Kehilangan terdalam adalah ketika seseorang tertidur panjang tanpa memberitahukan kapan ia akan bangun lagi. Dan inilah yang kini dirasakan oleh Sasa.
^^^21 April 2016^^^
Pemakaman Umum Syra
"Sasa......"
"Bangun Sa...." lirih seseorang sembari menepuk lembut pipi Sasa.
"Saaa....."
“Sasaaa....”
Perlahan, pelan sekali. Mata yang kini sedikit silau itu mulai terbuka melawan cahaya. Berkedip beberapa kali untuk menghilangkan pudarnya.
"Saa, kamu udah sadar? SASA!!?"
Sasa menoleh ke kiri dan kanan. Melihat keramaian dari sudut pintu yang terbuka. Ia mencoba menegakkan badannya.
"Eh, jangan dulu.... nanti kamu pingsan lagi," ujar tetangga yang ada di situ.
Sasa hanya bisa terdiam. Menatap kosong sembari memegangi kepalanya yang sedikit nyeri.
"Ini, diminum dulu," ujar salah seorang menyodorkan air.
Tanpa kata, Sasa hanya bisa menerima air itu dengan bantuan tangan orang lain.
Ia tidak bisa apa-apa kali ini, kecuali diam.
"Maaf, ini jenazah sudah selesai disholatkan, sebentar lagi mau di antar ke pemakaman." Ujar orang itu memberikan informasi.
Bufff!
Air mata Sasa langsung jatuh tanpa aba-aba. Ia merasakan kembali apa yang terjadi sebelum ia pingsan.
Kematian. Satu kata yang tidak ingin didengar orang terdekat tetapi pasti akan terjadi.
Sasa terdiam, hening dalam keramaian. Sebatang kara. Itu adalah satu kata pasti yang dia sandang saat ini.
Beberapa orang lalu mengangkat jenazah ibunya ke keranda. Deina nampak menghampiri Sasa ke dalam kamar karena baru saja siuman.
"Kamu boleh tidak ikut kalau kurang enak badan," jelas Deina, Tante nya Sasa yang baru selesai ikut menyolatkan Ibunya.
“Biar Tante dan tetangga di sini yang anter Mama kamu,” jelasnya lagi.
Tanpa bicara, Sasa hanya berdiri. Mendorong semua tahanan tangan yang memaksanya duduk.
"Sasa?!!" panggil beberapa orang.
Deina hanya bisa terdiam atas itu semua. Ia memaklumi kalau Sasa pasti syok akan semua ini. Terlebih ini bukan hal pertama baginya.
"Sasaa, Saa!!" ujar Deina sembari mengejar Sasa keluar.
Deina lalu membuka scraf yang ia kenakan, ia memberikannya ke Sasa agar dapat menutupi rambutnya.
"Pakai ini." Deina memakaikan sebuah scraf ke Sasa.
Datar. Datar dan Sangat datar. Wajah Sasa seperti kehilangan ekspresinya sendiri.
“Kamu tunggu di sini dulu,” ujar Deina melangkah ke kamar.
Deina lalu mengambil sebuah scraf baru dan memakainya, selain itu ia juga mengambil satu foto berbingkai untuk ditaruh di atas makam kakaknya.
"Kamu yakin mau ikut? Ada banyak wartawan di luar gerbang," tanya Deina.
Sasa hanya diam. Deina lalu menyerahkan sebuah foto berbingkai ke tangan Sasa.
"Pegang, ini nanti kita taruh di makam Mba Zena."
Deina lalu merangkul Sasa dan berjalan mengiringi keranda jenazah. Bersamaan dengan mereka, ada banyak warga yang ikut.
“Kita ga bisa handle wartawan di luar gerbang, jadi jangan grogi,” tambah Deina berbisik ke telinga Sasa.
Dari setiap sudut gerbang nampak wartawan yang sedang mencuri momen. Karena di depan pagar sudah tertulis 'Harap maklum, Wartawan hanya di luar pagar' sehingga ketika keluar rumah, banyak sekali wartawan yang memotretnya.
Sasa nampak tidak peduli dengan apa yang wartawan itu lakukan, saat ini, yang ia tahu hidupnya seperti diluluh lantahkan keadaan. Kenyamanan menjadi hal nomor dua baginya saat ini.
Ia hanya ingin diam sembari mengikuti langkah setiap orang yang ikut mengantar almarhumah ibunya ke peristirahatan terakhir. Meski rasanya hampa, ia harus tetap berdiri tegap di sini sampai akhir.
***
Lantunan ayat suci al-qur'an sebagai do'a di pemakaman perlahan mulai usai. Satu persatu manusia kembali ke rumahnya masing-masing.
Tidak dengan Sasa, ia masih setia di samping nisan itu. Air mata jatuh di pipinya. Namun, ia tidak terisak. Ia hanya diam tanpa suara.
"Sa...." Deina menundukkan badannya.
"Ikhlasin Mama kamu ya, biar dia tenang... Tante ada di sini," ungkap Deina.
Ucapan Deina serasa bukan apa-apa. Semuanya masih tetap pudar. Kata-kata penguat di kondisi seperti ini ternyata hanya omong kosong.
"Tante tahu posisi kamu pasti berat banget, Tante tahu ini ga mudah," jelas Deina mengelus kepala Sasa.
"Ta––"
"Sasa mau sendiri dulu Tan," ujar Sasa.
Tangan Deina perlahan menjauhi kepala gadis manis itu.
"Tante balik ke rumah dulu." Deina lalu membiarkan Sasa sendiri dan segera pulang.
Bersamaan dengan ini, Deina juga meminta para wartawan yang tersisa untuk membiarkan Sasa sendiri.
"Harap maklum," ujar Deina mengode para wartawan untuk pergi.
"Keadaan sedang berkabung, silahkan tinggalkan dia sendiri," ujar Deina lagi.
Para wartawan yang sedari tadi memotret makam akhirnya terpaksa harus bubar. Mereka terpaksa berhenti mengambil gambar, bahkan sebelum wawancara dimulai.
...----------------...
Sasa melihat keadaan yang sudah sangat sepi, ia lalu meletakkan foto yang sedari tadi ia genggam.
"Cantik," ujar Sasa sembari mengusap foto berbingkai itu.
Sasa lalu menyentuh nisan bertuliskan nama ibunya. Menikmati setiap luka yang mulai menghujam dirinya.
"Ini sangat berat buat Mysa, Mam. Berat sekali," tambahnya.
Sasa lalu kembali menangis dan mulai membungkukkan badannya untuk menenggelamkan kepala di lutut.
"Kenapa harus Mysa yang ngalamin ini, Mamm?"
Sasa masih terisak dan membiarkan setiap air mata jatuh di pipinya.
"Mysa janji akan cari tahu soal kematian Mama," ujar Sasa bersungguh-sungguh.
"Bahkan kalau ini harus ngabisin sisa hidup Mysa, Mysa akan tetap lakuin." Ia lalu menegakkan kepalanya dan mencium nisan itu.
...----------------...
Deina nampak tengah bersalaman dengan beberapa orang yang hadir membantu proses pemakaman Zena. Ia berterima kasih atas bantuan beberapa tetangganya.
"Terima kasih, Bu." Deina tersenyum seraya bersalaman.
"Iya, kami semua pamit ya..." ujar salah seorang tetangga mewakilkan.
"Iyaa, sekali lagi terima kasih," ujar Deina.
Deina lalu bermaksud pergi ke ruang tamu untuk membereskan beberapa gelas yang tersisa karena di rumah ini tidak ada asisten rumah tangga saat ini.
Namun, langkahnya terhenti saat seseorang memanggilnya.
"Nona Deina?" ujar orang itu yang tidak lain adalah satpam rumah Sasa.
"Iya, ada apa Diki?" tanya Deina.
"Gini Nona, maaf sebelumnya nanya soal ini, saya tahu ini sedang berkabung, tapi..." jelas Diki.
"Saya perlu kepastian apakah saya akan tetap dipekerjakan di sini?" tanya Diki dengan raut cemas.
"Kalaupun Sasa ikut saya ke Bali, kamu akan tetap kerja di sini, dan kalau bisa carikan satu teman lagi untuk kamu berjaga," ujar Deina.
Mendengar itu, Diki merasa senang karena tidak harus kehilangan pekerjaannya.
"Saudara saya ada yang mau kerja di sini Nona, kalau boleh besok saya suruh dia ke sini," ujar Diki lagi.
"Oke, kamu bisa hubungi saya aja soal gaji dan segala macam keperluan rumah ini," jelas Deina.
"Terima kasih, Nona."
"Sama-sama, saya mau nanya, apa di rumah ini emang ga pernah pakai pembantu?" tanya Deina.
"Pakai Nona, baru 1 bulan lalu berhenti kerja karena menikah dan harus pulang kampung," jelas Diki.
"Tapi, sejak itu Nona Zena belum pernah lagi pakai ART," jelas Diki.
"Oh oke, nanti biar saya yang suruh ART saya ke sini, biar besok bisa langsung kerja," jelas Deina.
"Siap Nona, saya mau jaga di depan dulu," jelas Diki sembari pergi dari hadapan Deina.
***
5 Jam Berlalu....
"Sasa pamit Ma."
Sasa mencium kembali nisan itu lalu berjalan pulang. Ia merasakan ada sesuatu yang benar-benar hilang.
Langkahnya goyah, berjalan gontai di setiap sisiran makam. Tanpa senyuman di wajahnya.
Ia berjalan ke arah rumahnya, melihat suasana sudah mulai sepi. Kursi dan meja. Hanya itu yang ada.
Sasa berjalan ke arah pintu dan menemukan sosok Deina. Deina menatapnya dengan senyuman. Lalu memeluk Sasa dengan sangat erat.
Dalam pelukan itu, air mata Sasa tumpah.
"Ikut Tante ya, ke Bali...." pinta Deina sembari melepas pelukannya.
Mata Sasa nampak kosong. Ia tidak ingin pergi sekarang. Ia ingin di sini.
"Please, ikut ya sayang,..." lirih Deina memeluk Sasa kembali.
Sasa tetap tak menjawab dan membiarkan Deina bicara. Ia lalu memutuskan untuk masuk ke kamar.
"Aku mau istirahat dulu, Tan."
Sasa meninggalkan Deina yang baru saja melepas pelukannya itu. Bagi Sasa, sekarang bukan saat yang tepat untuknya berpikir hal lain selain ibunya.
"Makanan udah Tante siapin di meja," ujar Deina sembari merogoh ponsel di saku celananya.
Sasa nampak terus berjalan menyusuri anak tangga tanpa mengiyakan perkataan Deina.
"Halo, Mbok?" sapa Deina kepada seseorang di seberang sana.
"Besok pagi, nanti langsung ke hotel aja biar saya urus semuanya," jelas Deina.
"Pas udah siap biar saya yang kabarin untuk dateng ke lokasinya," ujar Deina lagi.
Deina lalu menutup telfon dan mulai menatap sekeliling. Rumah sebesar ini, sangat jauh beda dengan rumahnya di Bali.
Matanya seolah dibuat kagum pada usaha kakak kandungnya. Deina yang juga bekerja di salah satu hotel milik kakaknya itu, tentu tak memiliki kekayaan sebanyak ini.
Deina juga memiliki rumah yang besar di Bali, namun belum apa-apa jika dibandingkan dengan hunian Zena.
...----------------...
Sasa diam di kamarnya sembari memandangi foto almarhum ibunya. Rasanya baru kemarin ia bercengkrama dengan wanita ini, namun ia sudah tidak bisa menyentuhnya lagi sekarang.
Sasa mengusap lembut foto ibunya, tanpa sadar ia menjatuhkan kembali air mata.
Kini, hanya foto ini yang bisa mengingatkannya dengan sosok alm. Zena. Foto ini yang bisa memperdalam ingatannya tentang betapa cantik dan mandirinya sosok Zena.
“Mysa ga mau ikut Tante ke Bali, Ma....” lirih Sasa sembari menyeka air mata di pipinya.
“Mysa bisa jaga diri di sini,” ujarnya lagi.
“Trust me!” tambahnya meyakinkan diri.
Sasa lalu kembali terisak dan memeluk foto ibunya. Ia menghabiskan satu hari ini dengan tangisan, jika ditanya bagaimana besok, entahlah. Intinya, ia hanya ingin menangis hari ini.
Entah perlu berapa lama untuk pulih kembali, yang ada di pikirannya hanya kenapa semua terjadi secepat ini. Namun, sejauh apa ia berfikir, keadaan akan tetap sama.
Zena tetap tidak akan kembali.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 108 Episodes
Comments
Anonymous_Delisa7
relate sih, gua baru bangun jga gtuu
2023-03-23
2