki itu juga mengelola usaha Jasa Pengiriman antar kota di wilayah New South Wales-Australia.

Saat itu-  Aku,  yuk Triana, serta Rafif  kebingungan di Central Railway Station Sydney yang terletak di ujung selatan Sydney CBD- saat mencari jalur kereta yang menuju wilayah pegunungan Blue Mountain yang berbatasan dengan wilayah Metropolitan Sydney. Kuminta rafif keponakanku untuk bertanya pada petugas Central Station untuk kereta yang menuju Blue Mountain. Aku sengaja meminta  keponakanku itu untuk bertanya pada petugas di sekitar stasiun agar ia memiliki  keberanian ketika harus berhadapan dengan orang asing di Negara orang sekaligus untuk melatih kemampuan bahasa asingnya.

Saat kami menunggu info dari Rafif itulah saat  Aku berpapasan dengan Mahendra. Melihat kami berdua yang tampak kebingungan lelaki itu tanpa sungkan menghampiri kami.

"Asalam'oalaikum, sister. Are you from malaysia? Maybe i can help you? sapa Mahendra waktu itu dengan mengucapkan salam kepada kami. Ucapan salam itu spontan terucap mungkin karena melihat kami berdua yang

berwajah asia dan menggunakan hijab seperti kebanyakan wanita muslimah lainnya.

"Waalaikumsalam. No. We are from Indonesia." jawabku.

Diantara penduduk yang minoritas muslim di Negara orang- tentunya sangat senang bila bertemu dengan sesama saudara muslim di tempat yang asing yang baru pertama kali kami kunjungi.

Keramahan Mahendra pada kami membuat kami merasa nyaman untuk menjadi lebih akrab. Sampai akhirnya Mahendra bersedia mengantar kami ke beberapa tempat yang ingin kami tuju hari itu.

Pertemuan pertama dan dilanjutkan pertemuan- pertemuan hari berikutnya selama di Sydney membuat Aku dan Mahendra semakin dekat- apalagi disetiap waktu luang kerjanya Mahendra menyempatkan diri mampir ke hotel untuk sekedar mengajak minum kopi bersama atau berkeliling kota dengan mobil sedan putihnya.

Rafif keponakanku pun terlihat sangat akrab dengan Mahendra. Percakapan diantara keduanya tak jauh dari pembicaraan tentang rencana Rafif yang ingin melanjutkan pendidikan di Universitas Sydney dimana tempat Mahendra  menempuh pendidikannya.

“Well- you need to force yourself harder to get here.

( Kamu harus berusaha untuk dapat belajar lebih giat untuk masuk disini)” Ujar Mahendra kepada rafif saat itu sambil mengajaknya keliling  lingkungan Universitas Sydney yang bangunan -bangunan kampusnya bergaya  arsitektur kuno.

Lelaki yang berpostur tinggi besar itu terlihat bersemangat mengenalkan setiap bagian dari bangunan Aula besar universitas yang terletak di segi empat utama kampus Camperdown, perpustakaan dan ruangan belajar. Terlihat

didepan bangunan itu hamparan halaman yang hijau dan luas dimana para mahasiswa sibuk dengan bacaannya atau sekedar bercengkrama dengan sesame mahasiswa.Sesekali pandangan Mahendra tertuju ke arahku- dan entah keberapa kalinya pandangan kami bertemu dan membuat kami menjadi salah tingkah.

Tanpa disadari benih-benih cinta diantara kami mulai tumbuh. Entah mengapa dengan lelaki berdarah Pakistan satu ini bisa membuatku merubah pandanganku terhadap laki-laki. Selama ini yang ada dalam otakku tergambar

bahwa lelaki adalah makhluk Tuhan yang diciptakan untuk menjadi pembohong,  pengkhianat, dan pemalas. Aku bukannya anti terhadap lelaki-apalagi teman-temanku sejak aku kecil bisa dibilang didominasi kaum lelaki.Mereka

bagiku hanya bisa dijadikan teman tapi tidak menjadi pasangan hidup.

Sepeninggalan suamiku secara mendadak mungkin entah sudah beberapa lelaki yang datang padaku. Dari yang sekedar ingin berkenalan atau kearah yang serius. Tidak ada satupun yang kutanggapi. Entahlah tak ada  sedikitpun terbersit dalam otakku untuk dekat dengan lelaki mana pun apalagi untuk menikah lagi.

Bahkan kedua sahabatku Milda dan Aproita berkali-kali memintaku untuk membuka hati untuk lelaki lain. Mereka sepertinya khawatir  melihatku yang tak henti meratapi nasib. Aku yang memang masih belum punya keinginan membuka diri untuk lelaki lain bersikap dingin dan enggan untuk memulai komunikasi dengan orang lain yang baru saja kukenal.

Pernah suatu kali Mildha sahabatku itu memperkenalkan Aku dengan lelaki yang merupakan teman dari salah seorang keluarganya yang kebetulan tinggal di Kota Serang -Banten. Berawal dari bertukar nomor kontak telepon milik kami dan berlanjut ke perbincangan melalui whatsapp.

(Saya sangat senang berbicara dengan Dik Diana. sepertinya dilihat di foto Dik Diana orangnya keibuan dan penyayang). bunyi pesan yang masuk di  whatsapp ku.

Kali ini  seorang lelaki bernama Darmanto mencoba membuka pembicaraan.

Darmanto adalah salah satu dari beberapa lelaki yang dikenalkan oleh kedua sahabatku itu. Kami memang belum pernah bertatap muka hanya beberapa kali pesan whatsapp saja sudah membuatku bosan dan enggan untuk

meneruskan percakapan basa basi itu.

(Apa adik mau ta'aruf dengan saya?) lanjutnya lagi.

(Maaf Pak. Saya tidak bisa dan sekali lagi Saya minta maaf untuk kita hanya sekedar bersilaturahmi saja. Tidak lebih)

(Kenapa, dik?)

(Saya tidak bisa menyampaikan alasan Saya. Saya mohon pengertian Bapak)

(Saya bersedia menunggu Dik) bunyi tulisan Darmanto seperti mendesakku

Tentu saja Aku sangat tidak berkesan dengan sebuah pemaksaan seperti itu. Lagi-lagi emosiku terpancing. Aku tak ingin ada orang lain yang mendikte hidupku. Entah semuanya berubah dalam diriku. Aku yang sekarang sangat

sensitive dengan kata-kata atau perlakuan dari orang-orang di sekelilingku. Aku yang dulu ramah dan periang sekarang sangat mudah marah dan terpancing emosi. Tanpa berbasa basi lebih jauh lagi langsung saja kublokir kontak Darmanto.   Untuk sekian kalinya Aku bersikap seperti itu. Yang jelas bukan karena saat itu Aku sedang

dalam suasana berduka dengan meninggalnya suamiku- tapi lebih kepada trauma untuk mengenal lelaki lagi.

Namun Setelah hampir Lima tahun aku menutup diriku dari lelaki manapun- saat ini Aku merasakan kembali  perasaan cinta pada seorang lelaki. Dan lelaki itu bernama Mahendra.

Walaupun komunikasi diantara kami hanya pembicaraan-pembicaraan ringan atau candaan menggoda lewat handphone. Tak ada sikap kasarku seperti sebelumnya  aku lakukan pada beberapa lelaki yang mendekatiku. Aku seakan berubah menjadi makhluk manis nan manja bagai remaja yang pertama kali jatuh cinta.

"hello? are you there Di? terdengar suara Mahendra dari seberang  membuyarkan pikiranku yang entah kemana.

(hello?apakah kamu masih disana, Di?)

"Oh. Sorry being ignorance." ujarku sesaat tersadar.

(oh, maaf mengabaikan anda)

"Ap se mil ker khushi huwi, Di" ujarnya lagi dalam bahasa urdu.

(senang bertemu dengan Kamu, Di)

"what?

(apa?)

"hahaha" Terdengar suara Mahendra tertawa pecah diseberang sana.

"Its mean I am happy to meet you here. Aapko urdu ati hai?

(Apakah kamu mengerti bahasa urdu)

Aku tidak segera menjawab pertanyaan itu. Dengan sigap kuambil tranlator digitalku dan mencari makna dari kata-kata Mahendra tadi. Dulu semasa masih kuliah- Aku sangat mengagumi karakter salah seorang bintang Bollywood - Shahrukh Khan. Walaupun jalan cerita film yang dimainkannya biasa-tapi karakter lucu yang mendominasi peran yang dimainkannya cukup menghibur. Namun tidak terpikir dalam benakku Aku akan mencintai lelaki yang berasal dari negeri kelahiran Shah Rukh Khan itu.

"Do you get  what I mean?

(Apa kau mengerti yang aku katakan?)

"oh ya. sorry I am using translator to understand what you said. " jawabku lagi.

(oh ya. Maaf Saya menggunakan penterjemah untuk paham apa yang kamu ucapkan)

Percakapan kami pun akhirnya semakin lancar ketika Mahendra memutuskan untuk berkomunikasi dalam bahasa Inggris. Aku pun sedikit lega karena telingaku begitu asing dengan apa yang Mahendra ucapkan dalam bahasa

urdu sehingga harus menggunakan bantuan penerjemah digital.

Namun sejak pertemuan pertama lalu- kami belum bisa bertemu lagi. Maklumlah-biaya hubungan jarak jauh antara Indonesia dan  Australia bisa menghabiskan gajiku selama tiga atau empat bulan sebagai pegawai negeri. Sedangkan Mahendra walaupun baginya biaya tidaklah berat namun waktu luangnya sebagai rofesional kesehatan di negara orang sangatlah terbatas. Kerinduan kami selama itu hanya bisa diungkapkan dengan video call whatsapp setiap harinya.

"Di, I have duty in Seoul next month. will you be there too?" tanya Mahendra suatu ketika padaku melalui sambungan telepon.

(Di, aku akan bertugas di Seoul bulan depan. apakah kamu mau ikut?)

"Oh. For how long?"

(oh untuk berapa lama?)

"For a month." jawab Mahendra lagi. " Will you come Di?"

(untuk sebulan)

Membayangkan sebuah pertemuan di negeri para KPOPers dan  rencana pertemuan yang romantis bersama Mahendra seketika membuatku senyum-senyum sendiri.  Aku belum pernah merasa bahagia seperti ini  sebelumnya. Perasaan yang berbeda yang sama sekali tidak kurasakan ketika Aku bertemu pertama kali dengan Edi sebelumnya yang juga kujalani secara jarak jauh. Namun seketika terbersit dalam otakku  tabungan yang semakin menipis dengan pengeluaran yang menjadi beban ku setiap bulan.

"Sorry, Dear. Since I move to this town- I really dont have enough money for Flights and all accommodations”ujarku sedikit kecewa.

 (Maaf.  Sejak Aku pindah ke kota ini- aku tak punya cukup uang untuk  penerbangan dan akomodasinya)"

Ya bila berharap dengan gajiku saat ini yang memulai lagi jabatan dari bawah pada instansi pemerintahan rasanya  untuk mengeluarkan biaya perjalanan ke negeri orang sangatlah tidak mungkin.  Dulu Aku memang masih bisa menyisihkan uang penghasilanku dari pekerjaanku sebagai pegawai pemerintahan  dan juga usaha sampinganku sebagai konsultan teknis di sebuah hotel di Kota Bandung. Tapi sekarang aku hanya mengandalkan gaji pokok yang hanya cukup untuk biaya hidupku selama sebulan.

"I'll pay all your expences" ujar lelaki itu lagi meyakinkanku.

(aku yang akan bayar semua)

Betapa senang aku mendengar jawaban Mahendra tadi. Aku yang memang senang bertualang ke beberapa tempat sedari  Aku masih berstatus single seperti mendapat  harapan lagi untuk menikmati hasrat berpetualangku. Sejak Aku menikah dengan Edi-belum pernah rasanya Aku menikmati wisata ke kota lain selain kota kelahiran suamiku di Cirebon - bahkan untuk pulang ke kampung halamanku sendiri aku tidak dengan mudah mendapatkan ijin darinya. Rasa takutku terhadap suami mengalahkan kerinduanku pada keluargaku. Namun, tak banyak yang bisa aku

lakukan saat itu selain- PASRAH.

Edi  sebenarnya bukan sosok yang aku inginkan menjadi suami. Wajahnya jauh dari penilaian tampan apalagi menarik -kulitnya gelap dan  tubuhnya pun telihat tambun. Tetapi keramahan dan  keahliannya bermain musik secara otodidak membuat orang lain kagum pada sosoknya. Edi yang kukenal dulu adalah lelaki  yang pendiam dan dikenal memiliki tutur bahasa yang lembut . Entah apa yang membuatnya berubah setelah sekian tahun pertemuan kami sejak kelulusan

Saat ini -rasa kehilangan sosok Edi dalam diriku begitu kuacuhkan. Aku tak ingin lagi mengingat sosok itu apalagi mengingat masa lalu yang telah kami lewati bersama. Rasa kecewa- sakit hati-dendam sudah bercampur dan menyatu  dalam hati. Walaupun beberapa kerabat maupun pemuka agama yang kutemui sering kali  mengingatkanku untuk tidak menyimpan rasa benci dan dendam terhadap orang yang telah tiada.

Seberapa besar aku berusaha melupakan sakit hati ini -namun kebencian itu kadang timbul dan menjadi mimpi buruk bagiku. Sampai saat inipun -Aku sama sekali tidak mengerti mengapa Aku bisa memutuskan menikah dengan Edi sebelumnya  dan tetap dalam pernikahan kami selama lebih dari tujuh tahun. Bahkan kerabat dan sahabatku sejak awal menentang pernikahan ini dan  tidak yakin akan keputusanku saat itu.

"Di- sebaiknya kau pertimbangkan lagi keputusanmu." nasihat Bang Agus saudara sepupuku yang kebetulan pernah menjadi teman semasa Edi kuliah dulu. "Dia tidak pantas menjadi suamimu. sifat dan latar belakang keluarganya sangat jauh denganmu."

"Keluarganya gila harta, Di" ujar Bang Rahmanto kakak lelakiku yang nomor dua yang juga saat itu menentang rencana kami. Bahkan Abangku satu ini dengan sengaja pergi ke kota tempat tinggal keluarga Edi untuk mencari tahu siapa dan bagaimana keluarga calon suamiku itu.

Tidak cukup disitu- rekanku yang tingal di Kota Lampung juga ikut mengingatkanku setelah mengetahui desas desus rencana pernikahan dengan Edi.

" Di-  calonmu itu tukang mainin perasaan cewek. Kita temen-temen kasian dengan kamu nantinya. Please Di- batalkan." ujarnya saat itu melalui telpon jarak jauh dengan ku.

Namun semua nasihat ataupun masukan dari orang-orang itu sama sekali tak kuhiraukan. Entah apa yang terjadi dan ada dalam pikiranku. Saat itu Aku sangat merasa yakin dengan keputusanku. Bahkan kedua orang tuaku

yang ikut menentang pun sama sekali tak kutanggapi.

"Waktu adalah satu-satunya hal yang dapat menjawab apakah dia pantas atau tidak menjadi pasangan hidupku." jawabku saat itu.

Cinta bukanlah soal fisik yang sempurna, melainkan hati dan penerimaan seutuhnya. Selalu kata-kata itu yang kujadikan perisai ketika ada penolakan dari kerabat-kerabatku atas hubunganku dengan Edi.

Rencana Tuhan pasti sudah diatur dengan sebaik mungkin untuk perjalanan hidupku. Tidak ada seorangpun yang bisa mengatur bagaimana perasaan orang lain terhadap kita kecuali kita sendiri yang menjalani.

Sebenarnya sudah banyak masalah yang aku alami selama menjalin hubungan dengan Edi sejak kami masih berstatus pacaran . Edi sangat emosional-mudah tersinggung ketika apa yang dia inginkan tak bisa terpenuhi.

Edi sangat mudah tersinggung ketika kami berdiskusi atau ketika Aku menyampaikan pendapatku. Akhirnya semua yang tadinya kuanggap hal biasa malah ditanggapi dengan kata-kata kasar yang kuterima darinya atau lemparan benda apapun yang bisa dia genggam dan lemparkan kearahku. Aku yang biasanya suka membalas semua perlakuan kasar yang ditujukan padaku justru tak punya daya untuk melawan apalagi membalas dengan kata-kata.

Sampai pada akhirnya Aku  menikah dengan Edi dan kedua orangtuaku dengan terpaksa memberi restu- Aku seakan tak lagi memiliki kemampuan untuk menghindar dari pernikahan ini.  Hal paling sulit yang harus Aku jalani selama hidupku bersama Edi.

Aku yang terbiasa dengan segala kemudahan yang kudapat dari orang tua harus benar-benar menyesuaikan diri dengan kondisi Edi yang semua dimulai dari nol. Apa yang dia ucapkan kepada orangtuaku sebelum menikah sangat berbanding terbalik dengan apa yang Aku rasakan dan kudapatkan selama pernikahan.

Edi yang sebelumnya  mengaku pada keluargaku memiliki sebuah hunian sederhana di wilayah Bandung Timur -kenyataannya hanya tinggal di sebuah kamar kecil di sebuah mess pegawai yang disediakan kantor  tempatnya

bekerja. Ruangan dengan ukuran tiga kali tiga meter persegi menjadi kamar tempat kami tinggal.

Beberapa kamar sudah terisi oleh rekan sesama pegawai di tempat Edi bekerja baik yang sudah berkeluarga  ataupun yang masih single. Semua aktifitas sehari-hari kami lakukan di ruangan kecil tersebut. Kami tidak memiliki ruangan pribadi lain selain kamar tidur.

Edi memiliki karakter yang kunilai sangat santai  dalam bekerja dan lebih banyak  menghabiskan waktu untuk berkumpul dengan teman -temannya. Teman dilingkungan kerja  Edi pun kunilai memiliki kebiasaan yang sama. Entahlah- dalam pandanganku  lingkungan tempat kerja Edi yang harusnya menanamkan disiplin tinggi pada pegawainya  justru tidak mencerminkan sebuah instansi yang memiliki disiplin tinggi yang patut menjadi contoh.

Ada rasa kecewa dalam diriku atas segala perilaku Edi padaku dan keluargaku. Satu per satu apa yang menjadi keraguan kerabatku akhirnya terbukti.  Edi bukanlah pasangan hidup yang baik untukku. Namun Aku berusaha untuk tetap  bertahan dalam pernikahan ini mengingat janji ku pada Ayahku bahwa apapun kondisi yang kujalani selama pernikahan dengan Edi akan kujalani dengan resiko yang akan kuterima tanpa mengeluh.

Janji yang sebenarnya tidak perlu kupegang teguh

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!