Kini semua nya sudah kembali berkumpul di aula sesuai arahan dari sang ketua Osis. Tidak butuh lama semua sudah kembali membuat barisan tanpa ada cekcok dulu yang tinggi harus di belakang dan yang pendek harus di depan.
"Eh Zian, semua udah kumpul tuh," tunjuk Rangga pada Zian yang sedang santai memainkan game online di ponselnya. Zian menghela nafas, merutuki dirinya sendiri kenapa harus memberi waktu 5 menit, seharusnya kan 10 menit agar dia leluasa memainkan gamenya.
"Gantian sekali ngomong, gue males," ujar Zian kemudian memasukkan ponselnya ke dalam saku celananya.
"Heh tanggung jawab lo yang buat syarat aneh kayak tadi, kayaknya tuh ciwi-ciwi tergila-gila sama lo," tunjuk Rafi pada sebagian siswi yang menatap kagum ke arah Zian, sepertinya mereka siap untuk menagih janji.
"Gue salah ngomong tadi," jawab Zian cengegesan.
"Terserah, yang penting lo tanggung jawab. Udah sono cepat biar nih acara kelar, gue mau healing," protes Rangga seraya menarik narik lengan baju Zian. Zian naik ke atas mimbar sebagai ketua Osis yang bertanggung jawab dengan tugasnya, sementara temannya yang lain pasang senyum bego di belakang, siap-siap aja nanti dikejar para siswi yang sedang tergila-gila.
"Langsung kita mulai saja, para siswa dan siswi silahkan berbaris untuk menyerahkan benda apa saja yang kalian dapat dan sebutkan nama kalian setelah menyerahkannya, sebab nanti akam dipanggil satu-satu untuk syarat yang sudah saya umumkan sebelumnya," jelas Zian dengan raut wajah seramah mungkin biar menutupi rasa malasnya. Ucapan Zian kembali mendapat sorak sorai yang meriah.
Semua sudah tampak berbaris maju untuk menyerahkan benda yang ditemukan kepada ketiga anggota Osis selain Zian karena dia mendapat bagian menulis nama siswa yang dapat minimal dua benda.
Siswa cowok sudah pasti incarannya Agatha sang wakil ketua Osis, siapa sih yang gak tertarik sama perempuan setengah bule itu. Udah cantik, baik, ramah lagi.
Tidak membutuhkan waktu lama untuk melakukan kegiatan ini sekitar 25 menit.
Di antara semuanya mungkin hanya Arin yang membawa satu benda saja sedangkan yang lainnya rata-rata dua. Arin sih gak masalah, dia juga gak minat sama sekali, asal ada buat digenggam di tangan udah cukup buat dia, kebetulan juga Arin dapet giliran terakhir.
"Kok cuma satu?" tanya Rangga kala melihat sebuah sapu tangan diletakkan begitu saja oleh Arin di depannya.
"Well, hanya itu yang bisa saya temukan," Arin mengedikkan bahunya acuh.
"Baiklah, kami mohon maaf kamu tidak bisa mendapat kesempatan buat berfoto dengan kita," ujar Rangga.
"Saya juga gak tertarik, cuma foto doang gak membuat saya tergiur, maaf lancang tapi ini pendapat saya, terima kasih," Arin balik badan kemudian menyusul yang lain di tengah aula. Mereka berempat yang mendengar ucapan sarkas Arin langsung kaget dan terdiam seketika.
"Anjir berani banget tuh cewek, masih jadi siswa baru aja udah belagu," Rafi menggeleng pelan memaklumi sikap Arin.
"Sudah diam, siapa nama gadis itu?" tanya Zian.
"Mana gue tau, kita kan gak terima satu benda, minimal dua benda seperti kata lo," ketus Rangga.
"Tadi gue gak sengaja liat nametag dia, namanya Arin kalo gak salah," sahut Agatha yang dari tadi cuma diam memperhatikan.
"Oke. Arin, sudah gue tulis," ujar Zian sambil memperlihatkan lembaran yang tertulis nama-nama semua siswa.
"Lah lo gak adil, cepat hapus tuh nama! Yang lain capek-capek keliling nyari dua benda masa mau lo samain sama tuh anak yang cuma dapet satu?" Rangga tentu saja protes, soalnya masih kesel dengan kata-kata Arin tadi.
"Udah diem, lo gak tau apa isi otak gue," jawab Zian kemudian berjalan menuju mimbar.
Arin duduk selonjoran di tepi aula bersandar pada tembok sambil memperhatikan para siswa dan siswi yang sibuk ngantri untuk foto bersama dengan para anggota Osis.
"Ini udah bisa pulang gak sih? Aku laper banget, nyesel gak dengerin Mama tadi," Arin bergumam sambil memegangi perutnya yang mulai meraung-raung minta diisi. Karena dirasa sudah gak ada kegiatan lagi dan jam sudah menunjukkam pukul 11 siang, Arin mengangkat ranselnya kemudian hendak pergi dari aula yang membosankan ini. Namun, tiba-tiba tangannya ditarik oleh seseorang, gak tau siapa karena Arin belum nengok ke belakang.
"Kenapa?" tanya Arin setelah tau seseorang itu yang tak lain adalah Zian.
"Mau kemana?" Zian bertanya balik membuat Arin merenggut kesal, ditanya malah nanya balik.
"Bukan urusan kakak," ketus Arin.
"Salah satu aturan sekolah di sini, kamu gak boleh bersikap seperti itu terhadap kakak kelas terlebih lagi pada para anggota Osis, karena kami sangat berpengaruh di sini asal kamu tau," jelas Zian. Arin mengatup kedua belah bibirnya, dia sudah salah ngomong. Cacing di perutnya membuatnya berkata sarkas. Jangan sampai dia dipecat dari sekolah ini hanya karena omongan dia yang kasar terhadap Osis, bisa-bisa Mama dan Papa akan mengurungnya di dalam kamar.
"Baiklah, saya minta maaf atas perkataan yang tidak sopan tadi. Tapi boleh minta tolong gak lepasin tangan saya," ujar Arin dengan senyum sinisnya. Zian melotot, dia baru sadar ternyata belum melepaskan tangan Arin.
"Oh, sorry," Zian jadi salah tingkah.
"Saya mau ke kantin, laper. Kalo sudah kenyang baru kesini," Arin melenggang pergi membiarkan Zian menatap punggungnya yang mulai menjauh.
"Lo ngapain di sini?" Agatha menepuk pundak Zian pelan yang membuat sang empunya kaget.
"Gu-gue tadi nyamperin gadis itu," tunjuk Zian ke arah pintu.
"Arin?" Agatha mengernyit bingung. Zian mengangguk pelan.
"Buat apa?"
"Gue cuma penasaran aja sama tuh anak. Udah lah gak penting, gue ke sana dulu," Zian kemudian pergi meninggalkan Agatha menuju perkumpulannya. Agatha mematung di tempat, heran dengan sikap Zian.
....
Arin duduk termenung di depan gerbang sekolah, lagi mikir pake apa buat pulang sekolah. Taxi yang dipesan gak ada yang beroperasi di sekitar sini, kan Arin jadi kesal. Mau telpon Papanya juga gak mungkin, takutnya ganggu.
"Aku jalan kaki aja kali ya?" Arin menimbang-nimbang.
"Tapi panas banget udah kayak simulasi neraka," gerutunya lagi mengurungkan niatnya untuk jalan kaki. Sekolah sudah mulai sepi, yang lain juga sudah banyak yang pulang kecuali guru dan para anggota Osis yang katanya sedang rapat.
"Mau nunggu di sini juga gak bakalan ada yang jemput. Aaakkhhh, Mama Papa tolongin Arin."
Di sela kebingungannya, tiba-tiba saja ada yang menepuk bahunya. Arin terlonjak hampir kejengkang ke belakang.
"Kok belum pulang?" tanya seseorang itu, sepertinya dia sudah selesai rapat. Arin terdiam cukup lama memandangi wajah siapa yang saat ini sedang mengajaknya bicara, karena pemuda itu menutupi sinar matahari jadi otomatis tidak terlalu kelihatan, tapi suaranya Arin sangat mengenalnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 131 Episodes
Comments