Scandal (3)

Deborah kaget, karena tiba-tiba tangannya ditarik Jofferson dan ia dibawa ke rumah Jofferson. Ia terkejut saat Jofferson tahu apa isi pikirannya dan menatapnya tajam. Tatapan elang Jofferson langsung nenusuk.

"Aku salah. Tak seharusnya aku datang ke sini. Dia pasti sangat marah karena aku menuduhnya, kan?" batin Deborah.

"Aku minta maaf," kata Deborah lirih.

Jofferson meminta Deborah duduk. Ia pun tak butuh permintaan maaf dari Deborah.

"Aku pulang saja," kata Deborah menolak untuk duduk.

"Di mana kamu menemukan ini?" tanya Jofferson.

"Di lantai kamar apartemenku. Di dekat rak sepatu," jawab Deborah jujur.

Jofferson mengerutkan dahi, "Selain kamu, siapa yang tinggal di tempatmu. Atau orang-orang yang tahu sandi apartemenmu?" tanya Jofferson.

Deborah menjawab dan menyebutkan satu per satu siapa saja yang tahu sandi rumahnya. Dan itu hanya anggota keluarga, dan managernya saja. Tak ada orang lain yang tahu selain itu. Deborah juga menjawab, jika ia hanya tinggal sendiri. Ia memang jarang tidur di apartemen karena selama ini sibuk syuting. Dan sebelumnya pun tak pernah ada masalah apapun dengan apartemennya.

Jofferson mencurigai, ada seseorang yang diam-diam mengamati setiap gerak-gerik Deborah di apartemennya. Ia pun meminta Deborah untuk menginap dulu di apartemennya dan besok akan membantu Deborah menyelidiki.

"Besok tidak ada jadwal, kan?" Tanya Jofferson.

Deborah menganggukkan kepala, "Ya, lusa baru ada syuting." jawab Deborah.

"Menginaplah di sini. Besok kita sama-sama memeriksa rekaman kamera pengawas dah melihat dalam apartemenmu. Kamu harus memeriksa, siapa tahu ada barangmu yang hilang atau ada petunjuk yang bisa mengungkap pelakunya." kata Jofferson.

Deborah melebarkan mata, "Apa? me-menginap? Di sini? Di tempatmu?" tanya deborah.

"Kenapa? tidak mau? atau mau aku antar ke hotel? tak jauh dari sini ada Hotel. Bukankah kalau kita ke sana, akan langsung ada berita esok hari? Di laman utama, muncul foto kita dan tertulis kalau kita tengah malam mengunjungi hotel. Bukankah pikiran orang-orang langsung tertuju pada hal itu?" kata Jofferson menjelaskan.

Deborah mengerutkan dahi, "Benar juga, tapi ... aku tak mau di sini. Aku akan hubungi Managerku saja. Aku akan tidur di rumahnya," jawab Deborah.

"Bukankah butuh waktu untuk Managermu istrirahat? jangan jadi aktris yang kejam pada Managernya. Kamu tidak kasian, dia sepanjang waktu mengikutimu ke sana-sini dan selalu sibuk menyapa para kru?" jawab Jofferson.

Deborah menatap Jofferson, "Sial! Kenap kata-kata yang dia katakan benar semua? apa dia tak memberiku cela sama sekali? aaahh ... aku bisa gila. Si badak ini memang tak terkalahkan, ya." batin Deborah.

"Apa kamu sengaja begini? sengaja untuk membuatku tidur di sini? tanya Deborah.

Jofferson menatap Deborah, ia berdiri dari duduknya dan mendekati Deborah yang berdiri di sisi sofa. Perlahan Jofferson melangkah mendekati Deborah. Membuat Deborah ketakutan dan melangkah mundur tanpa disadarinya.

"Kenapa kamu menatapku begitu? ja-jangan mendekat, Joff!" sentak Deborah.

Jofferson tersenyum, "Ternyata kamu bisa memanggil namaku dengan benar, ya. Aku kira kamu hanya bisa memanggilku badak." kata Jofferson.

Dahi Deborah berkerut, "Dasar badak gila. Kamu mempermainkanku, ya. Sialan!" Kata Deborah memukul bahu Jofferson.

"Ouch ... sakit!" kata Jofferson memegangi bahunya.

Deborah panik, "Ada apa? aku tak memukul sekeras itu," kata Deborah.

Tiba-tiba kaus putih Jofferson berubah warna menjadi merah diarea bahu dan lengan. Jofferson berkata, kalau saat syuting ia mengalami kecelakaan kecil yang membuat bahunya cidera dan terluka. Dan karena dirumah, Jofferson tak memasang perban, jadi begitu dipukul Deborah, lukanya kembali terbuka dan berdarah.

Deborah kaget, "Apa ini yang dimaksud Kak Ryan kemarin ada keributan di lokasi syuting?" batin Deborah.

Sehari sebelumnya, Deborah memang mendengar dari Ryan perihal kecelakaan di lokasi syuting. Hanya saja saat itu ia tidak fokus mendengar ucapan Ryan karena sedang memikirkan hal lain.

Deborah merasa bersalah, ia pun meminta maaf pada Jofferson. Ia tidak tahu kalau bahu Jofferson terluka sebelumnya.

"Maafkan aku, Joff. Di mana kotak obatmu? aku akan membersihkan lukanya," kata Deborah panik.

"Di lemari dapur," kata Jofferson.

Deborah langsung membuka mantel, masker dan topinya. Ia meletakkan semua barangnya di sofa, lalu ia berjalan menuju dapur. Debora mencari keberadaan kotak obat Jofferson.

Setelah menemukan apa yang dicari, Deborah pun segera kembali menemui Jofferson. Deborah meminta Jofferson membuka pakaian.

"Buka pakaiamu. Bisa tidak?" tanya Deborah.

Saat tangan kiri Jofferson dinaikkan ke atas, terasa sakit dan nyeri. Sehingga membuat Jofferson merintih kesakitan.

"Ahhh ... sedikit sakit. Sepertinya aku tak bisa membukanya. Gunting saja," kata Jofferson.

Deborah segera mengangkat tangan Jofferson pelan-pelan dan membantu Jofferson melepas pakaian.

"Aku tahu kamu punya banyak uang, tapi tidak perlu juga menggunting pakaia kalau bisa dibantu, kan. Dasar badak!" omel Deborah.

"Di saat seperti ini pun ucapanmu tetap terdengar pedas, ya." Kata Jofferson.

Deborah melihat luka Jofferson. Ia segera membersihkan darah pada luka dan sekitarnya. Deborah merasa ngeri, tapi ia tidak bisa mengabaikan seseorang yang terluka dihadapannya.

"Uhhh ... " lengkuh Jofferson. Saat kain kasa yang sudah direndam alkohol menempel di lukanya.

"Maaf ... " kata Deborah kaget. Karena tiba-tiba Jofferson melengkuh dan bergerak.

Deborah mendekatkan wajahnya dan meniup-niup luka agar tidak perih. Saat wajah Deborah berpaling, pandanganya bertemu dengan pandangan Jofferson. Tiba-tiba Deborah memalingkan pandangan ke arah lain.

"Aku akan segera obati. Jangan bergerak," kata Deborah.

Segera Deborah mengobati luka Jofferson. Ia meniup lebih keras karena kali ini yang dioleh obat, dan pasti akan terasa lebih menyakitkan. Jofferson menahan agar tak melengkuh atau bersuara. Ia mengerutkan dahinya menahan rasa perih.

Jofferson memalingkan pandangan menatap bahunya yang terluka, ia melihat Deborah begitu serius mengobati sampai-sampai tak sadar kalau Jofferson terus memandanginya.

"Kamu tidak berubah, Bora." batin Jofferson tersenyum.

Deborah menghela napas panjang dan menyeka keringatnya. Panik karena tak ingin ketahuan sudah memandagi Deborah, Jofferson berdehem untuk berdalih.

"Ehemm ... terima kasih," kata Jofferson.

"Bodoh sekali, hampir saja aku ketahuan." batin Jofferson.

Deborah memandangi luka Jofferson, "Sepertinya kamu harus kembali ke rumah sakit, Joff. Yang aku lakukan ini hanya penanganan biasa agar lukamu tak infeksi." kata Deborah.

"Kalau begitu, besok kamu yang harus mengantarku ke rumah sakit. Lukaku terbuka kan karena pukulanmu," goda Jofferson.

"Dia pasti langsung menolak," batin Jofferson.

"Baiklah. Aku akan mengantarmu besok dan menemanimu sampai selesai pemeriksaan. Karena aku yang berbuat, aku pula harus bertanggung jawab, kan?" kata Deborah.

Jofferson kaget. Sungguh, ia tidak bisa menebak pasti isi pikiran Deborah.  Ia merasa Deborah semakin menarik.

Karena tidak punya pilihan lain, malam itu pun ia menginap di apartemen Jofferson. Deborah diminta Jofferson tidur di kamarnya, dan ia sendiri tidur di sofa. Deborah menolak, ia meminta sebaliknya. Perdebatan diantara keduanya pun dimulai.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!