5. Luapan emosi.

"Saya minta maaf, Kinan. Tolong maafkan saya," pinta Marvin seraya mengiba. Seumur hidup lelaki itu bahkan Marvin tak pernah merendahkan dirinya, dengan minta maaf lebih dulu pada orang lain. Sifat Marvin sangat sekeras itu. Harga dirinya begitu tinggi, dan pantang baginya untuk minta maaf duluan, sekalipun dia yang bersalah.

"Memaafkan ataupun enggak, tetap nggak akan merubah keadaan," jawab Kinan, seraya menggigit bibir bawahnya. Hati gadis itu merasa rapuh seketika.

"Tapi saya yakin, kalau kamu bisa memaafkan saya. Mari membangun hubungan yang baik sebagai teman. Saya percaya, hati kamu seluas itu menerima keadaan. Saya memang salah, saya siap jika nanti kamu mau menghukum saya. Tetapi saya mohon, maafkan saya. Ayo kita berteman seperti dulu lagi," ajak Marvin.

Hati Kinanti kian hancur berkeping-keping, berserakan di bumi, tercecer dengan cara yang sangat menyedihkan.

"Setelah semua yang terjadi, kamu ngajakin aku berteman sama kamu. Saya nggak peduli lagi sekarang," ungkap Kinanti kemudian.

"Kamu tahu, kenapa Bapak dan Ibu memilih pindah dari sana? Itu karena Bapak nggak tahan lagi lihat kehancuran putrinya. Bapak sadar diri, beliau orang ngga punya dan sederhana, makanya lebih memilih mengalah daripada harus berhadapan dengan keluarga kamu. Sehancur itu sampai orang tuaku memutuskan bawa aku pergi. Kamu nggak akan tega, kalau kamu tahu aslinya kondisiku seperti apa lima tahun lalu. Nggak bunuh diri aja udah untung. Tapi kalau dipikir-pikir, bodoh juga aku saat itu," Kinan menimpali seraya tertawa perih. Tatapan gadis itu penuh luka.

Hati mana yang kuat tanpa remuk, jika menempati posisi sebagai kinanti? sungguh menyakitkan, rasanya.

"Percayalah, Marvin. Kamu harus bersyukur karena jadi dirimu sendiri. Andai kamu jadi aku, kamu nggak akan kuat karena memiliki cinta bertepuk sebelah tangan," ujar Kinanti.

"Nan, saya datang dan kembali mencari kamu, karena rasa bersalah saya, Nan. Kamu hancur, aku ngerti kok. Tapi kamu juga nggak mau tahu, gimana perasaanku ke kamu setelah aku nikah sama Tika. Aku merasa kehilangan," jujur Marvin.

Lelaki pemilik tahi lalat di bawah bibir itu, menatap intens Kinan dari samping.

Jika diperhatikan dari dekat begini, Kinan jauh lebih cantik. Bahkan bentuk tubuhnya terlihat lebih berisi dan sintal menggoda. Semakin dewasa, pembawaan Kinanti lebih tegas dan bersahaja. Jika dulu Kinan tak mengerti bagaimana cara menggunakan make up, maka usia dua puluh enam tahun, membuat Kinan pandai memoles diri, agar tampil lebih cantik.

Sungguh tak tega rasanya hati Marvin, saat mendengar pengakuan Kinan bahwa gadis itu trauma pasca dekat dan jatuh cinta padanya. Salahkan Marvin, Marvin tak akan keberatan untuk hal itu.

"Bulshit. Aku nggak percaya!" seru Kinanti menjawab. Masih sama, gadis itu lebih tertarik memandang ke arah luar jendela, tanpa berniat menatap Marvin dengan berani seperti tadi.

"Kamu boleh nggak percaya, Nan. Tapi yang jelas, saya kembali muncul pada hidup kamu, bukan hanya merasa bersalah dan mau minta maaf saja, melainkan untuk menjelaskan alasanku memilih menikah sama perempuan lain," timpal Marvin.

"Usia," jawab Kinan seraya terkekeh pelan, "usia adalah alasan untuk sebuah perpisahan. Kalau gitu, yang boleh menikah dan menjalin cinta, hanyalah pasangan yang usianya sama," sambung Kinan kemudian.

"Bukan gitu juga, Nan. Tolong kamu ngerti maksud saya," jelas Marvin dengan sabar.

Mengapa bicara dengan Kinan, membuat Marvin sesabar ini? Bahkan dengan Tika, Marvin lebih mendominasi dan tak pernah meminta maaf, sekalipun Marvin jelas bersalah.

Ada sebuah rasa yang Marvin miliki untuk Kinan, tetapi Marvin memilih untuk menyimpannya rapat-rapat. Jika boleh jujur, Marvin juga mencintai Kinan. Hanya saja, Marvin baru menyadari, beberapa hari setelah Kinan di bawa pergi oleh orang tuanya. Semua sudah terlambat, bukan?

"Aku harus selalu ngertiin kamu, tapi kamu sendiri nggak pernah bersedia ngertiin aku. Kamu egois," lirih Kinanti.

Rasanya lelah sekali menghadapi Marvin, sekalipun mereka berbincang baru sebentar. "Andai saja waktu bisa diputar, aku nggak akan pernah berminat untuk dekat sama kamu. Kamu datang sekadar manfaatkan aku aja, menemani kamu kalau lagi gabut, dan ya ... ditinggalkan jika udah nggak dibutuhkan. Aku pikir dengan perlakuan baik kamu ke aku saat itu, kamu mencintai aku. Nyatanya itu Bulshit semata," ungkap Kinanti masih dengan suara lirih.

"Itulah sebabnya saya datang untuk meminta maaf ke kamu, Kinanti. Saya tahu saya salah. Jadi tolong, maafkan saya," ungkap Marvin.

"Baik, aku akan maafkan kamu, tapi dengan catatan, jangan pernah temui aku lagi. Aku nggak mau, perasaan aku kembali muncul ke kamu. Kamu nggak ngerti, cinta yang aku ungkapkan lima tahun silam, begitu menyiksa setiap malam," jawab Kinanti.

Andai kamu tahu, Nan, saya juga mencintai kamu. Sayangnya semua udah terlambat, aku udah punya Tika, perempuan yang dijodohkan Mama denganku. Ya Tuhan, mengapa jadi rumit begini?

Marvin mengeluh dalam hati.

"Nan ... " panggil Marvin.

"Kita putuskan hubungan pertemanan ini, itu lebih baik. Anggap aja, kita nggak pernah kenal. Dan satu lagi, jangan pernah datang ke rumahku lagi. Kamu pikir, Bapak dan Ibuku nggak tahu tentang yang aku alami? Mereka tahu semuanya, dan mereka nggak terima saat itu. Mereka tadi bisa menerima kamu, semata karena Ibu dan Ayah masih memiliki perasaan," ungkap Kinan.

"Jadi kamu mau kita putus pertemanan?" tanya marvin pelan.

"Ya, daripada tetap berteman, tapi salah satu diantaranya, merasakan sakit sepihak. Maaf aku harus pulang, lebih baik kamu pulang dan urusi rumah tanggamu dengan istrimu. Aku nggak ada waktu buat ladeni kamu lagi. Aku maafin kamu, tapi tolong jauhi aku," pinta Kinan kemudian.

"Tolong buka pintunya."

"Nan, saya belum selesai bicara," ungkap Marvin. Kunci motor Kinanti, masih nyaman berada di saku celana Marvin.

"Mau bicara apa lagi? Semua udah jelas, kan?" tanya Kinanti kemudian.

"Tapi saya nggak mau, Nan. Saya nggak bisa memutuskan hubungan baik kita," jawab Marvin.

"Hubungan baik? Memangnya sejak kapan kita punya hubungan baik? Udahlah, jangan lagi melucu, aku nggak tertarik bercandaan sama kamu," ujar Kinanti sebal.

"Tolong katakan sama saya, gimana caranya supaya kamu nggak memutuskan hubungan pertemanan kita?" tanya Marvin kemudian.

"Caranya, cukup enyah dari hidupku. Aku muak lihat muka kamu," jawab Kinanti tanpa perasaan.

Masih sama, Kinan masihlah marah pada Marvin saat ini. Marvin menghembuskan napasnya kasar, merasa emosinya dipermainkan oleh gadis yang tengah berusia dua puluh enam tahun itu.

"Kalau kamu memang mencintai saya, ayo kita menikah!" ajak Marvin, yang berhasil membuat jantung Kinan seolah meloncat dari rongga dadanya.

"Apa? Menikah? Bukannya kamu udah punya istri? kamu beneran gila, Vin. Kamu gila!" seru Kinanti yang kembali meluap emosinya.

**

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!