Tak ada lagi bunyi spatula bergesekan dengan wajan, asap yang mengepul, dan aroma lezat yang membuat orang sontak menelan ludah kala menciumnya. Halcyon benar-benar sudah berakhir saat Jayden memutuskan untuk melepas lampu neon bertuliskan nama restoran milik keluarganya. Menyisakan kenangan yang begitu menyesakkan dada. Dia yang kini duduk di salah satu kursi dan ditemani keremangan cahaya lampu memandang sendu sekeliling. Dulu di jam-jam seperti ini, tempat ini sedang ramai-ramainya. Namun sekarang, ia bahkan bisa mendengar detak jarum jam yang terpasang di dinding.
Semua karena pandemi COVID-19. Jayden membencinya. Gara-gara virus corona pula dia harus kehilangan ibunya dan tidak lama setelah itu ayahnya pergi entah ke mana. Jayden tahu pria itu terpukul setelah kehilangan istri tercintanya. Namun, tidakkah pria itu berpikir bahwa masih ada anak-anaknya yang membutuhkan dia?
Jayden terhenyak dari lamunan tatkala iPhone-nya berbunyi. Sebuah pesan dari Joanne, adiknya, terpampang di layar.
[Ko, uang semesteran udah ada?]
Tanpa pikir panjang lelaki bermata sipit itu mengetikkan balasan. Jayden sudah menjual mobil ayahnya. Hanya itu satu-satunya cara agar adiknya tidak perlu mengajukan cuti kuliah sehingga nanti bisa lulus tepat waktu. Lagi pula, mobil itu sudah waktunya membayar pajak. Jadi, daripada menambah pengeluaran, lebih baik ia jual saja.
Beranjak dari kursinya, Jayden membuka lemari pendingin yang isinya hanya tersisa air minum. Diambilnya salah satu botol, lalu ia minum beberapa teguk untuk membasahi kerongkongannya yang kering.
Kembali ponsel Jayden berbunyi saat ia baru keluar dari tempat itu. Kali ini bukan sebuah pesan atau panggilan, melainkan sebuah pengingat satu tahun ia menjalin hubungan dengan seorang gadis yang telah ia patahkan hatinya.
"Zevanna ...." Jayden menggumamkan nama itu dalam hati. Seharusnya malam ini dia sedang menghabiskan malam romantis bersama kekasihnya. Namun, kenyataannya lain. Jayden kini hanya bisa tersenyum miris. Merasa pedih setiap kali mengingat malam itu. Malam di mana ia mengakhiri hubungannya dengan Zevanna secara sepihak.
"Aku nggak mau putus, Jay."
Terlihat mata indah itu berkaca-kaca. Jayden ingin sekali merengkuh gadis itu ke dalam pelukannya dan mengatakan bahwa dia juga tidak ingin itu terjadi. Namun, keadaan memaksanya. Hidup laki-laki itu kini telah berbeda. Jayden tidak punya waktu lagi untuk bersenang-senang. Dia harus bekerja keras agar bisa membiayai hidupnya dan juga adiknya.
Di tengah dinginnya udara malam ini, Jayden melajukan motornya. Jalanan yang ramai, sangat berbanding terbalik dengan suasana hatinya yang sepi. Setelah hampir dua puluh menit berkendara, Jayden membelokkan motornya ke sebuah gedung apartemen. Ya, semenjak orang tuanya tidak ada dan adiknya juga kuliah di luar kota, dia memang jarang pulang ke rumah.
Begitu tiba di lantai yang menjadi tujuannya, Jayden masuk setelah menekan pass code. Layaknya apartemen sendiri, ia begitu leluasa di tempat itu.
Jayden baru saja mendaratkan bokongnya di kursi bar dapur ketika mendengar suara orang muntah-muntah. Segera ia menuju sumber suara dan mendapati wajah temannya sudah sangat pucat.
"Kenapa lo?"
Thomas mengibaskan tangannya, meminta Jayden yang berdiri di ambang pintu agar menyingkir. Baru setelah ia duduk bersandar di ranjang, Thomas berkata, "Kebeneran banget lo dateng. Asam lambung gue naik. Lo beliin obat sama makanan, dong. Kalo bisa makanan semacam bubur gitu biar cepet makannya."
"Lo nggak bisa, ya, minta tolongnya nggak pake yang ngerepotin banget?"
"Berisik lo kayak cewek! Gih, pergi. Keburu gue mati, nih."
"Mati aja, si." Jayden tertawa jahat sebelum kemudian berlalu dari kamar Thomas.
Tak butuh waktu lama, lelaki itu sudah kembali dengan membawa dua kantong plastik berisi obat dan juga sate. "Nih, makan!" Ia menaruh kedua bungkusan itu ke depan Thomas yang sudah pindah ke depan TV.
"Bukain, kek. Nggak liat lemes gini?"
Decak kesal keluar dari mulut Jayden. Thomas kalau sudah sakit manjanya memang mengalahkan perempuan. "Kasian banget ntar yang jadi istri lo. Punya suami manja, nggak ada gunanya!"
"Lhah, 'kan adek lo yang bakal jadi bini gue."
"Najis!" ujar Jayden, kemudian pergi mengambil piring. Dia dan Thomas memang dekat karena sudah berteman sejak SMA, dan saat pertama kali Thomas bermain ke rumahnya, laki-laki itu bilang kalau dia jatuh cinta pada pandangan pertama saat melihat Joanne.
Entah serius atau tidak, Jayden tidak terlalu memikirkannya. Walaupun sejauh ini dia juga tidak pernah melihat Thomas dekat dengan perempuan lain, selain adiknya. Dibandingkan dirinya, Thomas pula yang lebih sering mengantar jemput Joanne dari kos ke rumah dan sebaliknya. Mungkin Jayden memang harus berterima kasih pada temannya itu, tapi kalau caranya dengan memberikan restu, Jayden pikir-pikir dulu.
"Lo kalo nggak kuat ngunyah satenya biar gue aja. Lo lontongnya."
"Nggak ada gizinya, dong! Lagian lo pikir gue kakek-kakek sampe makan sate aja nggak kuat." Thomas bersungut-sungut. Ia ambil separuh porsi sate itu, sementara sisanya ia biarkan di meja dengan maksud agar Jayden yang menghabiskannya.
Jayden malas menanggapi lagi. Selagi menunggu Thomas selesai makan, dia meraih stick PlayStation yang berada tidak jauh darinya.
Berkali-kali Jayden kalah karena konsentrasinya memang tidak ada pada layar di depannya. Pikiran lelaki itu melanglang buana, mencari solusi kira-kira pekerjaan apa yang bisa dilakukan agar finansialnya sedikit lebih baik setelah berbulan-bulan hanya mengandalkan uang tabungan ditambah sekarang uang hasil menjual mobil.
"Lo kenapa lagi, Jay?" tanya Thomas setelah menghabiskan sate yang rasanya tidak karu-karuan karena lidahnya yang pahit. "Masalah uang semesteran Joanne? Sebagai calon suami yang baik, gue mau, kok, bayarin."
Jayden kontan melirikkan ekor matanya. "Udah gue bayar, kok."
"Bener?"
"Hmm ... gue jual mobil bokap."
"WHAT?!" Saking terkejutnya Thomas sampai bangkit berdiri.
Jayden menatap curiga melihat tingkah Thomas yang kelewat aktif. "Lo beneran sakit nggak, sih?"
"Iyalah!" Thomas tak terima. Senakal-nakalnya Thomas, dia tidak pernah beralasan sakit entah saat sekolah atau kegiatan lainnya. Takut kualat. "By the way, Jay. Gue 'kan sakit. Lo mau nggak gantiin gue jadi fotografer di nikahannya orang?"
Ya, salah satu hal yang membuat Jayden sangat akrab dengan Thomas adalah karena mereka memiliki hobi yang sama. Bedanya, sampai sekarang Jayden masih terus menjadikan fotografi sebagai hobi, sedangkan Thomas menjadikannya sumber penghasilan.
"Emang boleh main gantiin gitu aja?"
"Bolehlah, daripada gue maksa berangkat terus hasilnya malah jelek 'kan berabe."
"Kapan emangnya?"
"Besok malem di ballroom Hotel Diamond. Nanti gue hubungin Indra buat konfirmasi kalo lo mau."
"Oke, deh."
"Good." Thomas mengangguk, lalu meminum obatnya. "Gue tidur dulu, yah. Itu sate lo abisin aja nggak apa-apa."
"Emang mau gue makan. Kan gue yang beli, kampret!" Jayden melempar stick PlayStation Thomas, kemudian menyambar sate di piring dan memakannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments
Sunny
lanjut lanjut lanjut lanjut 🤭🤭🏃♀️🏃♀️🏃♀️🏃♀️
2023-03-14
1
gia anggi🌷
dear author...
cerita nya menarik nih, syukaaaaak deh
up nya setiap hari donk🙊🤭 biar seru baca nya ga kepotong2🤭
kan nanggung nih...lagi asyiiik2 nya baca eh tbc😁😁
tapi aku syuka.alurnya g monotin, trus mendeskripsikan sesuatu nya pas...tata bahasa nya bagus
ok karya nya thor
sukses yaaaaaaaaaa😍
2023-03-14
1
gia anggi🌷
lah si jay segitu desperate nya sampe emak nya mantab di embat juga🙊😁😁
2023-03-14
1