Pengamen Jalanan

Sudah dua minggu sejak Julian dinyatakan lulus sekolah, Ia tidak pernah bertemu lagi dengan Marsha atau teman sekolahnya. Ya, mereka semua pasti sibuk mencari tempat kuliah terbaik, ternama dan terfavorit. Beberapa dari mereka bahkan merencanakan kuliah di luar negara.

Julian tidak tahu Marsha akan melanjutkan pendidikan dimana. Ia hanya pernah mendengar selentingan kalau gadis yang dicintainya itu ingin jadi dokter. Dalam hati, Julian hanya bisa mendoakan Marsha akan sukses meraih mimpinya. Ia lebih baik memendam cinta pertamanya hingga pudar seiring masa.

Setelah sarapan seadanya, Julian memasukkan map berisi lamaran kerja ke dalam tas. Itu adalah surat lamaran ke-20 dalam dua minggu terakhir. Parahnya, belum ada satu perusahaan pun yang memanggilnya untuk interview lanjutan.

“Julian … kamu mau masukkan lamaran kerja lagi hari ini?” tanya Bu Rosidah selaku ibu panti.

Julian menjawab tenang, “Katanya kafe donat dan susu butuh office boy, Bu! Aku mau coba masukkan lamaran kesana!”

“Sabar ya, Nak! Ibu yakin kamu bisa dapat pekerjaan yang layak! Sebenarnya kamu tidak perlu mengamen setiap hari ….”

“Aku tidak mungkin hanya diam, menunggu mendapatkan pekerjaan tanpa melakukan apapun. Aku sudah lulus sekolah, sudah seharusnya aku menghasilkan lebih banyak uang untuk membantu adik-adik di panti ini.”

Bu Rosidah menghembuskan nafas panjang, “Kamu bekerja sangat keras dua minggu ini, Julian. Semoga yayasan sekolahmu dulu mempertimbangkan untuk memberikan beasiswa kuliah untukmu! Ibu sudah mengajukan permohonan.”

“Aku berangkat, Ibu! Doakan aku sukses!” pamit Julian sambil mencium tangan ibu panti. Ia tahu Bu Rosidah bukan ibunya. Tapi Julian menyayangi wanita yang merawatnya dari sejak lahir itu melebihi siapa saja. Ia mengabaikan pembahasan kuliah dengan biaya yayasan. Julian sudah cukup kenyang dengan penghinaan.

Julian keluar menenteng gitar dan tas punggung. Ia harus mengamen lebih giat untuk bertahan hidup. Ia sudah bertekad mencari informasi keberadaan orang tuanya. Bermodalkan pas foto hitam putih yang sudah pudar, Julian akan bertanya pada orang-orang di jalan yang mungkin mengenali wajah wanita dalam foto itu.

Sulit pastinya, foto itu mungkin usianya sama dengan Julian yang bulan depan genap 18 tahun. Foto itu ditinggalkan dalam keranjang bayi berisi Julian, di depan panti asuhan Bu Rosidah pada malam hari. Julian berdecak dan mengacak rambutnya, ia tidak ingin larut dalam kesedihan.

Di perempatan lampu merah tempatnya biasa mengamen, Julian bertemu sahabat seprofesi. “Udah dapet berapa, Pan!”

Topan menjawab penuh energi, “Hampir dua puluh ribu, lumayanlah! Mau gantian?”

“Nop! Aku mau ke kafe baru di ujung jalan, biasa … cari kerjaan!” jawab Julian.

“Hm, pantesan baju kamu agak rapi. Kamu punya ongkos buat kesana? Aku ada kalau cuma buat naik ojol … nih!” Topan mengulurkan uang lima belas ribu.

Julian menolak, “Aku jalan aja sambil nyanyi door to door!”

“Oke, semoga sukses!”

Julian berjalan menuju kafe sambil mengamen. Berapapun dia terima dari orang yang mengasihaninya. Ia juga menerima umpatan pemilik warung karena tidak ada uang kecil, atau alasan menyakitkan lain yang mencaci : masih pagi sudah ngamen!

Nah, mengamen adalah profesi Julian. Bukankah wajar jika ia berangkat pagi untuk menjemput rezeki? Ia bahkan pulang larut malam agar uang yang dihasilkan bisa cukup untuk tambahan belanja ibu panti.

Julian akhirnya sampai kafe, ia menitipkan lamaran di bagian administrasi. Setelah itu ia masuk ke dalam perumahan terdekat untuk mencari peruntungan mengamen door to door lagi.

Lima belas menit di dalam perumahan, Julian menghasilkan uang dua ribu rupiah. Tapi ia tetap semangat mencari rumah yang pintunya terbuka, untuk dihibur dengan petikan gitar dan suara merdunya.

Melewati semak-semak yang memisahkan jalan perumahan, Julian dikejutkan suara teriakan seorang perempuan.

“Maling … tolong ada maling!” Lalu empat orang mendadak muncul dari arah belakang Julian, dan menyergapnya tanpa aba-aba.

“Maling kamu ya?” tanya pria bertato dengan nada geram. Pria itu menjepit leher Julian dari belakang.

“Bukan, Bang!” jawab Julian bingung. "Ada apa ini, Bang?"

“Mana ponsel yang kamu curi, heh? Ayo ngaku!” Satu orang meloloskan paksa tas punggung Julian dan memeriksanya. Mengambil ponsel butut Julian dan mengacak-acak isi tas tersebut. Gitar Julian dilempar serampangan tanpa kasihan.

“Maling mana ada yang mau ngaku! Udah gebukin aja biar kapok!” seru salah satu preman perumahan memprovokasi.

Dua orang berikutnya lalu menghajar Julian di bagian wajah dan perut. Julian tak sempat menjelaskan situasinya, bahwa ia datang ke perumahan itu hanya untuk mencari uang dengan mengamen. Ia bukan pencuri.

Namun, gitarnya yang menjadi saksi tidak mampu menolong. Benda kesayangan Julian itu bahkan sudah remuk karena diinjak-injak preman yang baru saja mengacak-acak tasnya.

Julian hanya bisa mengaduh sakit. Tubuhnya dipukuli tanpa jeda oleh empat pria. Ia tak sempat membela diri sedikitpun. Mereka baru berhenti main hakim sendiri setelah Julian ambruk dan nyaris kehilangan kesadaran.

Darah keluar dari hidung dan mulut Julian. Lebam mulai tampak di sejumlah kulit yang tidak tertutup pakaian. Julian sudah tampak sekarat dan akhirnya ditinggalkan di semak-semak.

“Waduh kebablasan kita, Bro! Mati itu nanti anak orang.”

“Aku lihat masih bernafas kok dia. Itu pelajaran buat para pencuri dengan modus mengamen!”

Julian hanya mendengar samar-samar suara obrolan yang semakin menjauh darinya. Tubuhnya tidak bisa bertahan terhadap rasa sakit, akhirnya ia pun pingsan.

Tiga puluh menit berikutnya, Julian mulai sadar. Kepalanya berdenyut nyeri, begitu juga dengan seluruh tubuhnya. Ia berusaha duduk dengan sisa tenaga. Pusing seketika melanda.

DING!!!

Julian memutar pandangan untuk mencari suara aneh yang asalnya entah darimana. “Siapa di sana?”

[Selamat siang, Tuan. Aku adalah Sistem Kekayaan Paranormal. Tuan terpilih menjadi tuan rumah sistem untuk periode sekarang. Apakah Tuan bersedia bergabung dan menyatu dengan sistem?]

Semak-semak tempat Julian pingsan cukup rimbun, dan suara robot yang berbicara padanya terasa sangat dekat. Julian bergumam lirih, “Jangan-jangan tempat ini angker dan berhantu!”

[Aku bukan hantu, Tuan! Aku adalah sistem pemandu kekayaan. Apakah Tuan bersedia bergabung dan menyatu dengan sistem sekarang?]

“Sistem kekayaan? Aku memang butuh uang tapi … arrrrgggg!” Julian memegang kepalanya yang mendadak sakit luar biasa seperti ditusuk seribu jarum.

[Sistem dalam proses penggabungan dengan tuan rumah ….]

[Loading 10%]

[Loading 50%]

[Loading 100%]

[Selamat! Tuan adalah pemilik Sistem Kekayaan Paranormal termuda untuk periode ini.]

“Paranormal termuda? Apa maksudmu? Aku tidak ingin jadi paranormal, dukun atau orang pintar! Cita-citaku ingin menjadi pengusaha sukses, jangan sembarangan bicara kamu! Hei setan, jin, demit … keluar dari tubuhku!” Julian memukul dada dan menjitak kepalanya sendiri dengan ekspresi keki.

[Aku adalah sistem pemandu, Tuan! Aku bukan setan, jin atau demit! Panggil saja aku Mbah Jambrong!]

“Mbah Jambrong? Sistem kok namanya kayak dukun santet!” gumam Julian. Ia langsung membayangkan seorang paranormal berwajah sangar, dengan kumis tebal seperti Pak Raden, berambut gondrong seperti Limbad.

***

Terpopuler

Comments

Hulatus Sundusiyah

Hulatus Sundusiyah

baru baca dah mulai suka😁

2024-10-02

1

🍭ͪ ͩ𝕸y💞🅰️nnyᥫ᭡🍁❣️

🍭ͪ ͩ𝕸y💞🅰️nnyᥫ᭡🍁❣️

wkwkwk🤣🤣 sistem nya jadul pasti.. namanya jadul bener 🤣🤣🤣

2024-01-26

2

🍭ͪ ͩ𝕸y💞🅰️nnyᥫ᭡🍁❣️

🍭ͪ ͩ𝕸y💞🅰️nnyᥫ᭡🍁❣️

udah lama aku gak baca ginian 😅

2024-01-26

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!