Memasuki usia pernikahan yang ke empat -seharusnya sebagai pasangan kami merayakan hari pernikahan dengan bahagia- tapi bagi Aku dan Edi tak bedanya dengan hari-hari biasa yang kami lalui. Tahun ke tahun pernikahan kami selalu diwarnai dengan pertengkaran. Aku dan Edi bertahan dalam ikatan perkawinan ini bukan
karena saling mencintai tapi ada rasa malu dan takut pada orang tuaku yang membuat aku menahan diri untuk berpisah.
Selama menikah dengan Edi kami menetap dari satu rumah kontrakan ke rumah kontrakan lain dengan bermodal
menjual simpanan emasku yang dulu sengaja kusimpan sebagai tabungan. Terkadang bila sudah waktunya perpanjangan kontrak rumah Aku sengaja menggadaikan perhiasan itu sebagai jaminan untuk mendapatkan biaya kontrak rumah. Edi tak tergerak sedikitpun untuk memikirkan untuk membantu biaya kontrak apalagi untuk membeli sebuah rumah.
Mungkin orang lain akan berpikir secara finansial dengan penghasilan kami berdua sebagai pegawai negeri lebih dari cukup untuk membiayai kebutuhan rumah tangga kami apalagi hanya sekedar membeli sebuah hunian sederhana. Tapi kenyataannya memang kami tak mampu untuk hal itu. Penghasilan Edi sama sekali tak kuketahui
berapa besaran dan penggunaannya- sedangkan untuk kebutuhan kami sehari-hari bersumber dari penghasilanku.
Qadarullah, beberapa tahun perjalanan kami yang setiap tahun berpindah dari satu rumah kontrakan ke rumah kontrakan lain akhirnya Allah berikan jalan rejeki yang tidak pernah kusangka. Seorang lelaki tua yang tanpa sengaja ku bantu beberapa bulan lalu saat hampir terjatuh dari eskalator terminal keberangkatan di Bandara Halim Perdana Kusuma menawarkanku side-job sebagai manager operasional di perusahaannya dengan gaji awal empat kali besaran gajiku sebagai seorang pegawai negeri. Saat itu waktu kerjaku sama dengan waktu bekerja biasanya namun hari sabtu dan minggu Aku mempunyai kewajiban untuk menyampaikan laporan langsung kepada pimpinan perusahaan.
Malam itu, Aku menerima beberapa panggilan tidak terjawab yang terekam di handphone milikku. sebuah nomor tidak dikenal dengan wilayah area jakarta. Ah, siapa ini sama sekali Aku tidak memiliki kenalan atau kerabat dengan nomor asing ini-batinku. Namun,ketika aku akan meletakkan handphoneku- nomor itu sekali lagi membuat panggilan.Rasa penasaranku membuatku menjawab panggilan asing itu,
"Ya, halo selamat malam." sapaku berusaha ramah
"selamat malam Ibu. Ini saya berbicara dengan Ibu Diana?' sapaa dari suara diseberang sana
"Ya betul Saya sendiri."
"Oh baiklah." sejenak suara wanita tadi terjeda."Perkenalkan dulu ibu- Saya Vera - sekertaris pribadi Bapak Winata dari Perusahaan Sejahtera Sentosa." lanjutnya memperkenalkan diri
"Ya, Ibu. Ada yang bisa Saya bantu,"
"Begini ibu Diana, Saya diminta untuk menghubungi Ibu dan menanyakan apakah Ibu bersedia memenuhi undangan perusahaan bersama beberapa komisaris hari Senin mendatang?
"Undangan?Komisaris? tanyaku sedikit bingung. "maksudnya gimana ya?"
"Maaf Ibu Saya belum bisa menjelaskan lebih jauh. Tapi bila Ibu bersedia hadir-akan kami siapkan akomodasi dan pengganti transportasi Ibu."
"Tapi undangan untuk apa? setidaknya Saya punya gambaran.? tanyaku tambah penasaran. Tak mungkin rasanya
Aku yang bukan orang di dalam perusahaan dan sama sekali belum mengenal seluk beluk perusahaan tiba-tiba harus memenuhi undangan rapat bersama para komisaris perusahaan.
"Begini Ibu. Pimpinan menawarkan Ibu untuk bergabung di perusahaan Kami. untuk lebih jelasnya Bapak Pimpinan
langsung yang akan menjelaskan kepada Ibu saat peretemuan nanti." lanjut Vera
"Saya bicarakan dulu dengan suami Saya ya Bu Vera." jawabku sopan
"Baik Ibu. Kami tunggu informasi dari Ibu secepatnya ya Bu. Selamat malam Bu Diana" lanjut suara wanita itu mengakhiri percakapan di telpon.
Malam hari saat kulihat suamiku sedang bersantai dengan memainkan gitarnya di teras rumah kami. Aku memberanikan diri untuk menyapa dan meminta waktu luangnya.
" Bisa Aku bertukar pikiran sebentar, Kak?" ujarku
Edi menghentikan permainan gitarnya- lalu matanya melirik ke arahku dengan seikit rasa tak senang.
"Ya. mau ngomong apa Kau?
Aku tidak segera menjawab. Kuambil kursi bambu yang sudah mulai goyah yang ada disamping Edi duduk-dengan tenang Aku duduk dan mengambil posisi berhadapan dengan Edi.
"Aku tahu dan sangat sadar akhir-akhir ini kita sangat membutuhkan uang yang banyak. Pertama untuk membiayai kuliah adik-adikmu dan juga dirimu. Kedua kita tidak selamanya terus tinggal dari satu rumah kontrakan ke kontrakan lain." ujarku membuka pembicaraan.
"Lalu - Maumu apa dan bagaimana?
"Aku ingin mencari pekerjaan sampingan bila Kakak ijinkan." ujarku dengan penuh keyakinan.
Edi memajukan posisi duduknya mendekat kearahku setelah mendengarkan ucapanku tadi. "Hah? Apa Aku tidak
salah dengar? ujarnya dengan sedikit tersenyum mengejek.
"Ya. Aku mendapatkan tawaran pekerjaan lain yang penghasilannya lebih baik."lanjutku.
Seketika tawa Edi pecah seakan tak percaya dan mengejek semua apa yang dia dengarkan dariku tadi.
"Siapa orang bodoh yang menawarimu pekerjaan. hei, jangan terlalu banyak bermimpi kau." ujarnya seraya mengarahkan jari telunjuknya ke arahku.
"Aku tidak bercanda. Hari Senin ini Aku ditunggu kedatangannya di rapat komisaris perusahaan Sejahtera Sentosa
di Jakarta. Mereka ingin aku bergabung dengan perusahaan mereka." lanjutku lagi seraya menunjukkan bukti percakapan aku dengan Ibu Vera dari pihak perusahaan.
Edi membaca semua percakapanku dengan Vera dari awal sampai akhir. terlihat ekspresi wajahnya yang tadinya tak percaya berubah cerah dengan senyum yang mengembang tipis.
"Ini beneran? ujarnya masih tetap belum percaya.
"Ya. bener." jawabku." Kakak masih ingat Aku pernah cerita Aku tanpa sengaja menolong orang tua di bandara yang saat itu hampir jatuh dari eskalator? tanyaku kembali
"Ya.trus?
"Orang tua itu pemilik perusahaan besar di jakarta. Dan beliau yang menawarkan Aku pekerjaan di perusahaannya."
"Kalau kau bekerja disana bagaimana dengan status pegawaimu? tanyanya mulai sedikit tertarik dengan
kelanjutan rencana ini.
"Aku diijnkan untuk bekerja dari sini. Tapi setiap waktu libur atau sabtu-minggu. aku harus ikut dengan bos meninjau lokasi perusahaan beliau. Ya, teknisnya sih aku belum tahu detil apa aja pekerjaanku sebenarnya. Mereka baru akan membahas ini senin nanti." lanjutku lagi.
"Ok baikah. Aku setuju saja. Asal banyak uang yang kau hasilkan nanti." ujarnya dengan santai. Edi beranjak dari duduknya- meletakkan gitar yang sedari tadi ada dipangkuannya ke kursi yang ia duduki. Lalu lelaki itu berjalan santai melewati Aku yang masih duduk dihadapannya.
Ada rasa sedih melihat tanggapan Edi seperti itu- tapi selain Aku ingin mendapatkan penghasilan lebih- Aku juga
ingin menyibukkan diri dengan pekerjaan -pekerjaan apa saja asalkan aku tidak memikirkan semua permasalahan dalam rumah tanggaku dengan Edi.
Hari Senin Pagi, Aku dan Edi yang sudah terlebih dahulu menginformasikan ke kantor masing-masing untuk tidak dapat menjalankan tugas kantor seperti biasanya pada hari senin ini memutuskan untuk pergi ke Jakarta lebih awal. Edi dengan semangatnya membersihkan sepatu kulit yang entah sudah berapa tahun lamanya ia kenakan
untuk dipakai ke pertemuan Kami di Jakarta. Sedangkan Aku sudah sejak semalam menyiapkan pakaian yang akan kami kenakan pagi ini.
"Kak- Jangan terlambat kita perginya. Karena kita ditunggu sebelum Makan Siang disana." ujarku mengingatkan Edi.
"Tenang aja sih. cerewet amat. Aku sudah siap." ujarnya sedikit terburu mengenakan sepatu dan kemudian
merapikan kemejanya.
Edi lalu menghidupkan mesin mobil Jeep kami. Suaranya yang berisik memekakkan telinga sebenarnya manambah
kekuatiranku untuk menempuh perjalanan jauh dari Kota Bandung ke Kota jakarta. Apalagi mobil ini sangat jarang sekali disentuh oleh perawatan mesin mengingat kondisi keuangan kami yang cukup untuk kebutuhan primer kami saja.
"Ayo cepat naik." ujar Edi memintaku untuk segera menaiki mobil.
Aku menuruti permintaan Edi dan mengambil posisi duduk di samping kursi kemudi.
Edi menjalankan mobil dengan kecepatan tinggi. Semakin dia menginjak gas suara mesin mobil semakin terdengar
memecahkan telinga dari knalpot. Entah- apakah orang disekitar jalan yang kami lalui juga merasa terganggu dengan suara itu. tapi Edi seakan tak perduli.
Keringat mulai bercucuran membasahi baju yang kami kenakan. Mesin pendingin mobil sama sekali tak berfungsi sejak kami membeli dari pemilik sebelumnya. Sesekali tanganku mengusap wajahku yang berkeringat dengan tisu. Sesekali pula Aku juga mengusapkan tisu ke wajah Edi yang dipenuhi peluh agar pandangannya tak terganggu saat menyetir.
Alhamdulilah-kekhawatiran kami akan lalu lintas Kota yang macet dan padat saat itu tak terjadi. Jalan cukup
lengang untuk kami lalui hingga Kami bisa sampai di tempat tujuan Kami lebih cepat dari perkiraan.
Aku dan Edi bergegas menuju lobi hotel disana sudah menunggu Ibu vera dibantu dengan petugas hotel untuk
menyambut kedatanganku.
" Ibu Diana? ujarnya bertanya dengan sopan kepadaku setelah sejenak Ia mengamati sosokku yang tergesa
menghampiri resepsionoist.
"Ya. Saya sendiri? jawabku kemudian. " Dengan Ibu Vera? Aku balik bertanya
"Ya Ibu. Mari Ibu silahkan ikut Saya ke ruang pertemuan."ujarnya lagi. kemudian Vera melirik ke arah Edi yang berdiri di sampingku."Suami Ibu Diana? tanyanya pada Edi.
"Ya Bu. Ini perkenalkan suami saya Edi Siswanto." ujarku memperkenalkannya.
"Maaf, Apa Bapak juga berkenan ikut dalam pertemuan? tanya Vera lagi.
Edi tertegun. Matanya tak berkedip melihat penampilan Vera yang menarik dengan make up yang tebal berbalut pakaian yang cukup ketat sehingga lekuk tubuhnya terlihat sempurna.
"Eh, Anu. Saya biar menunggu di lobi saja." ujar Edi sedikit terbata.
"Oh begitu.Baiklah, Bila bapak ingin menunggu di restoran hotel juga tidak apa. nanti Bill nya bisa di klaim
ke perusahan kami." lanjut Vera lagi.
Edi tersenyum sumringah. Ia hanya menjawab penawaran itu dengan anggukan.
Tak perlu memakan waktu yang lama- Aku dan Vera sudah berada di dalam ruangan yang sangat besar dengan meja besar ditengah ruangan dan kulihat lelaki tua yang pernah kubantu itu duduk di ujung meja membelakangi jendela yang sangat besar.
"Selamat datang, Diana." ujar lelaki tua itu menyambutku tanpa beranjak dari duduknya.
"Oh, Selamat Siang Pak beni" ujarku sambil berjalan menghampirinya dan menyodorkan tanganku untuk
bersalaman.
Lelaki tua itu menyambut hangat uluran salam tanganku. Wajahnya terlihat lebih cerrah dari pertama kali Aku
melihatnya di bandara waktu itu. saat itu lelaki tua itu terlihat begitu pucat dan lelah.
Tak lama satu persatu anggota komisaris perusahan masuk ke ruangan itu. Pak beni memintaku untuk duduk
didekatnya berdampingan dengan vera yang ada di sisi kanannya.
"Baiklah, semua anggota sudah berkumpul di ruangan ini." ujarnya membuka percakapan dalam pertemuan itu.
"sebelumnya Saya ingin memperkenalkan wanita muda yang duduk di sebelah saya ini." Pak Beni lalu menunjuk ke arahku sambil tersenyum ke arahku. Aku membalas senyuman itu- dengan berusaha untuk lebih sopan Aku
berdiri dari dudukku untuk memperkenalkan diri kepada anggota yang lain.
"Nama beliau Ini Diana Rahma. Diana ini bekerja di pemerintahan sebagai Pegawai Negeri. Dia juga yang membantu Saya sewaktu Saya hampir jatuh di bandara tempo hari." lanjut pak Beni.
Terlihat anggota yang lain menganggukkan kepalanya.
"Saya ingin Diana bergabung dengan kita. Tugas dia nanti mendampingi Saya ke lapangan." lanjut Pak beni
memberi penjelasan
Aku tertegun mendengar penjelasan Pak Beni. Loh, bagaimana dengan pekerjaanku bila Aku harus mendampingi Pak Beni bekerja, batinku.
"Ohya, Berhubung Diana ini bekerja sebagai pegawai negeri. jadi Dia hanya mendampingi Saya bekerja di waktu liburnya saja." ujar pak Beni seakan menjawab kegundahan hatiku. "Nanti apa-apa yang harus dilakukan bisa dijelaskan sama Vera ya."
"Baik Pak. Tapi bila diijinkan- Bolehkah Saya untuk memberikan tanggapan atas tawaran baik dari Bapak." ujarku sedikit ragu.
Pak Beni mengernyitkan dahinya- "Apa Diana berkeberatan dengan tawaran Saya?
"Bukan. Bukan begitu Pak. Tapi Saya minim pengalaman bekerja di Perusahaan apalagi sebuah perusahaan besar
seperti milik bapak ini."ujarku menanggapi.
"Saya yakin Diana bisa melakukan pekerjaan ini dengan baik."
Pembahasan soal bergabungnya Aku ke dalam perusahaan akhirnya diputuskan. Aku pun menerima dengan senang hati tawaran pekerjaan itu- apalagi penghasilan yang ditawarkan sangat menggiurkan. Selanjutnya Pak beni mengijinkan Aku untuk meninggalkan ruangan itu- karena para komisaris akan menyampaikan laporan perkembangan perusahaan padanya yang bersifat rahasia.
Vera mengarahkanku ke luar ruangan dan mengantarkanku sampai ke restoran hotel yang terletak dilantai satu dimana Edi sudah menungguku.
"Baiklah Bu Diana. Nanti Akan kami informasikan soal kontrak kerja yang akan Ibu tandatangai dan jadwal kerja
Pak Beni untuk Ibu pelajari
"Baik Bu Vera. Saya tunggu informasi lebih lanjut. Terima Kasih atas bantuannya." ujarku lagi
Vera membalas dengan senyumannya lalu wanita muda itu meninggalkan Aku di depan restoran untuk melanjutkan
pekerjaannya.
Aku berjalan memasuki ruangan restoran dan kulihat Edi masih asyik dengan makanan yang berjejer penuh di
mejanya.
Entah apa saja yang dia pesan- tapi Aku tak ingin berkomentar banyak.
"bagaimana pertemuannya? tanyanya sambil mulutnya masih mengunyah makanan.
"Alhamdulilah lancar. Aku akan memulai pekerjaanku Minggu depan." jawabku.
"Oh secepat itu? Bagaimana dengan gajinya?
"Seperti yang sudah disampaikan sebelumnya."
Edi mengangguk senang. Dengan sigap dia menghabiskan makanan yang ada dihdapannya tanpa menawarkan sedikitpun padaku. Aku yang melihat Edi makan dengan lahapnya rasanya sudah cukup kenyang. Apalagi rasa senang mendapatkan kesempatan bekerja bersama Pak Beni akan memberi harapan peningkatan ekonomi keluarga ku dan Edi kedepannya.
Sejak pertemuan di hotel itu- tentu saja sifat Edi banyak berubah padaku. Edi jauh lebih perhatian padaku- apalagi
sejak Aku memulai pekerjaanku- pundi-pundi keuangan kami semakin meningkat. Kami pun akhirnya memutuskan untuk mengganti mobil jeep tua kami dengan sebuah mobil yang jauh lebih baik walaupun tetap pilihan kami adalah membeli mobil bekas yang sesuai dengan kemampuan keuangan.
Tak terasa hampir setahun Aku bekerja di perusahaan Pak Beni. Bulan lalu Aku sengaja mengajukan cuti tahunanku dari kantor karena Pak Beni memintaku untuk mendampinginya ke perusahaan cabangnya di Singapore dan Hongkong selama satu minggu penuh. Aku mulai menikmati pekerjaanku apalagi pekerjaan ini lebih sering melakukan perjalanan ke kantor-kantor cabang Pak Beni yang ada di beberapa kota besar di Indonesia bahkan mancanegara.
Suatu hari- entah apa yang ada di pikiran Pak Beni saat itu lelaki paruh baya itu secara terus terang menyatakan
pandangannya terhadap Edi suamiku.
"Diana, boleh Saya berbicara hal yang sifatnya privacy dengan kamu?
"Oh ya. Bisa Pak."ujarku dengan hormat.
Lelaki itu mengelus dagunya sesekali tangannya mengetuk-etuk meja seakan ada keraguan di dalam dirinya untuk
melanjutkan ucapannya. Kemudian lelaki itu bergumam sesekali.
"Sebenarnya hal ini sudah lama ingin Saya utarakan padamu. Tapi Saya lihat kamu sangat tertekan dalam
pernikahanmu ini- maka itu Saya harus berbicara masalah ini."
Aku semakin dibuat penasaran oleh kata-kata Pak beni itu. Kenapa Pak beni ingin membahas soal pernikahanku dan bagaimana dia tahu kalau Aku memang merasa tertekan dalam pernikahan kami.
" Saya tidak suka melihat suami kamu itu Diana. Banyak hal yang dia tutupi dari Kamu. Kenapa kamu tidak
berpisah darinya. semakin lama Kamu dengan Dia semakin jauh kamu dari Bahagia."
"Maaf Pak. Kenapa Pak Beni bisa berpendapat begitu? tanyaku penasaran. walaupun sebenarnya Aku tidak menolak pernyatan Pak Beni itu.
"Diana, Kamu sudah saya anggap seperti anak Saya. Saya menjalani pernikahan dengan istri Saya sudah puluhan
Tahun. Dalam kepercayaan Saya ada namanya Feng Sui dan Saya melihat hal negatif yang terpancar dari wajah suamimu itu." ujar Pak beni menjelaskan.
Walaupun berkali-kali Aku menolak kebenaran yang diungkapkan Pak Beni. tetap saja semua ucapan yang dia sampaikan itu menjadi beban pikiranku. Apakah Aku harus bertahan dalam pernikahan ini?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 20 Episodes
Comments