Pandangan Pertama

“Geo, kemana aja sih? Aku telpon kamu berkali-kali nggak diangkat, whatsapp aku juga nggak kamu balesin, kamu udah lupa sama aku?” celoteh seorang perempuan dari dalam speaker handphone milik dokter muda yang baru saja menangani Pak Prayoga.

“Maaf, aku tadi lagi nanganin pasien kecelakaan, jadi nggak bisa angkat telpon,” ucap pemuda pemilik mata elang itu.

“Ya udah aku maafin, tapi kamu harus bisa makan malam sama aku hari ini,” ketus Vania, pacar Geo yang super manja alias kolokan.

“Iya, Aku usahain,” jawab Geo datar.

“Dok, maaf, ada pasien darurat di ruang UGD,” ungkap seorang perawat yang datang dengan tergesa-gesa.

“Aku harus ke ruangan lagi.” Percakapan itu selesai dengan satu sentuhan telunjuk Geo pada layar ponselnya.

Geo kembali bergegas menuju ruangan tempatnya bertugas.

*****

Sarah pamit pada ibunya untuk membeli makanan dan minuman ke luar. Ayah Sarah sudah berada di ruang rawat inap saat itu.

Brukkk … Sarah menabrak seseorang yang sedang berjalan dari arah berlawanan dengannya.

“Aduhh.”

Ponsel Sarah terjatuh ke lantai, pemuda berjas putih itu memungutnya, Sarah pun berusaha meraih kembali ponselnya.

Sejenak pandangan keduanya beradu.

“Maaf, saya buru-buru,” ucap Geo dengan cepat dia mengalihkan pandangannya.

Sarah terkesima melihat ketampanan dokter muda itu di hadapannya. Ia tak dapat berkata, hanya dapat menganggukan kepala. Padahal yang salah justru dirinya, karena berjalan tanpa melihat ke arah depan.

Setelah meminta maaf Geo kembali melanjutkan langkahnya menuju ruang UGD.

Sarah menatap punggung dokter tampan itu.

“Ganteng banget,” pujinya sambil memegang ponsel.

*****

“Papah tega banget, ama anak sendiri juga,” Devan merajuk saat Papahnya datang dengan ucapan lantangnya.

“Kamu itu memang nggak bisa disiplin, apa-apa semaunya sendiri, mau jadi apa kamu?” hardik Pak Bagas pada anak semata wayangnya.

“Devan nggak sengaja, Pah.”

Devan tertunduk, tak ada yang bisa dia lakukan selain pasrah dengan keadaan. Harapan satu-satunya adalah Papahnya.

Pak Bagas meminta izin untuk berbicara dengan Kapolsek setempat, yang kebetulan adalah juniornya saat masih aktif dulu di kepolisian.

Pak Bagas adalah seorang purnawirawan polisi, beliau pensiun muda karena harus menjalankan amanat untuk meneruskan usaha kuliner milik almarhum orang tuanya. Kegagahan dan kedisiplinannya masih melekat dalam diri pria berusia enam puluh tujuh tahun itu.

Setelah berbincang di ruangan Kapolsek, Pak Bagas terlihat berpamitan dan keluar dari ruangan.

“Ayo pulang, kamu dihukumnya di rumah,” bentak Pak Bagas sambil menjinjing kerah bagian belakang, jaket yang dikenakan anaknya.

Pria berwibawa itu membawa Devan seperti seorang polisi yang berhasil menangkap maling.

Devan terhuyung karena tarikan tangan Papahnya. Semua anggota polisi yang berada di sana tersenyum-senyum melihat kelakar Bapak pada anaknya itu.

Sampai di luar Polsek Devan menghela nafas lega, dia tau betul segalak apapun Papahnya, beliau tidak pernah mengabaikannya dalam hal apapun.

“Makasih, Pah,” ucap Devan setelah Pak Bagas melepaskan pegangannya.

Tanpa menjawab pria berkaca mata itu meninggalkan Devan yang masih berdiri di depan kantor polisi.

Devan menghampiri sepeda motor kesayangannya.

Ting … ting … suara whatsapp masuk di ponselnya.

‘Kamu ke Rumah Sakit besok pagi, minta maaf pada pengendara mobil yang udah kamu bikin celaka, nggak usah minta ditemenin, belajar bertanggung jawab sendiri, kamu tau kan gimana caranya minta maaf?.’

Chat itu dari Papahnya, yang sudah lebih dulu meninggalkan Polsek dengan pajero putihnya.

Devan tersenyum, dia hafal betul dengan sifat lelaki yang menjadi panutannya sejak kecil.

Setelah memasukan kembali ponselnya ke dalam tas gendongnya, pemuda berambut pirang itu kemudian melajukan kendaraan roda duanya menuju kediamannya sendiri.

*****

Sarah sudah berada di ruangan tempat dimana Ayahnya dirawat usai mengalami kecelakaan.

“Bu, Ibu pulang saja. Ayah aku yang jagain,” bujuk Sarah pada Ibunya yang sudah terlihat lelah.

“Nggak apa-apa, biar Ibu disini nemenin Ayah, kamu aja yang pulang, istirahat,” tolak Bu Marni, sambil menyeruput teh manis hangat yang dibelikan Sarah.

“Ibu ingin lihat Ayah sadarkan diri dulu,” lanjutnya dengan tatapan resah tertuju pada suaminya yang masih terbaring lemah.

Sarah bergeming. Dia tau betul, betapa Ibunya sangat mengkhawatirkan Ayahnya.

*****

Vania sudah berdiri di depan Rumah Sakit sejak satu jam yang lalu, dia terlihat sudah tak lagi memiliki kesabaran. Dengan wajah kesal gadis manja itu berjalan menuju ruangan tempat dimana dokter Geo Sang pujaan hatinya itu berada.

Tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu, Vania menerobos masuk, ekor matanya menyapu seluruh ruangan, namun pandangannya tak menemukan sosok yang dia cari.

“Cari dokter Geo, ya, Mba?” tanya seorang dokter Farah, teman Geo, pada Vania yang masih berdiri diambang pintu.

Gadis bermata biru itu mengangguk.

“Geo udah pulang dari tadi,” terang seorang dokter laki-laki yang tengah mengenakan jas kebesarannya.

Tanpa basa basi lagi, Vania berbalik dan membanting pintu yang bertuliskan ruangan dokter itu.

“Astaga, si Geo dapet Nenek sihir darimana sih,” celetuk dokter Kemal yang kini sudah siap bertugas dengan jas putihnya. Semua yang ada di ruangan itu tertawa dibuatnya.

Vania berusaha menghubungi Geo, dia terus mendial nomor kekasihnya berkali-kali, namun tak ada jawaban selain suara mesin penjawab otomatis yang menyuruhnya meninggalkan pesan.

Gadis itu menuju mobil yang diparkirnya di depan Rumah Sakit, dia kembali pulang dengan kekecewaan di dalam hatinya.

“Lu? Kok baru nongol sih, barusan cewek lu kesini, gue fikir lu udah balik,” tanya Kemal pada Geo yang muncul dari balik pintu toilet ruangan.

“Baguslah, capek gue ngadepinnya,” keluh Geo sambil menghempaskan tubuhnya di atas kasur tempat beristirahat dokter yang berjaga malam.

“Terus lu nggak balik?” Kemal bertanya lagi.

Geo menggelengkan kepala dengan mata yang sudah dipejamkannya.

Kemal berdecak, lalu keluar meninggalkan Geo yang mulai terlelap.

*****

Matahari pagi menyambut pergantian hari dengan hangat sinarnya yang menerobos dinding kaca sebuah jendela yang masih tertutupi gorden berwarna biru muda.

Sarah terbangun, dia melihat Bu Marni masih berada di atas sajadahnya. Sarah sedang berhalangan, dia tidak mengerjakan dua rakaat subuhnya.

“Bu … Ibu …” panggil Pak Prayoga dengan suara yang nyaris tak terdengar.

“Pak, Bapak sudah sadar, Alhamdulillah ya Allah,” ucap Bu Marni menyambut kesadaran suaminya.

Sarah yang baru saja keluar dari kamar mandi mendengar suara Ibunya.

“Bapak …” Sarah menghampiri sosok lelaki panutannya itu dan memeluknya.

Keduanya tak dapat membendung buliran haru yang lolos melintasi pipi mereka masing-masing.

Tok … tok … suara pintu yang diketuk dari luar.

“Siapa yang datang pagi-pagi begini?”

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!