Pagi ini jadwal kerjaku begitu padat. Hari ini Aku harus memonitor acara pada sebuah pertemuan yang diadakan oleh pemerintah daerah tempatku bekerja yang bekerjasama dengan salah satu kementrian. Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh pagi- Aku yang biasanya setelah menunaikan sholat subuh masih menyempatkan diri untuk sarapan pagi- kali ini Aku harus lewatkan sarapan buatan Mak Tini- pengasuhku sejak Aku masih kanak-kanak. Mak Tini sudah tinggal denganku sejak kedua orangtuaku pindah tugas ke kota lain dan Ibuku memintanya
untuk menemaniku tinggal di rumah kami. Mak Tini adalah adik perempuan Ibuku yang sudah menjanda sejak beberapa tahun lalu. Tentu saja kehadiran mak Tini bukan untuk menjadi asisten rumah tanggaku- karena bagaimanapun dia adalah orang tua yang sepatutnya kuperlakukan dengan baik.
"Sarapannya Di? ujar Mak Tini padaku dari dapur yang tak jauh dari tempatku berdiri.
"Ga Usah. Mak. lagi buru-buru. " ujarku seraya naik ke mobilku serta menghidupkan mesinnya.
“Tapi nanti kamu sakit, Di.” Ujarnya lagi setengah memaksa.
“Nanti juga di kantor aku biasa makan di kantin, Mak.” Ujarku dari dalam mobil. Aku menyalakan mesin mobilku dan
sesaat kemudian kuinjak pedal gas mobilku dengan mengambil posisi memundurkan kendaraan yang kunaiki itu.
Tiba-tiba perutku terasa nyeri. Sejak subuh Aku memang merasakan keram dibagian perutku. Entahlah-mungkin Aku yang sedang tidak dalam kondisi fit atau karena hatiku yang masih menyimpan amarah semalam pada suamiku hingga membuatku tidak bisa tidur. Setelah pertengkaranku dengan suamiku pikiranku melalang buana dengan segala kemungkinan terburuk yang akan terjadi diantara kami. Pertengkaran yang seharusnya tidak terjadi disaat kondisiku yang sedang hamil tiga bulan.
Namun bila dipikir-pertengkaran itu sangat wajar terjadi karena posisi kami yang saling berjauhan dan Edi sama sekali tidak menunjukkan perhatiannya selaku seorang suami pada istrinya yang sedang hamil. Hal ini juga akibat dipicu dengan adanya pesan whatsapp yang beberapa kali kuterima di handphoneku dari seseorang yang mengaku sebagai kekasih suamiku. Seseorang yang dengan sengaja mengirimkan beberapa foto suamiku dengan seorang wanita muda yang terihat sangat mesra.. Usia pernikahanku belum lagi satu tahun- tapi ini untuk kedua kalinya emosiku diuji untuk sebuah kesetiaan dari seorang suami.
“Lalu siapa perempuan itu” tanyaku pada Edi melalui sambungan telepon.
“Sudahlah. Kau jangan pancing lagi emosiku. Dia bukan siapa-siapa hanya teman.” Jawab Edi dengan suara tinggi dari seberang sana.
“Bukan siapa-siapa katamu? Tapi kenapa harus berpegangan tangan dan duduk berpelukan seperti itu? Tanyaku
lagi dengan suara yang lebih tinggi
“Lalu apa mau Kau? ujarnya dengan kata-kata yang mulai terdengar kasar
“Aku ingin kita pisah. Ini sudah kedua kalinya dirimu seperti ini.”
“Ok kalau itu yang Kau mau.”
Aku terkejut. Ya-Allah terucap juga kata-kata itu dariku. Tapi Aku sebenarnya tidak menginginkan itu terjadi terlebih dengan kondisiku saat ini yang sedang berbadan dua.
“Kamu benar-benar tidak memiliki tanggungjawab sebagai seorang suami. Bahkan selama Aku hamil pun tak sedikitpun kamu datang atau sekedar menanyakan kondisi kehamilanku.” Ujarku seraya menahan amarah. Aku memang sudah terbiasa mandiri dalam melakukan segala hal- namun kondisi hamil muda seperti ini membuatku emosiku tidak stabil dalam menyikapi segala hal. Tak ada sedikitpun perhatian dari seseorang yang kunamakan suami. Awalnya aku tidak pernah mempermasalahkan sikap Edi padaku- tapi saat ini Aku merasa suamiku bagai orang lain yang sama sekali tidak memperdulikan kondisiku yang sedang mengandung anaknya sendiri.
“Aku sibuk kerja.” Ujar Edi tanpa rasa bersalah.
“Oh baiklah. Setelah anak ini lahir kita urus perceraian dan ambil anak ini denganmu. Aku tidak menginginkannya.” Ujarku lantang membalas kata-kata Edi.
Astaqfirullahalazim- apa yang barusan kukatakan tadi. Sejenak Aku terdiam dengan kata-kata yang Aku ucapkan
barusan. Segera Aku menyadari perkataanku pada Edi tadi sungguh tak pantas untuk Aku ucapkan disaat seperti ini. Tapi Edi sudah memutuskan sambungan telepon kami.
Tak henti aku menyesali ucapanku yang penuh emosi itu. Ingin rasanya Aku menangis dan berteriak sepuasnya meluapkan amarah yang memenuhi rongga dadaku. Tapi ini sudah terlalu malam. Tak ada tempatku bercerita-Mak tini tak akan memahami keadaan yang saat ini aku hadapi. Aku merasa begitu sendirian di rumah ini. Aku juga tak memiliki keberanian untuk meluapkan beban hatiku pada keluargaku- karena mereka tak pernah menerima Edi sepenuhnya sebagai bagian dari keluarga kami.
Rasa kantuk dan lelahku seketika hilang karena emosi yang memuncak setelah pembicaraan di telepon tadi. Entah setelah berapa lama Aku bisa memejamkan mataku- setelah berkali-kali ku paksakan memejamkan mata.
Untuk kedua kalinya Aku merasakan keram di perutku. Aku mencoba mengatur napasku seraya duduk di belakang setir. Rasa keram di perutku kembali hilang. Kuhidupkan mesin mobilku kebetulan jalan menuju tempat pertemuan ku pagi ini cukup lengang dan tak perlu memakan waktu lama di perjalanan - dan Aku sudah tiba di tempat tujuanku lebih cepat dulu daripada anggota panitia lain yang juga turut hadir di tempat itu.
Kulihat baru ada salah seorang pegawai kantorku yang hadir dan menyambutku di depan pintu hotel tempat pertemuan. Aku segera ke ruangan pertemuan-menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan nantinya. Lancar atau tidaknya kegiatan ini tergantung dari kerjasama kami selaku panitia dan Aku ingin segala sesuatunya berlangsung sesuai rencana.
Selang beberapa jam kemudian- satu per satu peserta sudah mulai berdatangan- kebetulan mereka ditempatkan dalam satu hotel tempat acara diselenggarakan untuk memudahkan mobilisasi peserta maupun panitia. Kulihat mobil yang bertugas menjemput Narasumber dari kementrian pun sudah tiba- Aku segera menyambut Ibu Deputi dan kami pun menuju ruang tunggu VVIP dimana atasanku sudah menunggu.
Suara pembawa acara sudah terdengar -hiruk pikuk suara peserta yang saling berbincang pun sudah ramai terdengar dari ruangan tempat kami menunggu. Dengan ramah Aku mempersilahkan Ibu deputi untuk memasuki ruangan pertemuan.
Kulihat Atasanku sudah terlebih dulu duduk di samping kursi narasumber. Aku pun mempersilahkan Ibu deputi
untuk duduk berdampingan dengannya. Namun tiba-tiba Aku kembali merasakan keram di perutku. Kali ini dikuti dengan keringat dingin yang mulai mengucur dari wajah ku. Aku berusaha menenangkan diri- namun rasa sakit ini semakin membuatku gelisah. Tak lama moderator memanggil namaku selaku penanggungjawab acara untuk membuka acara. Aku berusaha berdiri dari dudukku- Namun kali ini kakiku terasa begitu lemah untuk berdiri.
“Sepertinya Bu Diana kurang sehat,”ujar ibu deputi kepadaku. “wajahnya pucat sekali bu.”
“Tidak Bu, mungkin karena Saya kurang tidur semalam.” Ujarku seakan menenangkan diriku sendiri. Lalu Aku meminta ijin pada kedua atasanku itu untuk membuka acara.
Aku berjalan menuju mimbar- namun tubuhku terasa semakin lemah dan pandanganku mulai berkunang.
Tiba-tiba Ibu deputi berdiri dan berjalan menghampiriku.
“Ibu-maaf itu di roknya ada bercak darah. Bukannya ibu sedang hamil? Ujarnya terlihat sedikit panik.
Aku memegangi bagian belakang rok ku. Terlihat olehku tanganku sudah menempel bercak darah segar.
Pandanganku semakin buram- rasa terkejutku membuat perasaanku semakin tidak menentu.
Gedubrak!!
Aku terjatuh lemas disamping mimbar. Sayup-sayup masih terdengar olehku suara Ibu Deputi memanggil petugas kesehatan yang memang selalu kami siapkan setiap kali kami mengadakan acara semacam ini.
Entah apa yang terjadi setelahnya- Yang kuingat sesaat tersadar aku sudah terbaring di tempat tidur dalam sebuah ruangan dengan dibatasi tirai putih yang menutupi sekelilingku. Terlihat samar-samar orang-orang berseragam putih yang sibuk dengan alat medis mereka.
“Diukur tensi dulu dan pasang oksigen ya sus.” Terdengar salah satu dari mereka berbicara. “Apa ada keluarga pasiennya? Karena harus segera ambil tindakan.” Lanjutnya lagi.
“Saya .” Terdengar olehku suara Tante Mala yang merupakan adik perempuan ibuku disekitar ruangan. Samar-samar Aku lihat tante Mala sesekali memfokuskan pandangannya ke arahku dengan rasa kuatir apalagi melihat kondisiku yang terbaring tak berdaya.
Tante Mala ternyata sudah dihubungi oleh salah satu rekan kantorku saat mereka membawaku ke rumah sakit terdekat dengan mencari tahu kontak keluarga melalui riwayat panggilan dari handphone milikku.
“Apakah suami pasien ada bu. Ada formulir yang harus ditandatangani sebelum tindakan kuretasi untuk membersihkan sisa janin di rahim pasien.” tanya salah satu orang perawat pada tanteku.
“Suami pasien di Bandung Sus. Saya satu-satunya keluarga yang ada di kota ini.”
“Ibu orang tua dari pasien?tanya perawat itu lagi
“Bukan. Saya Tantenya. Orangtua yang bersangkutan sedang berdinas di Bangka. Keponakan Saya tinggal sendirian disini.”
“tapi kami memerlukan persetujuan suami atau orangtua pasien, bu. Sebaiknya Ibu hubungi suami atau orangtua pasien untuk tandatangan formulir persetujuan bisa diwakilkan oleh Ibu sebagai keluarga.”
“baik Saya coba hubungi suami dan orangtuanya.” Ujar tanteku kemudian
Tante Mala mengambil handphone miliknya dari dalam tas jinjing yang ia bawa. Tangannya dengan cepat mencari nomor Edi di daftar kontak pada handphonenya. Terdengar suara sambungan telpon berbunyi- namun tak ada jawaban sama sekali dari Edi. Entah sudah berapa kali tanteku menghubungi nomor yang sama namun tak ada tanggapan
dari Edi. Wajahnya yang putih mulai berpeluh- ada kekuatiran namun ada juga kekesalan di wajah itu ketika mendengarku sesekali mengerang kesakitan dari tempat tidur rumah sakit ditambah kekesalannya saat tidak berhasil menghubungi Edi. Walau begitu tetap saja Tante Mala berusaha menghubungi Edi.
“Ya halo.” Terdengar suara Edi dari handphone tanteku. Handphone itu sengaja volumenya dibesarkan oleh tante agar petugas rumah sakit bisa mendengar pembicaraan mereka.
“Edi ini Tante Mala, Diana masuk rumah sakit karena pendarahan. Pihak rumah sakit meminta persetujuan
suami untuk tindakan kuret.” Ujar Tanteku pada Edi dengan suara yang sedikit parau
Edi tak segera menjawab. Entah apa yang dikerjakannya saat itu tapi terdengar seperti sedang berbicara dengan beberapa rekannya.
“Halo, Edi gimana?Ditunggu keputusanmu sekarang.” Suara tanteku mulai meninggi karena menunggu respon
dari Edi.
“Ya- silahkan saja”ujarnya tanpa beban dan terkesan tidak sopan kepada tanteku
“Apa nanti Kamu bisa kesini-kasian istrimu.”tanya tante mala lagi
“Tidak bisa. Saya banyak pekerjaan disini. Saya serahkan pada tante semua urusan dia.”
“Ya Tidak harus hari ini. Besok bisa kan?
“Maaf, Saya tidak bisa.” Jawab Edi lagi.
Wajah Tante mulai memerah seakan menahan emosi dalam dirinya mendapat jawaban dari suami keponakan yang
dia sayangi seperti itu. Tante Mala tanpa basa basi langsung menutup pembicaraan mereka. Ia terlihat begitu kesal dengan tanggapan Edi. Entah apa yang dibicarakan dengan perawat akhirnya Tante Mala menandatangani formulir yang diberikan perawat padanya sebagai persetujuan untuk pengambilan tindakan kuretasi terhadap diriku.
Tak berapa lama proses kuretasi itu berlangsung- Aku merasa lelah- dan mengantuk. Mungkin efek dari obat bius
yang disuntikkin ke tubuhku mulai bereaksi. Tanpa sadar Aku pun tertidur setelahnya.
Keesokan harinya-kondisiku sudah terlihat lebih baik. Namun Aku masih merasakan sakit dan kram pada bagian perut dan organ vitalku. Ada rasa tak nyaman disetiap kali aku merubah posisi tidurku namun lebih tidak nyaman berada di ruang kamar rumah sakit sendiri. Saat itu pintu kamar ku terbuka- Seorang perawat masuk ke dalam ruangan dan menyapaku dengan senyum ramahnya.
“Selamat Pagi ibu Diana.Kita cek tensi dan suhu tubuh dulu ya Bu.” Ujarnya seraya mempersiapkan peralatan medisnya dan menaruhnya disisi tempat tidur ku.
“Pagi Suster. Silahkan suster.” Suster Anita melingkarkan kain pengukur tensi ke lenganku- dan memastikan alat tensi tersebut terpasang dengan baik.
“tensinya seratus per delapan puluh ya bu.”ujar suster Anita. “suhu tubuhnya tigapuluh tujuh derajat”
“Alhamdulilah. Tapi apa Saya bisa pulang ke rumah hari ini suster? Tanyaku sudah tak sabar.
“Saya tanyakan ke dokter dulu ya Bu.”
Aku mengiyakan. Suster itu kemudian merapikan peralatannya dan kemudian berpamitan keluar dari kamarku.
Tak berselang lama- suara pintu kamar rawat terdengar kembali dibuka. Kulihat teman karibku Fina dan Tante Mala masuk ke kamar dengan membawa jinjingan mereka masing-masing.
“Assalamualaikum Diana.” Ujar Fina- lalu wanita muda itu mendekatiku seraya mencium pipi kiri dan kananku. “yang sabar ya Di.” Ujarnya lagi
“Iya, makasih ya Fin.”
“Kak Edi nggak kesini Di?”
Aku tidak langsung menjawab. Entah kenapa mendengar nama suamiku itu saat ini bisa dengan mudah terpancing emosiku.
“Sudahlah Fin. Nggak usah bahas-bahas dia lagi.”
“Loh, bagaimanapun Dia harus tau kondisimu Di.”
“Dia sudah tau. Tapi tidak mau tahu.” Ujarku dengan nada kesal. Kekesalanku itu tidak kutujukan ke Fina tapi pada Edi. Hari ke dua Aku dirawat di rumah sakit tidak ada sekalipun dia berusaha menghubungiku melalui sambungan telepon atau sms
“Kok bisa begitu ya kak Edi, Di? Bukannya dia begitu besar cintanya sama kamu kenapa kondisi kamu seperti ini sekarang Dia malah tidak ada”
“Dia tidak pernah tulus mencintai Aku.”
Fina tampak terkejut dengan ucapanku. Wanita muda ini sangat tahu dengan karakterku apalagi saat emosiku mulai dipermainkan. Tak ada lagi yang ingin ia tanyakan- ia hanya menunggu Aku untuk menceritakan sendiri apa yang kurasakan.
Gadis muda yang berdiri disampingku itu melihatku. Aku yang Ia kenal sebagai seorang gadis yang periang dan tegar terlihat murung dan tak berdaya. Pandanganku terlihat kosong- teringat lagi semua komentar kerabat yang memang tidak mendukung pernikahanku dengan Edi. Namun kini tak ada guna semua penyesalan.
Hari Ketiga- Setelah Kejadian keguguran janinku.
Aku menjalani aktifitas ku seperti biasanya. -Aku sudah kembali menyibukkan diri dengan pekerjaanku di kantor. Aku sangat bersyukur rekan-rekan kerjaku banyak membantu pekerjaanku saat Aku terbaring tak berdaya di rumah sakit.
“Apa Diana sudah benar-benar merasa sehat? Tanya Pak Tamsil- lelaki paruh baya itu adalah atasanku. Beliau memintaku menghadap ketika tahu Aku sudah mulai kembali menjalankan pekerjaanku.
Umumnya memang pemulihan paska kuret dengan pendarahan ringan akan berlangsung selama dua sampai tiga hari. Namun untuk kondisi saat itu dokter menyarankan wanita muda ini untuk beristirahat lebih lama.
Pak Tamsil adalah seorang dokter-yang memang memiliki pengetahuan mendalam mengenai kesehatan. Karena kemampuannya itu- dia dipercaya untuk menjabat di satuan kerja yang memang lebih banyak berurusan dengan kesehatan dan peningkatan kesejahteraan keluarga.
Lelaki paruh baya ini sangat penuh perhatian padaku- bahkan perlakuannya bagai seorang Ayah yang begitu perhatian pada anak perempuannya sendiri. Tak heran- perlakuannya begitu padaku- karena dulunya pak tamsil adalah bawahan Ayahku saat beliau masih berdinas di instansi yang sama dengan Ayah dan lelaki itupun sudah mengenalku sejak Aku berusia remaja.
“Alhamdulilah- Saya sudah lebih baik saat ini Pak.” Jawabku meyakinkannya.
Pak Tamsil tampak mengernyitkan dahinya. Kerutan di wajahnya semakin terlihat dengan wajahnya yang
berkulit putih itu.
“ Diana-anakku. Saya akan lebih kuatir melihat wajahmu yang pucat tapi masih berkerja di tempat ini. Cobalah jangan berkeras bahwa kondisi kamu baik-baik saja,” ujarnya lagi.
“Sungguh- Pak. Saya baik-baik saja.”
Lelaki paruh baya yang ada dihadapanku itu kemudian berdiri dari tempatnya duduk. Lalu dia mendekati
tempat ku duduk.
“Dengarkan Saya Anakku- Ayahmu menitipkan kamu pada Saya. Saya tahu kamu orang yang pekerja keras- tapi
kamu harus juga berpikir soal kesehatanmu. Saya tahu kamu tidak sedang baik-baik saja.”
“Insyallah Saya baik-baik saja Pak.
Pak Tamsil kembali ke tempat duduknya, “ohya, bagaimana dengan suamimu, Di?Apa dia tidak ingin pindah bekerja disini?
Aku sejenak terdiam."Tidak Pak. Mungkin Saya akan lebih baik mengajukan cerai dari dia.”
Seketika wajah pak Tamsil berubah mendengar jawabanku. Tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya selain ucapan istiqfar.
“Astaqfirullahalazim"
Dia kembali terdiam sejenak- Mengusap wajahnya dengan kedua tangannya yang sudah terlihat menua dan kemudian kembali berujar padaku,
" Saya tidak tahu permasalahan kalian. Tapi sebaik-baiknya pasangan sebaiknya kalian tidak tinggal berjauhan seperti sekarang. Kalau Suamimu tidak ingin pindah- pikirkanlah untuk kamu mendekat dan tinggal bersama suamimu, Diana. Sebagai seorang istri, maka Kamu harus membaktikan seluruh hidupmu kepada suami. Sebab setelah menikah, seorang wanita memiliki tugas mulia untuk menyiapkan sarapan untuk suaminya. Tugas mulia itu selayaknya dimulai sejak hari pertama pernikahan sampai batas waktu yang dikehendaki oleh Allah. Saat maut memisahkan keduanya di dunia” nasihat Pak Tamzil panjang lebar padaku.
“Saya tahu hal itu Pak. Tapi Saya sudah tidak bisa lagi berdamai dengan segala kebohongan yang suami saya lakukan.”
“Mungkin Bapak terlalu banyak bicara. Tapi Bapak hanya bisa memberimu saran untuk berkonsultasi dengan orangtuamu tentang hal ini. Karena Yang Bapak tahu sebelum menikah dulu kamu selalu berusaha meyakinkan orangtuamu bahwa Edi adalah pilihan yang terbaik untukmu. Walau kenyataan saat ini Kamu justru berpikir sebaliknya- maka kamu juga harus bicarakan dengan orang tuamu,Nak.” Lanjut Pak Tamsil lagi dengan bijaknya.
Aku tak mengiyakan ataupun membantah perkataan itu. Semua orang mengetahui bagaimana perjuanganku
agar aku mendapatkan restu kedua orangtuaku untuk bisa menikah dengan Edi. Tapi semua itu saat ini rasanya tidak layak untuk diperjuangkan apalagi dipertahankan. Semua yang diucapkan dan dijanjikan Edi tidak satupun
dibuktikannya. Perasaan malu pada keluarga maupun kerabat berkecamuk dalam hati. Untuk menutup mukaku dengan kedua telapak tangan saja rasanya tidak akan cukup.
Setelah sekian lama pembicaraanku dengan Pak Tamsil- Aku berpamitan untuk kembali ke ruang kerjaku. Di ruang kerja Aku sama sekali tidak bisa fokus mengerjakan apapun selain melamun dan memikirkan semua ucapan Pak Tamsil tadi. Ada benarnya apa yang beliau ucapkan bahwa perjuangannya dalam membangun rumah tangga benar-benar terasa jika kita hidup dalam rumah sendiri dibandingkan dengan memilih tinggal di rumah orangtua atau mertua. Hidup berpisah atau berjauhan dengan pasangan akan menimbulkan rasa curiga dari masing-masing.
Kali ini, lepas empat puluh hari sudah waktu kujalani setelah proses kuretasi janin dalam kandunganku. Namun keinginan ku untuk berpisah dari Edi semakin kuat. Entah setan apa yang merasuki pikiranku- kebencianku pada Edi semakin bertambah dari hari ke hari apalagi sejak kejadian keguguranku Edi sama sekali tidak pernah mengunjungiku ke Kota ini. Hanya beberapa pesan singkat yang menanyakan kondisiku yang dia kirimkan padaku.
(Sudah baik kau?) bunyi pesannya suatu waktu.
Pesan yang benar-benar singkat dan terkesan basa basi bagiku.
Edi yang dulu diawal kami pacaran selalu lembut dalam perkataannya namun beberapa bulan menjelang kami menikah sifat kasarnya lah yang selalu muncul ketika berbicara atau bertemu denganku.
Hal yang paling kuingat dan membekas dalam hatiku saat Edi mengajakku pertama kali menemui keluarganya di Kota kelahiranny.di saat Aku yang secara kebetulan mendapatkan tugas dinas di Kota Bandung- mempunyai kesempatan untuk mengunjungi Edi ke tempat kerjanya. Edi menjemputku di penginapan dan menyampaikan keinginannya untuk mempertemukanku dengan keluarganya.
“Kita naik motor ke cirebonnya, nggak apa-apa kan? Tanyanya masih dengan suara yang lembut padaku.
“Tidak masalah.” ujarku mengiyakan. Yang kuingat saat itu- Edi begitu bersemangatnya memintaku untuk ikut serta menemui keluarganya di kota kelahirannya itu. Aku tak mungkin menolak permintaan itu-walaupun Aku merasa hal itu terlalu cepat mengingat Aku dan Edi baru saja menjadi sepasang kekasih.
Saat itu kami hanya mengendarai roda dua menyusuri sepanjang jalan menuju kota kelahiran Edi. Perjalanan yang ditempuh cukup jauh- tubuhku merapat ke tubuh Edi karena motor yang dikendarainya sedikit condong kedepan sehingga mempersulit posisi dudukku untuk berjarak dengannya. Perjalanan yang cukup jauh bagiku-tapi Aku menikmatinya karena hembusan angin yang terasa sejuk langsung menerpa ke wajahku ditambah lagi pemandangan disepanjang perjalanan yang sangat indah dengan hamparan sawah yang menghijau dengan sungai di sisi lain jalan dengan air yang mengalirnya dengan terus menerus.
Suasana seperti itu tak ayal membuat aku merasakan kantuk yang teramat sangat ditambah lagi terpaan angin kencang yang langsung ke wajahku. Mungkin Edi tahu kondisiku saat itu- ketika tubuhku mulai oleng ke kiri dengan sigap Edi menarik tanganku melingkari pinggangnya serta menggenggamnya dengan erat. Aku merasa tersanjung dan senang dengan perhatiannya itu.
Sampai setibanya kami di kota kelahiran Edi- Aku langsung melepas helem yang menutupi kepalaku- tak tahu lagi raut wajahku seperti apa terlihat. Yang jelas perjalanan ini sungguh membuatku terlihat berantakan dan lelah. Aku turun dari boncengan motor Edi- dan Edi pun memarkirkan motornya di samping halaman rumah orang tuanya.
Dari dalam rumah beberapa orang terlihat keluar menuju teras rumah bermaksud menyambut kehadiran kami berdua. Wanita paruh baya yang bertubuh tambun dengan kerudung panjang menghampiri Edi dan memeluknya.
“Aih, Aak pasti capek habis perjalanan jauh.” Ujarnya pada Edi sesaat melepas pelukannya.
“ Heeh.” Jawab Edi sambil menyambut pelukan wanita itu dengan senyumnya.
“Ini Diana? Ujar wanita itu lagi ketika matanya melihat ke arahku. Senyum yang tadinya hadir saat menyambut Edi seketika menghilang ketika melihatku.
“Ya, Bu. Saya Diana” jawabku singkat memperkenalkan diri.
Wanita itu tak lagi banyak bertanya- ia mengajak kami berdua untuk masuk ke dalam rumah. Beberapa anggota keluarga Edi yang tadi berdiri di teras satu- per satu memperkenalkan diri padaku. Sampai satu ketika Aku memberi salam pada lelaki paruh baya yang berpostur tinggi kurus yang ada di hadapanku. Tak ada keramahan yang terlihat di wajah lelaki itu. Matanya tajam seakan menyusuri bagian dari diriku yang berdiri dihadapannya.
“Silahkan masuk.” Ujar lelaki itu kemudian padaku.
Aku mengikuti- Edi kemudian mengarahkanku untuk duduk di kursi yang bersebelahan dengannya.
“Oh ya. Capek nggak naik motor? Tanya lelaki itu lagi padaku masih dengan pandangan yang kurang bersahabat.
“Lumayan, Pak.”
Lelaki itu tak langsung melanjutkan pertanyaannya. Kemudian ia berbicara dengan Edi dengan bahasa Cirebon yang sama sekali tidak bisa kupahami artinya. Edi kemudian beranjak dari duduknya- dan berjalan menuju arah ruangan lain dari rumah itu meninggalkan Aku bersama kedua orangtuanya di ruang tamu mereka.
“Kamu pegawai negeri juga? Kembali pertanyaan Ayah Edi dilontarkan kepadaku.
“Ya, Pak.”
“Orang tuamu kerja apa?
Aku terdiam. Hei, perkenalan macam apa ini batinku. Apa pantas perkenalan pertama kali Aku sudah diserang dengan pertanyaan semacam itu.
“Orang tua saja hanya pegawai biasa seperti saya, pak.” Jawabku walau dengan perasaan yang sedikit kurang nyaman.
“Hemmm.” Lelaki itu terdengar bergumam. Ia tak langsung melanjutkan pertanyaannya- namun perkataannya yang keluar dari mulutnya kemudian adalah hal yang paling menyakitkan yang Aku rasakan selama mengenal orang yang baru saja kukenal.
“kamu tahu, Di. Edi adalah anak lelaki saya yang pertama. Di kampong kami ini- banyak orang tua yang menginginkan Edi untuk menjadi menantu mereka”
Aku terkejut mendengar perkataan Ayah Edi. Tapi Aku berusaha untuk menjadi pendengar yang baik dimata lelaki
itu.”ya, Pak.”
“Kamu tahu- Edi bahkan diminta untuk berjodoh dengan salah satu anak pejabat tinggi di kota ini. Bahkan kedua orang tuanya bermaksud memberikan rumah dan mobil untuk kami.” Lanjut lelaki itu dengan angkuhnya.
Aku semakin terkejut dengan semua yang kudengar dari mulut lelaki yang duduk dihadapanku itu. Apakah ini sebuah penghinaan atau penolakan dengan kehadiranku ini. Tapi apakah ucapan itu pantas diucapkan oleh tuan rumah kepada tamu yang dating ke rumahnya pertama kali.
“Kamu- Apa yang kamu bisa tawarkan untuk Edi? Lelaki itu balik melemparkan pertanyaan padaku.
“Maksud Bapak? Tanyaku semakin tak mengerti.
“Ya. Semua perempuan yang dekat dengan anak saya pasti membawa sesuatu bila berkunjung kesini. Sedangkan kamu?
Tiba-tiba emosiku memuncak- sungguh Aku tidak menyangka akan menerima penyambutan yang demikian. Apakah dengan kehadiranku disini benar-benar dijadikan kesempatan untuk kedua orang tua itu untuk menghinaku.
“Maaf-Pak. Saya kesini karena permintaan Kak Edi dan maaf jika Saya tidak membawa apapun.” Ujarku masih
berusaha untuk sabar. “lagipula saya kesini hanya untuk berkunjung-bukan untuk diperkenalkan sebagai calon pendamping Kak Edi.”
Tanpa kusadari tiba-tiba Edi datang dari arah ruangan lain dan dengan amarahnya lelaki itu memotong semua
pembicaraan kami.”Apa maksudmu berbicara seperti itu.”
"Jadi Diana ini bukan calon istrimu Edi? tanya Ayah Edi lagi pada anaknya.
"bukan begitu. Maksud Saya.. " aku mencoba memberi penjelasan tapi kemarahan Edi sudah tak mampu tertahankan padaku.
"Sudahlah. Kalau itu yang kamu mau. l" hentak Edi.
Aku sama sekali tak mempunyai kesempatan untuk menjelaskan. Kedua orang tua Edi tampak tersenyum sinis ke arahku. Entah apa yang da dalam pikran mereka tapi setidaknya Mungkin merek menganggap aku tak pantas menjadi pendamping Edi.
Sungguh suasana perkenalan pertama itu adalah awal pertengkaran demi pertengkaran antara aku dan Edi selanjutnya.
Saat suasana makin terasa tidak nyaman di tempat itu. Edi kemudian memutuskan untuk kembali ke Bandung bersamaku. Tentu saja sesuatu yang sangat kuharapkan keluar dari lingkungan yang tidak nyamanuntuk berlama-lama dan membuat perasaaanku lega.
Namun situasi yang berbeda yang kuterima sepanjang perjalanan pulang kami dari pertemuan keluarga tadi.
Edi dengan sengaja menambah kecepatan kendaraan roda duanya dan hampir membuatku terlempar dari atas motornya.
“Hey! Teriakku dengan panik. “Bisa pelan-pelan Kak!
Lelaki itu sama sekali tidak menghiraukan teriakanku bahkan semakin jadi dia melajukan motornya dengan
lebih kencang.
“Stop! Turunkan Aku disini! Teriakku sekencang mungkin.
Dan Tiba-tiba Edi menarik handle rem motornya sehingga membuatku terkejut dan terdorong kedepan secara mendadak. “Turun kau.” ujarnya dengan kasar padaku. Aku sama sekali tak tahu apa yang ada dalam pikirannya sehingga suasana hatinya berubah tiga ratus enam puluh derajat setelah ia bertemu dengan keluarganya tadi.
“Ada apa denganmu?Apa Aku ada berbuat salah tadi? Tanyaku tidak mengerti.
“Sudahlah. Dak perlu kau tanya-tanya. Turun kalo kau mau turun.” Ujarnya lagi dengan teriakan yang keras.
Tak perlu berpikir lama-segera aku turun dari motornya. Dan kubiarkan lelaki yang bertubuh cukup gempal itu melaju dengan motornya meninggalkanku di pinggir jalan ini.
Sebenarnya sebelum menikahpun Edi sering menunjukkan mood swing yang bisa berubah- ubah dan justru tanpa Aku tahu penyebabnya. Hal inilah yang membuat hubungan kami beberapa kali putus sambung sebelum menikah. Sejujurnya dengan kondisi Edi seperti itu aku sudah tidak merasa aman dan nyaman bila harus mempertahankan hubungan kami apalagi sampai ke jenjang pernikahan.
Pernah suatu ketika disaat mood Edi sedang baik- Aku mencoba bertanya apa yang bisa membuatnya tiba-tiba marah padaku.
“Aku tidak suka kau berbicara dengan lelaki lain, terlalu akrab apapun itu. Aku juga tidak suka kau menyembunyikan segala hal dariku.” Jelasnya.
Aku sama sekali tidak memahami ketidaksukaan Edi saat itu apalagi kecemburuannya yang tidak beralasan. Aku bukan tipe wanita yang suka beramah-tamah dengan setiap lelaki apalagi lelaki yang sama sekali tidak kukenal. Aku bukan tipe orang yang suka dengan kebohongan sehingga Aku menutupi sesuatu hal dari orang yang kuanggap sebagai pasanganku.
“Aku tidak mengerti maksud Kakak. Aku tidak pernah sok akrab dengan lelaki lain kecuali Aku memang sudah mengenalnya sejak lama dan apa yang kusembunyikan? Ujarku padanya.
“Pokoknya Aku tidak suka.” Hanya dengan kata itu Aku sudah tidak ingin lagi banyak bertanya padanya.
Tapi entah apa yang membuatku selalu kembali dan menerima Edi lagi dan lagi pada walaupun di dalam hati ini sebenarnya sudah tidak ingin lagi bersamanya. Hal inipun sering kali terjadi saat kami sudah menjadi suami istri.
Aku kembali teringat dengan pesan kedua orang tuaku sebelum pada akhirnya Aku mendapatkan restu mereka untuk menikah dengan Edi. Restu ini akhirnya kami dapatkan setelah untuk ketiga kalinya kedatangan Edi untuk melamarku ditolak mentah-mentah oleh keluargaku terutama Ayah dan Ibuku.
“Ayah dan Ibu memberikan kamu restu namun ada beberapa syarat yang harus kalian penuhi.” Ujar Ayahku saat itu.
Aku dan Edi mengiyakan apapun persyaratan yang akan disampaikan Ayah pada kami berdua.
“Sebelumnya Saya ingin bertanya pada Edi. Apakah Edi mau menjawab dengan jujur?
“ya, pak.” ujar Edi saat itu dengan terbata-bata.
“Apakah Edi mampu menjaga anak Saya Diana bila saya ijinkan menikah nantinya?
“ya, pak”
"Apakah Edi memiliki tempat tinggal untuk kalian menetap anti setelah menikah?
“Ya pak ada.”
Aku menoleh ke arah Edi. Ada Apa ini? Kenapa dia tidak mengatakan hal yang sejujurnya dihadapan kedua orang tuaku.Yang Aku ketahui Edi belum memiliki rumah sendiri karena selama ini dia hanya tinggal di sebuah rumah kontrakan bersama teman-teman sekantornya.
Ayah menoleh ke arahku dengan memberikan kode satu jari padaku. Aku tahu maksud Ayah yang ingin menunjukkan satu kebohongan yang sudah dibuat oleh Edi.
Edi mungkin tidak menyangka bahwa sebelum kedatangannya untuk melamarku kali ini Aku sudah menceritakan kondisi ekonomi Edi dan keluarganya yang sebenarnya kepada kedua orangtuaku. Namun kali ini Edi membuat kesalahan besar dihadapan orang tuaku.
Ayah mengambil teh hangat yang sudah disiapkan oleh mama ku di cangkir kesayangannya. Meminumnya seteguk seakan ingin memberi jeda atas semua pertanyaan yang akan dilontarkannya kepada kami kali ini.
“Baiklah. Syarat Pertama- Edi harus menyelesaikan pendidikan masternya yang tertunda dulu. Kedua papa dan mama ingin kalian menikah dirayakan di tempat yang sama dengan Kakak-kakak Diana sebelumnya menikah tanpa ada bantuan dari papa dan mama. Ketiga- bila kalian nantinya sudah menikah Papa dan mama harapkan kalian untuk tetap tinggal dan berkarir di kota ini. Tinggallah di rumah ini karena ini nantinya akan menjadi milik kalian juga.
Ke empat, Jangan pernah berbohong atau Menyakiti fisik dan hati anak Saya. Dan yang keempat ini persyaratan yang terpenting dari syarat-syarat sebelumnya” ucap Ayah dengan tegas
“baik pak. Kami janji akan kami penuhi semua syarat itu.” Jawab Edi tanpa berpikir panjang.
Aku melihat kearah Edi. Aku merasa Edi tidak sungguh-sungguh dengan perkataannya dan sejujurnya Aku tidak yakin lelaki itu juga akan memenuhi janjinya pada kedua orang tua Ku saat itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 20 Episodes
Comments
Anonymous
nice story. but need to correct several typing
2023-07-07
0