11 Mei 2018
[Pengumuman Kelulusan]
Waktu berlalu, membawa Sasa ke titik peralihan dewasa yang sebenarnya. Menuju ke usia hendak kepala 2.
Waktu ujian berganti dengan pengumuman kelulusan, menandakan bahwa setelah ini ada jalan panjang yang bernama kuliah.
Sasa asik duduk di bawah pohon dengan komik kesukaannya, ia lalu memutar musik favoritnya.
Hembusan angin membuatnya mengabaikan suara toa untuk berkumpul. Hampir seluruh murid telah berada di lapangan, sedangkan Sasa, masih duduk di bawah pohon.
"SEKALI LAGI, SEMUA KELAS 3, A SAMPAI F, KUMPUL DI LAPANGAN UNTUK MENDENGARKAN INFO PENGUMUMAN KELULUSAN!"
Suara itu beberapa kali terdengar, hingga pada saat semua orang sudah berkumpul, gadis manis bernama Sasa itu berjalan gontai di barisan belakang, menembus barisan rapi siswa lain.
"Eh, KAMU!" tunjuk Pak Burhan.
Sasa terus melangkah tanpa mendengarkan panggilan itu.
"KAMU, BERHENTI, YANG JALAN ITU, IYA KAMU!"
Semua mata menyorot Sasa.
Sasa berhenti melangkah dan menatap datar ke arah Pak Burhan.
"KAN SAYA SUDAH SERING BILANG, BERHENTI NGELIATIN SAYA KAYA GITU! Ayo masuk ke barisan!" sorak Pak Burhan dengan mic itu.
Sasa hanya diam, dia lalu kembali ke barisan sesuai kelasnya.
"YASUDAH, KARENA SEMUA SUDAH KUMPUL, KITA MULAI SAJA!"
Semua murid mendengarkan dengan seksama.
"Assalamualaikum, saya ucapkan terima kasih atas usaha dan kerja keras semua siswa siswi SMA 3 Karya Bangsa,"
"Tepuk tangan untuk kita semua,"
[SUARA TEPUKAN TANGAN]
"Terima kasih," ujar Pak Burhan.
"Lanjut, semoga apa yang diharapkan akan jadi hasil yang tertera di kertas ijazah kalian,"
"AMIN..." sahut semua siswa.
Sementar Pak Burhan asik mengoceh di depan, Sasa memilih untuk jongkok di bagian belakang barisan dengan mendengarkan music.
"Untuk mempersingkat waktu, bapak akan bacakan 3 juara dengan nilai yang memuaskan sekali,"
Semua murid kecuali Sasa nampak antusias akan hal ini.
"Juara 3, diberikan kepada Gazella Deora Fraxsanda, dengan nilai rata-rata UN, 92,67."
Semua siswa bertepuk tangan diikuti dengan majunya siswa bernama Gazella itu.
"Iya, silahkan Gazella," ujar beberapa guru sembari memasangkan medali dan memberikan sertifikat.
"Lanjut, kedua, peringkat ini dibawa pulang oleh Arion Zakari, dengan nilai rata-rata 94,56."
Hal yang sama dilakukan guru kepada Arion, pemberian medali dan sertifikat.
Sasa yang tahu bahwa tidak akan ada namanya itu hanya diam di belakang, merasa sangat bosan sekali.
"Dan, tibalah kita di puncak juara hari ini,"
"Dengan nilai terbaik, rata-rata 98,78, nyaris sempurna,"
Mata semua murid nampak terperanga mendengar itu, mereka menerka siapa wajah dibalik kesuksesan ujian itu.
"Dia adalah Abraham Glanelio,"
Semua murid bertepuk tangan melihat ke arah pria itu.
"Untuk sekedar diketahui, Abraham juga selaku pemegang juara umum tahun ini,"
"Beri A+ untuk 3 teman kita, dan untuk kita semua...."
"KITA GIMANA PAK?!!" tanya siswa lain.
"UNTUK YANG LAIN, BISA LIHAT NAMA KALIAN DI MADING DEKAT UKS, SILAHKAN...."
"Sekali lagi, bapak ucapkan selamat..."
Tanpa melihat wajah pemenang itu, Sasa melangkah ke kelas bersamaan dengan murid lain yang berlari menuju mading.
Tidak seperti yang lain, Sasa malah berjalan melewati mading tanpa penasaran bagaimana status kelulusannya.
Ia berjalan ke kelas dan segera keluar dengan membawa tas. Tanpa melihat pengumuman, ia lalu berjalan menuju gerbang.
Baru beberapa langkah, ia dihentikan oleh suara yang familiar.
"SASA...."
Sasa lalu menoleh ke sumber suara itu.
"Bu Renita..."
Renita berjalan ke arah Sasa dan tersenyum lebar.
"Kenapa senyum Bu?" tanya Sasa datar.
Renita lalu kembali tersenyum dan memeluk gadis manis itu.
Sasa yang masih syok, tak membalas pelukan Renita. Ia hanya membiarkan Renita memeluknya.
"Ibu bangga sama kamu," ujar Renita melepas pelukannya.
"Bangga?" tanya Sasa dengan raut bingung.
"Iya, bangga! kamu udah berhasil buktiin sama kepala sekolah bahwa kamu bisa berubah,"
"Maksudnya Bu?" tanya Sasa lagi.
"Sebentar, jangan bilang kamu ga liat mading?!" tanya Renita.
"Nggak." Jawab Sasa datar.
"Ya ampunnnnn, Sasa... kenapa ga liat? itu kan pengumuman penting,"
"Maaf Bu, lulus atau enggaknya saya ga akan pernah ngebalikin Mama ke bumi lagi, semua kebahagian saya akan tetap pudar."
Renita seketika terenyuh mendengar perkataan Sasa. Ia lalu memegang pundak Sasa dan tersenyum.
"Nilai kamu baik, dan berita terbarunya kamu dapat tawaran masuk tanpa tes di Universitas Grellya Budaya ,"
"Kamu ambil ya," ujar Renita sangat bersemangat.
"Maaf Bu, saya belum mau lanjut..."
Sasa lalu melepaskan tangan Renita dari pundaknya.
"Tapi, ini kesempatan baik buat kamu," ujar Renita lagi.
"...Saya belom berminat, Bu." Jawab Sasa.
"Itu semua karena usaha kamu, tiket beasiswa nya berlaku 2 tahun,"
"Jadi, kamu bisa pikirin ini untuk beberapa tahun ke depan..." ujar Renita lagi.
Sasa hanya mengangguk tanpa menyimak betul ucapan Renita. Ia seolah jadi orang yang memang tidak akan berubah keputusan sampai akhir.
"Makasi ya Bu, saya mau pulang dulu." Ujar Sasa swmbari salam.
"Kamu serius gamau liat mading dulu?" tanya Renita.
"Gausah Bu," Sasa lalu melangkah pergi.
"Hati-hati, Sa." Ujar Renita yang dibalas lambaian tangan oleh Sasa.
Renita lalu menarik nafas atas keputusan Sasa. Ia sedikit kecewa dengan apa yang Sasa pilih.
"Anak kamu emang sangat keras Ze," lirihnya sembari menatap punggung Sasa yang semakin menghilang.
"Bundaa!!!" sorak seorang pria di belakang Renita.
"Eh..." ujar Renita yang hendak mengenalkan Sasa dengan putranya itu. Namun, Sasa keburu menghilang dari pandangannya.
"Bunda lagi ngobrol sama siapa?" tanya pria itu.
"Sama anak alm. sahabat bunda..."
"Alm.? dia anak piatu ya Bunda?"
"Yatim piatu..." tambah Renita sembari mengajak putranya pergi.
"Kasian ya Bunda, aku mau jadi temennya..." ujar pria itu.
"Kapan-kapan kita makan malem bertiga ya," ujar Renita yang diiyakan oleh anaknya itu.
"Biar kamu kenal sama dia," tambah Renita lagi.
***
Seperti biasa, Sasa pulang dengan bus dan segera turun untuk berjalan kaki menuju rumahnya.
Ia lalu masuk ke gerbang dan segera membuka pintu. Baru saja masuk, sosok Mbok Ira sudah berada di depannya. Mbok Ira tersenyum lebar seolah menyambut kelulusan Sasa.
"Hai Mysa..." sembari tersenyum lebar.
"Kenapa senyum Mbok?" tanya Sasa spontan.
"Mysa ayo duduk dulu," sembari menggiring Sasa ke meja makan.
Sasa yang heran itu terpaksa harus menuju meja makan. Ia melihat sudah banyak makanan tersaji di sana. Di salah satu makanan, ada tulisan 'Graduation Mysa'
Sasa seketika menatap ke Mbok Ira yang berada di sampingnya.
"Ini, Mbok siapin khusus untuk menyambut kelulusan Mysa..." ujar Mbok Ira.
Sasa masih diam, ia hanya duduk di kursi itu bersamaan dengan Mbok Ira yang menyiapkan piring.
"Mbok juga masakin kesukaan Mysa, sup ceker pedas medium, karena kalau kepedesan lambung Mysa bisa sakit..." jelas Mbok Ira.
Dari sekian banyak makanan, mata Sasa tertuju pada tulisan bahasa inggris itu. Ia merasa lucu dan heran kenapa Mbok Ira bisa menjadi gen Z.
"Makasi Mbok, tapi ini siapa yang buat tulisannya?" tanya Sasa menunjuk nasi bertuliskan 'Graduation Mysa' itu.
"Hehe, tulisan itu anak bapak Diki yang buat Mysa." Ujarnya lagi.
"Hahah," Sasa lalu terkekeh dengan kelakuan Mbok Ira.
"Iya, ini biar Mysa senang." Ujarnya lagi.
Sasa hanya bisa geleng kepala dan berterima kasih atas persiapan ini. Ia kian lama makin senang dengan keberadaan Mbok Ira. Merasa memiliki bude di rumah ini.
"Ayo, makan Mysa," Ujar Mbok Ira menuangkan nasi.
Mbok Ira lalu menuangkan minum dan bermaksud pergi ke dapur.
"Silahkan makan, Mbok ke dapur dulu," ujar Mbok Ira berlalu pergi.
Sasa yang merasa sepi sekali jika harus menghabiskan ini sendiri itu memilih makan bersama Mbok Ira.
"Eh, Mbok!!?" sorak Sasa menghentikan langkah Mbok Ira.
"Iya, kenapa Mysa?" tanya Mbok Ira kembali mendekat ke Sasa.
"Duduk Mbok, kita makan bareng." Ajak Sasa sembari mempersilahkan Mbok Ira untuk duduk.
"Saya ga enak, Mysa makan aja, gapapa." Ujar Mbok Ira.
"Saya bisa kembung dong kalau harus habisin ini semua," celetuk Sasa.
"Duduk Mbok," ujar Sasa lagi.
"Beneran gapapa Mysa?" tanya Mbok Ira lagi.
"Gapapa, makan bareng saya," ujar Sasa memberikan piring.
Mbok Ira lalu duduk dan mengambil piring yang diberikan oleh Sasa.
"Ambil nasinya Mbok," ujar Sasa.
Mbok Ira sedikit sungkan dan segan akan perilaku Sasa. Tapi, ia tetap menemani Sasa makan di meja makan.
"Maaf ya Mysa, ini si Mbok sebenernya sungkan," celetuk Mbok Ira.
"Gausah segan Mbok, santai aja." Ujar Sasa sembari ikut mengambil lauk.
Mbok Ira lalu mengambil beberapa lauk yang ada di meja dan menuang air untuk dirinya.
"Yuk, makan Mbok," ujar Sasa yang sembari menyuap nasi.
"Iya, Mysa." Mbok Ira pun melahap makanan itu.
Mereka berdua pun makan sembari sesekali bercengkrama perihal masa lalu Mbok Ira. Masa lalu yang bahkan sudah lebih dari lima puluh kali Sasa dengar selama Mbok Ira bekerja di sini.
"Gimana Mysa, sekolahnya tadi aman?" tanya Mbok Ira.
"Aman Mbok," jawab Sasa seadanya.
"Mbok jadi inget alm. anak Mbok yang seumuran kamu," jelas Mbok Ira.
"Fani ya Mbok?" tanya Sasa yang sudah hafal jalan ceritanya.
"Iya," ujar Mbok Ira sedih.
"Kehilangan itu pasti dialamin sama semua orang Mbok, siap atau enggak, sekarang atau besok," jelas Sasa.
"Sama kayak saya pas kehilangan Mama, yang jelas semua pasti akan terjadi." Jelas Sasa lagi.
"Iya, sampai sekarang Mbok masih sering ke inget Fani," jelas Mbok Ira.
"Fani pasti ga pengen liat Mbok sedih, ayo tambah lagi makannya..." ujar Sasa sembari menyodorkan nasi.
Mbok Ira nampak tersenyum kembali sembari mengusap beberapa butir air mata di ujung kelopak.
Dalam hati Sasa serasa tersayat saat ia harus mengatakan beberapa kalimat tadi. Kalimat yang menyatakan bahwa setiap orang pasti akan kehilangan.
Kalimat yang memaksa seseorang untuk ikhlas, padahal dirinya sendiri tidak bertemu dengan kalimat itu sejak 2016.
Ia hanya pandai menjadi penasehat untuk orang lain, tapi menjadi orang yang buta huruf untuk dirinya sendiri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 108 Episodes
Comments