Arin berdiri dari duduknya yang membosankan lalu menatap Zian yang saat ini berdiri mengadap dirinya. Yap, orang itu adalah Zian.
"Ngapain di sini?" tanya Zian.
"Duduk," jawab Arin singkat, ya bener kan dia lagi duduk. Zian terkekeh mendengar jawaban polos Arin.
"Iya tau lagi duduk, tapi ngapain duduk depan gerbang sekolah?, bukannya pulang."
"Lagi nunggu jemputan tapi gak dateng-dateng, emang gak akan dateng sih, saya sedang menunggu keajaiban," jelas Arin cuek kemudian memperbaiki posisi tasnya dan hendak berjalan pergi.
"Mau bareng?" tawar Zian membuat langkah Arin terhenti. Arin berbalik kemudian menatap netra teduh itu dalam-dalam.
"Gak, terima kasih. Saya bisa pulang sendiri," sungguh Arin keras kepala.
"Yakin? Ini panas banget loh, kalo gosong gimana?"
"Gak bakalan, skincare saya air wudhu," jawabnya ketus.
"Woyy Zian, ngapain lo di sana? Ayo kita pulang, nih si Agatha udah merengek minta diantar sama lo," dari belakang terdengar suara teriakan Rafi memanggil Zian, soalnya tadi mereka lagi ada di parkiran tiba-tiba aja Zian ngilang gak tau kemana.
Zian dan Arin sama-sama menoleh ke sumber suara menampilkan tiga orang berdiri tepat di gerbang sekolah menatap Zian. Agatha udah bete banget karena lapar.
"Kalian pulang duluan saja, gue ada urusan. Agatha lo pulang sama Rangga dulu ya, gue urus siswa baru ini dulu kasian gak ada yang jemput dia," jelas Zian. Arin mendengar hal itu langsung melotot kaget sekaligus jengkel, Arin merasa dikasihani dan dia benci itu.
"Tau gini mending aku jalan aja dari tadi daripada ketemu sama Ketos sok ganteng ini," gumam Arin.
"Lo mentingin dia daripada gue?" tanya Agatha sinis.
"Bukan, ini juga kan tanggung jawab gue sebagai ketua, apalagi ini kan semua acara kita yang buat dan mengakibatkan mereka pulang siang, udah ya lo jangan marah," ujar Zian menenangkan Agatha yang sudah teramat kesal, dia paling benci kalo pulang sama Rangga dan Rafi, soalnya mereka berdua kalo udah satu mobil bakalan ribut banget plus nanyi-nyanyi gak jelas, kecuali kalo ada Zian mereka bakalan diem gak ada yang berani ribut, takut diturunin di tengah jalan.
Agatha menghentakkan kakinya ke tanah karena kesal, lalu dia berjalan menuju parkiran menunggu dua cecunguk yang sedang berpamitan pada Zian. Arin merasa bersalah melihat drama tadi.
"Ayo ke parkiran, mobil gue ada di sana," ajak Zian hendak menarik lengan Arin namun segera ditepis olehnya.
"Bukan muhrim, lagian saya kan gak pernah minta untuk dianterin," jelas Arin masih kekeuh menolak tawaran Zian, bukannya gak mau sih lebih tepatnya gak enak.
"Udah gak usah banyak omong, di sini kalo siang-siang begini banyak terjadi kasus kekerasan, kamu mau jadi korban selanjutnya?" tanya Zian menakut-nakuti. Arin bergidik ngeri membayangkan jika hal itu terjadi, bagaimana nasibnya nanti?
Arin kemudian mengekor di belakang Zian yang sudah duluan jalan menuju parkiran. Arin membuka pintu mobil belakang yang langsung dicegah oleh Zian.
"Duduk di depan!" perintahnya dengan tegas.
"Gak mau, saya mau di belakang," jawab Arin.
"Gue bukan sopir lo ya, cepet maju!"
Arin berdecak kesal kemudian berjalan selangkah ke depan.
Dalam perjalanan terasa hening karena gak ada yang memulai pembicaraan, mau bicara juga gak ada topik. Zian sendiri masih fokus nyetir tatapannya lurus ke depan sementara Arin fokus menatap jalanan dari jendela.
"Ngomong-ngomong lo belum kasih tau gue alamat lo di mana? Ini kita sudah jauh banget lo," Zian menoleh sekilas kemudian fokus lagi ke depan.
"Lurus aja, nanti bakal saya arahkan kapan waktunya berhenti," jawab Arin tanpa memandang sang lawan bicara.
"Ini dari tadi lo suruh lurus mulu, bisa-bisa sampai alam barzakh kita," ujar Zian, jujur dia kebingungan soalnya Arin gak mau nunjukkin jalan, diajak ngomong jawabnya cuma ham hem doang.
"Nanti kalo ada belokan saya kasih tau, ini kan jalur satu arah ya tinggal lurus doang, mau belok ya belok aja kalo kakak mau ketemu duluan sama Tuhan tuh lurus sampai jurang, saya mah belum siap," Arin mendengus kesal. Zian merutuki dirinya yang kelewat bego, dia pun mengunci mulutnya untuk tidak bertanya pada gadis jutek ini.
"Nah di depan sana belok kiri, terus lurus lagi ada tanjakan sedikit terus turun lagi belok kanan lurus sedikit, di sana ada gang bukan lumayan buat mobil masuk, lurus lagi terus ketemu sama jalan raya belok kiri lagi, nah di situ ada rumah tingkat empat."
"Rumah lo?"
"Bukan, rumah tetangga. Sebelahnya lagi baru rumah saya."
Zian menggeleng pelan, kalo bukan rumah dia ngapain disebutin pake denah belibet lagi, kan Zian jadi pusing tapi salah satu kelebihannya adalah mengingat, makanya setiap penjelasan Arin dia bisa mengingatnya dan akhirnya dia bisa mengantar Arin selamat sampai rumah tanpa bertanya dua kali pasal alamatnya.
"By the way, terima kasih ya kak ayas tumpangannya. Dan maaf juga jika kakak sedikit tersinggung dengan setiap ucapan saya tadi. Emm gak masuk dulu?" Tolong siapapun geplak mulut Arin yang sok-sok an ngajak lelaki mampir ke dalam rumahnya.
"Lain kali saja. Oh iya besok lo harus inget dengan barang yang sudah gue umumin tadi di aula, jangan sampai lupa soalnya gue gak bakalan tau hukuman apa yang pantas buat siswa lalai," ujarnya dengan tatapan mengintimidasi.
"Ck iya-iya," Arin berdecak sebal dikira lalai.
"Oke, gue balik dulu."
"Iya hati-hati."
Zian membalas dengan senyuman, setelah itu masuk mobil dan pergi.
Arin menyeret kakinya memasuki rumah, karena capek dia menghempaskan tubuhnya di atas sofa kemudian kakinya diselonjorin untuk meregangkan otot kaki.
"Baru pulang sayang?" terdengar suara Mamanya dari arah dapur sambil membawa segelas air putih di tangan kirinya. Arin mengangguk sebagai jawaban kemudian lanjut lagi merebahkan tubuhnya di sofa panjang, mencoba memejamkan matanya.
"Tadi dianter pulang sama siapa? Pacar kamu?"
"Bukan Mah, Mama suka menafsirkan tanpa tau faktanya ih," kesalnya.
"Kan Mama nanya sayang, tapi laki-laki tadi lumayan sih. Dia ganteng banget, apalagi pas senyum manis nya."
"Biasa aja, malah menurut Arin gantengan kang bakso yang kemarin lewat depan rumah."
"Kayaknya kamu harus ke dokter mata deh."
"Udah ya Mah, Arin cape. Bete juga karena Papa gak bisa jemput, alhasil Arin pulang sama tuh Ketos," Arin bangun dari tidurnya hendak ke kamar untuk membersihkan diri.
"Oh iya Mah, ini ada daftar barang yang harus Arin bawa besok. Nanti sore anter Arin beli ya," Arin menyerahkan selembar kertas ke Mama nya habis itu pergi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 131 Episodes
Comments