^^^24 April 2016^^^
Pagi ini, Sasa berdiri di depan kaca tanpa senyum di wajahnya. Luka kemarin nampaknya masih sangat basah. Sasa kemudian memilih satu pita di laci bedaknya, pita berwarna hitam silver. Ia lalu memasang pita itu di rambutnya.
Setelah rapi, Sasa menuruni anak tangga dengan langkah ragu. Ia sesekali menatap ke belakang, menarik nafas dalam agar keputusannya kali ini tidak salah.
Didepannya, sudah ada Deina. Menjinjing tas kecil dan menderek koper untuk dimasukkan ke mobil.
"Ayo sayang." Deina tersenyum ke arah Sasa.
Sasa diam. Ia melangkah ke dekat Deina, namun enggan menyerahkan kopernya.
"Ayo, sini koper kamu..." Deina menarik koper itu.
Tangan Sasa menahan, ia seolah enggan pergi. Matanya menatap Deina dengan penuh arti.
"Hey? kenapa? ayo, sini Tante masukin koper kamu ke mobil." Deina kembali menarik koper itu.
"Aku pengen tetap di sini...." lirihnya tanpa ragu.
"Apa?" tanya Deina lagi.
"Aku ga bisa ikut Tante ke Bali," ungkap Sasa lagi.
Deina menatap Sasa dengan sedikit kesal. Namun, ia paham bahwa di usia yang akan menginjak 16 tahun, Sasa pasti punya kelabilan sikap.
"Kamu yakin?" tanya Deina.
Sasa mengangguk pasti. Di usia yang masih remaja, ia seolah tak goyah dalam mengambil keputusan.
"Bahaya loh, Sa... kalau kamu di sini sendirian, ikut aja ayo!" bujuk Deina.
"Tan, di sini kan ada satpam Diki, satpam Wiro juga baru masuk kemarin," jelas Sasa.
"Cctv juga on semua, aku ga sendirian," ujar Sasa meyakinkan Deina.
"Tapi, Sa. Tante ga bisa biarin kamu di sini sendiri, nanti sekolah kamu gimana?" ujar Deina menyangkal.
"Tante ga usah khawatir, ada jalan kok buat aku urus semuanya dengan rapi." Sasa mencoba meyakinkan Deina bahwa ia akan baik-baik saja jika sendiri di sini.
"Sa... Tante ga yakin lo," rintih Deina menyentuh bahu Sasa. Sasa menatap Deina dengan pasti.
"Kamu beneran yakin?" tanya Deina sekali lagi.
Sasa mengangguk dengan yakin. Ia sedikit tersenyum untuk menghilangkan kecemasan Deina.
"Aku ga bisa tinggalin rumah penuh kenangan Mama gitu aja, Tan," jelas Sasa.
"Rumah ini bisa dirawat, Sa. Walaupun kamu di Bali, ayolah."
"Tan, aku akan aman. Aku akan mantau hotel Mama yang di Jakarta juga, kalau di sini semua lebih gampang," ujar Sasa.
Deina menatap Sasa dengan raut ragu. Ia tidak yakin Sasa akan aman sendiri, lebih tepatnya mentalnya.
"Kamu ga perlu urus bisnis Mama kamu dulu, nanti kalau umur kamu udah cukup dan kamu mau urus, tante akan bantu atur semuanya," jelas Deina.
"Oke Tan, jadi kasih aku waktu untuk belajar ngurus diri aku sendiri sampai aku bisa urus bisnis Mama."
Deina lalu memeluk gadis itu dan menciumnya.
"Jangan pernah sembunyiin hal kecil dari Tante, apapun itu kasih kabar ke Bali," pinta Deina.
"Trust me," ujar Sasa sembari membalas pelukan Deina.
"Jaga diri ya, you're strong women okay?" Deina kembali mencium gadis itu.
"Makasi Tan," ujar Sasa menjauhkan tubuhnya.
Kini, Deina memasuki mobil dan meninggalkan Sasa sendiri dengan koper di tangannya. Sasa melambai ke arah mobil itu, menarik nafas dan mulai berbalik badan.
(Kalkson Mobil)
Baru saja hendak masuk ke rumah, langkahnya dihentikan oleh suara seseorang.
"Misi," ujarnya.
"Iya?" Sasa menatap wanita tua itu dengan raut datar.
"Maaf ndok, Mbok di suruh ke sini untuk bantu-bantu," jelas wanita itu.
"Bantu-bantu untuk?"
(Dering Telfon)
Sasa merogoh ponselnya dan menjawab panggilan itu.
"Gausah bingung, itu namanya Mbok Ira, ART kepercayaan Tante di Bali, dia bakal jagain kamu di Jakarta," jelas Deina.
"Ta––"
"Gausah banyak tapi, biar kamu juga ga kecapekan," jelas Deina lagi.
"Yaudah, Tante lanjut jalan ya," ujar Deina.
Sasa kemudian menutup telfon itu dan melihat ke arah Mbok Ira.
"Masuk Mbok," ujarnya sembari melangkah ke dalam rumah.
"Wahh, ternyata rumahnya Nona Sasa lebih besar ya dari Nona Deina," ujarnya kagum.
Langkah Sasa berhenti. Ia lalu duduk di ruang tamu dan membiarkan kopernya.
"Duduk Mbok," ujarnya.
"Terima kasih, Nona " Jawabnya sembari duduk.
Sasa menarik nafas dalam, ia lalu membenarkan posisi duduknya dan mulai bicara serius.
"Saya sebenarnya ga tau tujuan Mbok di sini untuk apa,"
"Jadi, kalau Mbok ga kerja juga ga masalah sih," ujar Sasa.
"Lah jangan gitu Nona, si Mbok itu biasa bantu-bantu,"
"Saya ngerasa ga perlu di bantu aja Mbok!" ketus Sasa.
Mendengar itu, Mbok Ira mulai berbisik.
"Gusti, ini Nona sangar juga ya, bener kata Nona Deina,"
"Saya bisa denger loh Mbok," sangkal Sasa.
"Yaudah, saya mau ke atas dulu, silahkan kerjain apa yang biasa Mbok kerjain di rumah Tante Deina,"
Sasa lalu melangkah ke lantai atas.
"Baik Nona, terima kasih." Sorak Mbok Ira.
Langkah Sasa terhenti dan mulai melihat ke belakang.
"Gausah panggil Nona Mbok, Paggil Mysa aja.."
Mbok Ira mengangguk ragu.
"Soalnya saya ga pernah diajarin jadi tuan untuk orang yang lebih tua dari saya sama alm. Mama,"
"Siapapun itu!'
"Baik Mysa.."
Sasa lalu kembali melangkah ke kamarnya, meninggalkan koper yang masih berada di bawah.
"Si Nona ternyata baik juga, sopan, kirain cuman sangar doang." Mbok Ira lalu mencoba mengangkat koper itu.
"Eh, ini mau dibawa ke atas atau gimana ya? tanya si Nona dulu deh, eh Mysa..."
Mbok Ira lalu melangkah mengikuti langkah yang tadi dilalui Sasa.
"Non.... Mysaaa..." Sorak Mbok Ira.
"Mysa..."
Sasa yang menyadari itu, segera keluar dari kamarnya. Ia melihat Mbok Ira memanggil namanya di sebelah kamar yang ia huni.
"Mbok, kamar saya sebelah sini," ujar Sasa dengan raut datar.
Mbok Ira tersenyum dan mendekat ke arah Sasa.
"Salah kamar toh, hehe." Mbok Ira melangkah ke kamar Sasa yang berada di sebelahnya.
"Kenapa Mbok?"
"Itu Non, eh Mysa."
"Kopernya mau dibawa ke atas atau di bawah aja ya? soalnya takut salah..."
"Ke atas, Mbok," ujar Sasa.
"Ohh, yasudah... sebentar biar si Mbok bawakan." Mbok Ira segera melangkah ke bawah.
Sasa lalu keluar dari kamarnya.
"Gausah Mbok."
Sasa seketika langsung mendahului langkah Mbok Ira dan bergegas mengambil koper itu.
"Biar Mbok saja Mysa..."
"Saya lebih muda."
Sasa lalu melangkah kembali ke kamarnya. Membiarkan Mbok Ira tercengang dengan ulahnya yang super dingin dan tidak mau merepotkan orang lain.
"Mysaa... Mysaa, kayaknya memang bener kata Nona Deina, super mandiri..."
Mbok Ira cuma bisa geleng kepala dengan ulah Sasa.
***
^^^26 April 2016^^^
Pagi ini, minggu pagi tepatnya, Sasa duduk di balkon rumahnya. Memandang hamparan lagit cerah tak berujung.
Anehnya, dari sekian banyak hamparan warna biru kenapa tidak mampu memberikan matahari di hatinya. Rasanya tetap saja gelap.
(Suara pintu terbuka)
"Mysa.. Permisi,"
"Ini, si Mbok bawain susu coklat,"
"Ganti sama air putih ya Mbok, saya kalo di rumah selalu minum air putih," jelas Sasa.
"Ohh, baik Mysa.."
Mbok Ira keluar mengganti susu coklat itu. Sedangkan Sasa, kembali pada lamunannya.
Flashback
^^^20 April 2016^^^
Bayangan pertengkaran orang tuanya dengan seseorang di balik telfon mulai teringat. Kala itu, Sasa tengah berdiri di samping pintu kamar ibunya yang terbuka.
Dari depan pintu terdengar suara ibunya tengah menelfon dengan seseorang.
"Ga bisa gitu, ini uang dalam jumlah besar loh, tolong profesional!" bentak Zena.
"Ini menyangkut kelangsungan grand opening gloubel yang baru," jelasnya lagi.
"Aku ga mau tau ya, apapun alasannya, uang itu harus ada besok!"
Zena menutup telfon itu dengan nada kesal.
"Dasar! bisanya minjem doang, giliran ditagih, besok terus!" bentak Zena.
Sasa yang sedari tadi di luar pintu lalu masuk ke dalam kamar Ibunya.
(Suara langkah kaki)
Zena menatap ke arah putrinya dengan senyuman.
"Kenapa sayang? ada apa?" tanya Zena memeluk putrinya.
"Ga ada, okay kok!" Sasa melepas pelukan itu.
Ia lalu duduk di pinggir kasur sembari bertanya kepada Zena.
"Mamm, tadi Mysa denger Mama marah-marah, why? Are you okay with your job?"
"Apa? No, i'm not angry, Mama ga marah sayang."
"Don't lie to me, aku tau Mama, kenapa?"
Zena menarik nafas dalam dan mulai mengalihkan topik.
"Gapapa, everything okay, kamu udah makan?"
Sasa nampak heran dengan peralihan topik ini, namun ia tidak ingin memaksa Ibunya berkata sesuatu yang tidak ingin ia katakan.
"Ya." Sasa melangkah keluar dengan Ibunya, sembari bercengkrama singkat.
"Mysa...."
"Mysaa....."
Mbok Ira nampak menunggu Sasa bereaksi dari tadi.
"Mama!" ujar Sasa tersentak.
Ia lalu mendapati sosok Mbok Ira dengan segelas air.
"Ini si Mbok Mysa.. Si Mbok bawain Mysa air putih, biar energinya pulih..." sembari meletakkan air di atas meja kecil.
"Ohh, iya makasi..."
"Sama-sama... si Mbok keluar dulu ya," ujar Mbok Ira.
"Mbok..."
"Iya, kenapa?" sembari memegang gagang pintu.
"Susu coklat tadi jangan lupa diminum, mubadzir kalo dibuang," ujar Sasa.
"Iya Mysa, si Mbok tutup ya pintunya." Mbok Ira pergi setelah menutup pintu itu.
Sasa menarik nafas dalam, ia kemudian kembali pada ingatan masa lalunya beberapa hari lalu, hari dimana Ibunya belum meninggal.
"Gua yakin ini bukan pembunuhan biasa apalagi kecelakaan..." lirih Sasa.
"Gua harus cari tahu dalang di balik ini semua," kata Sasa lagi.
"Pasti ada alasan penting kenapa Mama bisa meninggal di Hotel Gloubel, milik dia sendiri."
Fyi, Ibu Sasa mengelola bisnis di bidang perhotelan. Hotelnya sangat megah dan terkenal dimana-mana, namun sosok Sasa jarang di kenal karena ia tidak pernah ditampilkan di berita oleh Ibunya.
Semacam, privasi.
"Apa pembunuhan Mama ada kaitannya sama orang di balik telfon itu?" tanya Sasa.
Sasa berusaha berfikir keras dengan tatapan yang sangat tajam. Ia harus menyelesaikan semua kepingan puzzles ini.
"Tunggu ya, kalian yang ngebunuh pasti akan gua bunuh balik, tapi..."
"Nanti, saat semuanya udah jelas..."
"Mungkin 1 bulan, 2 bulan..."
"10 bulan..."
"1 tahun, atau bahkan..."
"3 atau 4 tahun ke depan," ucap Sasa dengan senyum tipis di bibirnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 108 Episodes
Comments