Haikal mengguncang tubuh Nadira hingga adiknya tersadar dari lamunan.
"Ah, iya! Gimana?" tanya Nadira dengan wajah bimbang.
"Ammar berniat menikahimu, Nad." Haikal mengulangi ucapan Ammar.
"Tapi, Kak ...." Belum sempat melanjutkan ucapannya, Ammar langsung memotong.
"Aku akan menjadikanmu perempuan yang paling beruntung setelah bersamaku, Nad. Aku sedikit tahu tentang masa lalumu dan memahami kekhawatiranmu. Apalagi sikap kakakmu sudah membuktikan bahwa dia takut kamu terluka kembali. Aku seorang muslim. Insya Allah, akan bertanggung jawab sebagai mana tugas seorang suami. Untuk itu, will you marry me?”
Mulut Nadira mendadak terkunci, entah apa yang harus diucapkan. Dia belum mengenal Ammar dengan baik. Hanya tahu bahwa Ammar sering ikut pengajian rutin yang diadakan oleh Unit Kerja Mahasiswa Islam (UKMI) di kampusnya beberapa tahun lalu sebelum Ammar lulus kuliah dan melanjutkan S2 di Kairo. Agenda rutin yang dilakukan seminggu sekali itu, mempertemukan Ammar dengan Nadira. Meskipun tidak pernah mengobrol berdua, tetapi Ammar sesekali memerhatikan Nadira yang kerap kali mengikuti lomba baca puisi Islami.
"Nad! Are you oke?" tanya Ammar. "Tadinya aku ingin mengajak kamu keluar untuk membicarakan ini, tapi kupikir lagi, khawatir akan ada fitnah jika kita jalan berdua saja, itu sebabnya aku langsung membicarakannya pada kakakmu," lanjutnya.
"Mungkin Nadira butuh waktu untuk menjawabnya, karena ini masalah masa depan dia, Mar," ujar Haikal yang memahami perasaan adiknya. "Lebih baik kamu sekarang pulang dulu. Tolong berikan Nadira waktu, ya!" pinta Haikal.
Ammar menyetujui permintaan Haikal. Dia pulang membawa harapan terbaik yang akan menjadi keputusan Nadira, menerima atau menolaknya.
"Baik, Bang. Hari juga sudah semakin sore, saya pamit pulang dan Nadira juga sepertinya butuh istirahat. Assalamualaikum."
Melihat langit senja saat di perjalanan, kerap kali seseorang terbawa perasaan dan merenungi lika-liku perjalanan hidup. Seperti yang dilakukan oleh Ammar, senja sudah menjadi teman cerita dalam perjalanan hidupnya. Ada harapan dan penantian yang dititipkan pada senja hari ini sebelum pergi ke peraduan.
***
Di kamarnya, Nadira terlihat gelisah. Ada banyak hal yang dikhawatirkan. Satu sisi, Nadira mengakui kalau selama mengenal laki-laki keturunan Arab itu, belum pernah melihat sisi negatif yang tampak. Suara Ammar yang merdu saat melantunkan ayat suci alquran, menjadi bahan pertimbangan Nadira untuk menerimanya. Namun, di sisi lain, dia takut patah hati lagi. Jangan sampai kejadian lalu terulang lagi dalam hidupnya.
Tidak lama kemudian, terdengar ketukan pintu dari luar kamarnya. Hati dan pikiran Nadira masih berdiskusi tentang masa depannya, dia sampai mengabaikan orang yang mengetuk pintu. Sampai pintu kamar terbuka, Nadira masih saja mendiskusikan soal lamaran Ammar pada dirinya sendiri.
Hingga akhirnya, suara perempuan mengagetkannya.
"Nadira, sayang!" panggil seseorang.
Nadira masih belum sadar kalau yang memanggilnya itu memang benar-benar mamanya.
"Tuh, kan! Jadi halu gini, mama kan masih di luar kota. Masa ada suara mama di kamar ini." Nadira menepuk jidadnya.
"Nadira enggak kangen sama mama, kah?" Suara itu terdengar kembali, Nadira mengenali suara yang khas itu dan membalikkan badan.
"Mama! Ini benaran Mama?" Nadira bertanya seakan tidak percaya bahwa mamanya yang berminggu-minggu bahkan berbulan selalu sibuk di luar kota bersama papanya. Dia masih berdiri di tempat diskusi dengan pikiran dan hatinya sambil menatap bidadari Surga di hadapannya.
"Kenapa malah diam aja? Mamanya enggak dipeluk, nih?" tanya mama Nadira sambil merentangkan tangannya.
Saat sadar bahwa itu benar mamanya, Nadira langsung lari, menghampiri Fenny (nama mamanya Nadira).
"Mama kenapa enggak telepon aku kalau mau pulang? Kan bisa kami jemput," tanya Nadira sambil memeluk erat tubuh mamanya.
"Kalau mama kasih tahu kalian, bukan surprise, dong! Kan mama datang untuk menyambut calon mantu mama."
Kecupan kasih sayang sang mama mendarat di kening Nadira. Namun, Nadira mendadak melepaskan pelukannya.
"Kak Haikal pasti udah kasih tahu soal Ammar ke Mama, ya?" tanya Nadira. Mulutnya maju, kesal dengan kebawelan kakaknya.
"Iya, Sayang. Emangnya mama enggak boleh tahu, ya? Kan anak mama mau melepas masa lajangnya, masa mama enggak dikasih kabar. Hmm!" Fenny mendekap kedua tangannya dan membalikkan badan. "Ya sudah, mama pergi lagi aja. Sekalian ke luar negeri dan pulangnya beberapa tahun kemudian, deh!" Fenny berpura-pura ngambek dengan anak gadisnya.
"Iih, Mama kok jahat, sih, mau tinggalin aku lagi. Enggak gitu maksudku." Nadira memeluk mamanya dari belakang.
"Mama tahu, saat ini kamu sedang dilema, kan? Mama meskipun jarang pulang, selalu mendapat laporan dari kakakmu," ujar Fenny, membalikkan badannya dan membelai rambut anak perempuan semata wayangnya itu.
"Iya, Ma. Kan mama tahu, aku pernah gagal dalam sebuah hubungan. Tidak ingin gagal lagi, ketika pernikahan sudah di ujung mata." Mata Nadira berbinar, berusaha menyeka air matanya agar tidak tumpah.
Percakapan antara ibu dan anak semakin serius, tetapi Fenny menghentikannya karena dia tahu, kalau diteruskan, luka lama yang sudah di kubur anaknya akan memborok lagi.
"Sekarang kita keluar dulu, temui papamu. Nanti kita bicarakan lagi, ya," saran Fenny dan menenangkan hati Nadira.
"Oh iya, aku sampai lupa menanyakan papa. Maaf, Ma. Papa di mana?" tanya Nadira dengan mimik muka yang membuat mamanya tertawa.
"Ekspresi wajahmu ini seperti badut tahu, enggak. Lucu kalau sudah panik." Fenny tertawa kecil.
"Iih, kok disama-samakan dengan badut sih, Ma! Kan aku bukan badut!" gerutu Nadira.
"Iya! Iya ...! Mama bercanda, kok. Ya sudah, yuk ke bawah, kita temui papamu."
Mereka pun berjalan menuju ke ruang tamu. Dari atas, sudah terlihat sosok dua laki-laki kesayangan Nadira.
"Papa ...!" panggil Nadira.
Kedua laki-laki yang sedang asyik mengobrol pun mendongakkan kepalanya, melihat gadis mungil dengan balutan jilbab dan baju pink, turun dari tangga.
"Pelan-pelan, Sayang, jalannya," ujar Fenny, memperingatkan.
"Iya, Ma. Iya ...!" jawab Nadira. Pandangan Nadira tak henti melihat papanya.
Tiba-tiba, semua panik dan teriak.
"Nadira ...!"
Dengan cekatan, Sultan lari dan menangkap Nadira.
"Kamu enggak apa-apa, Sayang?" Sultan (papanya Nadira) memeluk erat dan mencium-cium Nadira.
Begitu juga dengan Fenny.
"Kan tadi mama sudah ingatkan. Nadira jalannya pelan-pelan saja. Kamu buat jantung mama mau copot, deh!"
"Iya, Ma, Pa, maafin Nadira, ya!" Nadira mengatup kedua tangannya.
"Iya, Ma. Kebiasaan Nadira memang begini. Kerjaan di kantorku sudah banyak, tetapi tiap hari, ada saja yang menambah kerjaanku karena ulah Nadira." Lapor Haikal, memecahkan ketegangan pada malam itu.
"Haikal ...!" Fenny menjewer telinga Haikal.
"Aw! Ampun, Ma. Aku bercanda, kok. Mama mah kaku, seperti kanebo kering."
"Haikal, mau papa tambahin, jewerannya? Sebelah kirinya masih kosong, tuh!"
Nadira tertawa sampai mengeluarkan air mata. Suasana tegang di rumah keluarga Sultan Aji Permata menjadi riuh dengan canda tawa yang diciptakan Haikal.
Di balik senyum dan tawanya, Nadira berkata dalam hati, "Selama ada kalian, aku tidak perlu merasa khawatir. Semoga kebersamaan ini tidak cepat berlalu. Jangan pernah tinggalkan aku lagi, Pa, Ma."
...****...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments