Tubuh Zevanna merosot ke lantai begitu dua orang yang tadi dilihatnya sudah menghilang di balik pintu kamar hotel. Air matanya telah luruh, hatinya jangan ditanya lagi. Pedih bukan main.
Perlu diketahui, alasan Zevanna kemarin malam mabuk-mabukan di pesta Astrid sejatinya hanyalah cara untuk mendistraksi rasa sakit hati di mana hari itu—seharusnya—dia merayakan satu tahun dirinya bersama Jayden. Namun, nyatanya tidak cukup sampai di situ. Sekarang Zevanna benar-benar dibuat hancur berkeping-keping melihat lelaki itu bersama ibunya.
"Kenapa harus nyokap gue, Jay?" lirih gadis itu tak mengerti.
Usai mengumpulkan sisa tenaga yang ada dan tangisnya sudah mulai mereda, Zevanna bangkit berdiri menuju kamar hotelnya. Cepat-cepat ia mengemas semua barang-barangnya dan pergi meninggalkan hotel tersebut.
Ditengah ia mengendarai mobilnya menuju apartemen Astrid, Zevanna hampir saja bertabrakan dengan sebuah mobil karena pandangannya yang buram akibat air mata yang lagi-lagi menggenang.
Napas gadis itu menderu. Debaran jantungnya semakin bertambah kencang. "****!" Ia mengumpat. Hanya karena satu orang laki-laki yang meninggalkannya tanpa alasan yang jelas hidup Zevanna jadi berantakan.
"Nggak! Gue nggak boleh kayak gini terus! Kalo Jayden bisa bahagia sama orang lain, gue juga pasti bisa!" Ia menanamkan tekad di dalam dirinya. Setelahnya, Zevanna kembali melajukan mobil.
Bunyi bip terdengar setelah Zevanna menekan pass code apartemen Astrid. Namun, sebelum ia melangkah terlalu jauh dilihatnya sahabatnya itu sedang berduaan dengan sang pacar.
Ah, Zevanna lupa kalau selama seminggu ini Astrid akan menghabiskan waktunya bersama Leon. Berbalik badan, ia meninggalkan satu-satunya tempat ternyaman setelah rumahnya tanpa sepatah kata pun.
Kepala Zevanna terasa pening mengingat hingga hari berganti dia belum juga menemukan tempat untuknya bermalam. Zevanna tidak akan pulang ke rumah untuk beberapa hari ini. Karena jujur, dia masih bingung bagaimana menghadapi ibunya. Reaksi apa yang harus ia berikan seandainya ibunya mengenalkan Jayden sebagai seorang pacar kepadanya?
Melihat sebuah minimarket yang buka 24 jam, Zevanna pun membelokkan mobilnya ke sana. Usai membeli sebotol kopi ia mendudukkan tubuhnya di kursi depan minimarket itu seraya membuka ponselnya. Melihat tidak ada notifikasi apa pun, Zevanna lantas beralih membuka sosial media untuk melihat berapa jumlah like yang ia dapat dari postingan terakhirnya.
Senyumannya merekah melihat jumlah angka yang tertera. Selanjutnya, Zevanna menggulir layar ponsel sambil melihat-lihat postingan orang-orang terdekatnya, hingga akhirnya sebuah iklan perumahan pun muncul. Jemarinya sontak terhenti. Itu adalah perumahan tempat di mana ayahnya sekarang tinggal bersama istri barunya.
"Harus banget, nih, gue ke sana?" Dahinya mengerut. Mengingat tidak ada pilihan lain Zevanna akhirnya memutuskan beranjak untuk menuju sebuah rumah yang baru ia kunjungi sekali.
Pintu utama sudah terbuka lebih dulu sebelum Zevanna sempat menekan bel. Ekspresi heran dapat gadis itu tangkap dari raut wajah ayahnya. Yeah, memang orang tua mana yang tidak heran melihat putrinya datang tengah malam begini dengan wajah sembab.
"Tumben banget Papa belum tidur," ujar Zevanna begitu memasuki rumah dua lantai tersebut.
"Mama kamu—"
"Pa!" Zevanna menyela.
Sungguh dia tidak nyaman kalau harus memanggil istri baru ayahnya yang usianya hanya terpaut lima tahun lebih tua darinya dengan sebutan mama. Lily jauh lebih pantas menjadi seorang kakak atau teman hang out dibandingkan menjadi ibu sambungnya.
"Istri Papa ngidam sate." Adrian mengalah, daripada nanti Zevanna tidak nyaman dengannya dan menjauh. "Kamu mau sate juga?"
Zevanna mengangguk. "Boleh."
"Kalau gitu ayo masuk." Adrian mengabaikan sejenak tentang apa penyebab putrinya datang malam-malam dengan raut sendu.
Zevanna berjalan di samping ayahnya menuju ruang makan. Tampak Lily masih bersemangat memakan daging berlumur bumbu kacang itu. Senyum wanita itu mengembang mendapati anak dari suaminya datang. "Zevanna," panggilnya kelewat senang
"Mungkin untuk beberapa hari ini aku bakalan nginep di sini. Nggak apa-apa, kan?" ucap Zevanna pada dua orang di depannya.
"Ya, nggak apa-apa, dong. Ini 'kan rumah kamu juga. Jadi, malah seneng ada temennya." Lily menatap suaminya bahagia. "Mau makan sate, Ze?" Ia menawari.
"Iya, mau."
Dengan cekatan Lily memindahkan beberapa tusuk sate ke piring yang masih bersih lengkap dengan lontongnya, lalu memberikannya pada Zevanna.
"Makasih, eumm ... maaf mungkin aku nggak bisa panggil 'mama'. Rasanya aneh." Zevanna berucap jujur, daripada nanti ayahnya terus memaksanya.
"Aku ngerti. Panggil senyamannya aja dulu." Lily sama sekali tak keberatan.
Dari pertama kali ayahnya mengenalkan Lily padanya, Zevanna bisa merasakan kalau perempuan itu memang sangat baik dan tulus. Bukan semacam pelakor yang menikahi om-om demi harta. Karena sampai sekarang-dalam keadaan hamil pun-Lily masih tetap mengurusi online shop-nya sendirian, meski Adrian sudah menyuruhnya untuk mempekerjakan orang.
"Tapi, kalau bisa kamu sedikit-sedikit mesti belajar buat panggil 'mama', Ze. Biar nanti kalau adik kamu lahir, dia jadi tidak bingung." Adrian menasihati.
Zevanna hanya meringis. Tidak menyangka akan memiliki seorang adik di usianya yang sudah menginjak 24 tahun.
"Udah, Mas, jangan terlalu maksa gitu. Nanti malah Zevanna jadi uring-uringan," ucap Lily menengahi.
Adrian menghela napas kasar. "Iya, kamu udahan makannya?"
Lily mengangguk. "Aku ke kamar dulu, ya, Ze. Mas, kamu temenin Zevanna dulu nggak apa-apa, kok."
"Eh, nggak usah," tolak Zevanna cepat. "Papa temenin Kak Lily aja. Aku juga abis makan langsung tidur."
"Hmm ... jadi, Papa harus nurutin kata-katanya siapa, nih?" Mau tidak mau Adrian jadi terkekeh.
"Ke kamar aja, please. Lagian aku ke sini juga karena bosen."
"Ooh, Papanya cuma buat pelarian kalau lagi bosen?" Adrian pura-pura merajuk.
"Pa, udah, deh, sana. Nggak usah pake drama segala. Kasian, tuh, Kak Lily nungguin." Zevanna merengut. Yang mana membuat Adrian dan Lily tertawa.
"Ya, udah. Tapi kamu harus inget, ya, Ze. Jangan sungkan-sungkan cerita ke Papa kalau kamu ada masalah. Papa pasti bantu." Adrian berucap serius sebelum naik ke lantai dua bersama istrinya.
Tinggallah kini Zevanna dan sepiring sate yang belum sempat disentuh. Dipandanginya makanan itu diiringi embusan pelan serta bibir yang mengukir senyum miris.
"Sate ...." Zevanna terkekeh sekaligus ingin marah pada dirinya sendiri. Lagi-lagi hal yang mengingatkannya pada laki-laki yang begitu enggan ia sebut namanya.
Dulu, saat masih kursus make up, Jayden sering sekali membelikan Zevanna sate jika dirinya lapar malam-malam. Karena hanya makanan itu yang mudah didapat dan rasanya enak serta letaknya tidak terlalu jauh dari apartemen Zevanna.
Diambilnya setusuk sate, lalu ia gigit dengan malas-malasan. Belum juga daging itu tertelan, ponsel di tas Zevanna berdering. Gadis itu mendengkus kesal sebelum akhirnya mencari benda pipih miliknya.
Omelan Priscilla langsung memenuhi indra pendengaran begitu ia mengangkat panggilan perempuan itu. "Lo di mana? Tahu-tahu ngilang gitu aja. Dicari ke mana-mana juga nggak ada."
"Gue dah balik."
"Hah? Serius?"
"Hmm ... tadi ada bocah nggak sengaja numpahin minuman ke baju. Jadinya, pulang, deh. Udah, ya, Kak. Ngantuk, nih. Bye." Zevanna memutuskan sambungan sebelum Priscilla sempat menjawab.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments
gia anggi🌷
tunggu.....
yg ze.liat kan jay sm mama cuman berangkulan ya?
bukan mesra2an yg laen kan
hmmmm, ze jd salah sangka yaa
pdhl niat jay cuman nolong kan
manjang nih bakalan
2023-03-19
0
Sunny
sabar ...kamu salah sangka coba nanya aku kan ga suudzon jadinya 🤭
2023-03-16
0
Hearty 💕
Jadi oenasaran alasan Adrian tinggalkan Melisa?
2023-03-16
0