“Kamu apa kabar?” tanya suara lembut yang sedikit parau dari seberang sana.
“Aku baik, Mah,” jawab Geo di sela kunyahannya.
“Lagi makan?” kembali suara wanita paruh baya itu bertanya.
“Iya,” sahut pemuda bergelar dokter itu singkat.
“Oh, ya sudah, lanjutkan, nanti Mamah telepon lagi kalo sudah selesai,” tutur lembut itu hendak mengakhiri percakapannya.
“Nggak ko Mah, udah selesai, ada apa Mamah telpon aku?” cegah Geo, tangannya meletakan sendok yang sedang dipegangnya.
Sambil berjalan menuju dapur, Geo masih mendengarkan suara dari kejauhan itu. Mereka berbincang dengan asyik.
Bu Rosa, beliau adalah ibunda dari Geovano Pratama, yang tinggal di luar negeri bersama suaminya, Ayah Geo.
Sang ibunda selalu menyempatkan berkomunikasi dengan anak tunggalnya yang tinggal sebatangkara di Indonesia.
Sesekali Geo tersenyum, wajah tampannya terlihat berbinar-binar ketika berbincang dengan wanita yang melahirkannya itu.
Bu Rosa sudah membujuk Geo untuk tinggal bersamanya, namun Geo memilih tinggal sendiri di Indonesia.
“Mamah jaga kesehatan, ya! Jangan terlalu ikut menyibukan diri dengan pekerjaan Papah,” pesan Geo pada Mamahnya.
“Iya sayang, kamu juga, yah, jangan banyak bergadang, nongkrong-nongkrong nggak bermanfaat, mendingan dipake buat istirahat,” ujar Bu Rosa mengingatkan hal yang sama.
Geo tersenyum, “iya, Mah,” sahut anak tunggal dari keluarga Hendrawan itu mengakhiri percakapannya dengan satu-satunya wanita yang selalu mengerti cara menaklukan hatinya.
Dokter muda itu terlihat memasuki kamar dan bersiap-siap untuk hangout, ia menyambar kunci mobil yang tergeletak di atas meja makan.
Geo bermaksud menghibur dirinya malam itu, dia selalu memanfaatkan waktu malam liburnya untuk sekedar menikmati kopi di luar apartemennya.
Kendaraan roda empat itu melaju menuju sebuah café.
Tak berselang lama Geo pun sampai di tempat berkumpulnya para anak muda itu. Bartender di sana rupanya sudah mengenal Geo sebagai langganannya.
“Sore, Pak dokter!” sapanya dengan wajah yang ramah dan senyum yang menawan.
“Sore,” balas Geo, lalu duduk di bangku yang sudah tersedia di sana.
“Kopi? Or what?” tanya bartender itu kemudian.
“Latte,” jawab Geo singkat. Dokter muda itu meletakan ponsel dan kunci mobilnya di atas meja tepat di depannya.
Bartender itu dengan keterampilannya meracik latte pesanan Geo, tak berselang lama secangkir latte panas sudah siap dinikmati pemesannya.
Sebenarnya Geo ingin menenangkan fikirannya saat itu, dia masih merasa bersalah atas kejadian yang menimpa pria tua yang tak dapat diselamatkannya tadi siang.
Anak lelaki yang mengantarkan ayahnya tadi siang itu ternyata bukan hanya ditinggalkan ayahnya, tapi ibunya pun sudah lebih dulu meninggal, hingga sekarang anak umur sembilan belas tahun itu adalah seorang yatim piatu.
*****
Devan kaget melihat ada sesosok perempuan yang tiba-tiba saja pingsan di depan kuda mesinnya itu.
Pemuda tampan itu berusaha membawa tubuh perempuan muda itu ke pinggir jalan.
“Mbak, bangun, Mbak!” tegurnya pada perempuan yang masih belum sadarkan diri itu.
“Kenapa itu, Mas?” seorang supir taxi yang sedang duduk di kursi pinggir jalan itu pun menghampiri Devan yang sedang kebingungan.
“Nggak tau Pak, ini tiba-tiba pingsan di depan motor aku tadi, untuk nggak ketabrak,” terang Devan.
Supir taxi itu mengeluarkan botol minyak wangi dari tas pinggangnya, lalu meletakkan ujung botol pada lubang hidung mancung gadis itu.
Vania, perlahan membuka matanya, pandangannya mulai jelas melihat seorang pemuda tampan yang sedang memangkunya di pinggir jalan.
“Dimana aku?” lirihnya dengan suara yang nyaris tak terdengar.
“Mbak tadi pingsan di jalan,” jawab Devan, segera pemuda itu membantu Vania bangun dan duduk di bangku tempat orang-orang menunggu bis lewat.
“Udah sadarkan?” supir taxi itu memastikan keadaan Vania.
Gadis bermata biru itu mengangguk, dia berusaha mengingat hal yang terjadi. Air matanya mulai menggenang, dan akhirnya lolos mengalir di pipi mulusnya.
“Kenapa?” tanya Devan keheranan.
“Nggak apa-apa,” bisik Vania di iringi isakannya.
“Mbak bisa pulang sendiri? Ini kebetulan ada taxi.” Gadis itu mengangguk, dia beranjak dari tempat duduknya, lalu melangkah memasuki taxi yang sudah terparkir dari tadi.
“Pak, hati-hati yah,” ucap Devan.
“Siap, Mas!” sahut supir taxi yang tadi membantu Devan menyadarkan Vania.
Setelah mobil berpenumpang itu sudah berjalan, barulah Devan menghampiri kendaraannya, ia pun kembali melanjutkan perjalanan pulangnya.
Sekitar setengah jam, pemuda tampan calon pengacara itu tiba di rumahnya, tepatnya rumah orang tua Devan, kediaman Pak Bagaskara.
“Assalamu’alaikum,” ucap Devan dari ambang pintu yang sudah terbuka.
“Alaikumussalam,” jawab seorang wanita yang sudah tak lagi muda, namun wajahnya masih terawat.
Devan memeluk wanita cantik itu.
“Mah,” sapanya.
“Mandi, ganti baju, kita makan malam bareng,” tutur Bu Maria, istri Pak Bagas, ibunda Devan dan Karina.
“Siap, komandan,” canda Devan lengkap dengan gerakan hormatnya yang tegap.
Bu Maria mencubit hidung anaknya yang tidak terlalu mancung.
“Anak nakal,” ejeknya.
Devan mengaduh kesakitan dan memegang hidungnya yang terlihat memerah, lalu pergi berlari ke dalam kamarnya.
Pemuda berusia dua puluh tiga tahun itu, tepat di bulan depan dipastikan bergelar sarjana hukum.
Devan pemuda yang cerdas, dia berhasil meraih nilai cumlaude di fakultasnya.
Devan pemuda yang acuh dan cuek dalam masalah percintaan, dia tidak pernah terlihat dekat dengan seorang gadis sampai saat ini.
Namun hatinya bergetar saat bertemu dengan Sarah.
Gadis bermata bulat itu berhasil menetap di dalam fikiran Devan.
Selesai membersihkan badannya lelaki muda itu memantaskan diri di depan cermin. Ia mengenakan kaos bertangan pendek dipadu dengan celana training panjang yang bertuliskan nama kampus tempatnya meraih ijazah.
Devan keluar dari kamarnya dan menuju ruang makan. Di sana personil keluarga sudah menunggunya.
“Kakak lama banget, dandannya kaya anak cewek aja,” seloroh Karina sambil memasang muka kesal.
“Maafkanlah Kakakmu ini adikku,” goda Devan sambil mengacak-ngacak rambut adiknya itu, membuat Karina semakin kesal.
“Papaaah, Kakaknya nih,” Karina merajuk meminta pembelaan dari Sang ayah.
“Sudah-sudah, ayo makan, kalian kapan akurnya, sih,” ujar Pak Bagaskara.
“Devan, pimpin do’a!” titah Sang ibunda.
Anak sulung itu dengan hidmat memimpin do’a sebelum makan.
Selesai makan malam, Devan pamit lebih dulu masuk ke kamar. Pemuda tampan itu kini sudah merebahkan tubuhnya di atas ranjang kasur tempatnya beristirahat.
Fikirannya mulai melayang menuju Rumah Sakit tempat sahabat Ayahnya dirawat. Dia mengingat sosok gadis yang berhasil membuat ruang di dalam otaknya terpenuhi dengan lengkap.
*****
Di ruangan VIP itu Sarah baru saja selesai mengepak barang-barang dan pakaian orang tuanya ke dalam koper besar.
Dia bersyukur saat kecelakaan menimpa Sang Ayah, dirinya sudah bebas dari sekolah. Tinggal menunggu ijazah untuk melanjutkan sekolahnya ke perguruan tinggi.
“Sarah, kamu mau lanjut kuliah atau mau langsung nikah?” Gadis bermata bulat itu membelalak kaget dengan pertanyaan yang baru saja dia dengar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments