Geo membuka matanya, hari sudah pagi. Ia bergegas menuju kamar mandi, selesai dari sana dokter muda itu menyambar tas gendong dan kunci mobil di atas meja kerjanya.
“Kemana?” tanya Kemal yang baru saja masuk ke ruangan itu.
“Balik dulu bentar, jam masuk gue masih satu jam lagi,” jawab Geo.
“Jangan lama-lama, gue juga pengen balik cepet,” teriak Kemal.
Geo mengacungkan jari jempolnya sambil berjalan keluar.
*****
“Cari siapa?” tanya Sarah pada Devan yang masih bergeming diambang pintu sambil membawa parsel buah ditangannya.
“Oh, iya, maaf, ini bener kamar rawat atas nama Pak Prayoga?” tanya Devan sambil menikmati binar sepasang bola mata bulat yang berada di depannya.
Sarah mengangguk, “iya, benar, beliau Ayah saya, ada apa?” lanjut Sarah kembali bertanya.
“Suruh masuk, Nak!” Bu Marni menyela percakapan keduanya dari dalam.
Devan tersenyum, gadis itu meminggirkan tubuhnya sejajar dengan daun pintu yang masih dipeganginya, bahasa isyarat agar tamunya masuk.
Pemuda tampan itu melangkah ke dalam ruangan. Sarah kembali menutup pintu.
“Adek ini siapa?” tanya Bu Marni setelah menerima salam dari Devan.
“Dia anak yang bawa motor itu, Bu,” potong Pak Prayoga dengan suaranya yang masih lemah.
Devan menunduk, “saya mohon maaf, Pak,” sesalnya.
“Oh, jadi kamu yang udah bikin Ayahku celaka?” sosor Sarah dengan wajah ketusnya.
“Maafkan saya, saya nggak sengaja membuat Bapak celaka, kemaren itu saya buru-buru mau berangkat ke kampus, jadi saya menyalip kendaraan di depan tanpa melihat ada mobil Bapak di arah yang berlawanan,” tutur Devan dengan wajah yang masih tertunduk.
Sarah menyedekapkan tangannya, memandang tajam pada lelaki yang usianya sedikit lebih tua dengannya.
“Makanya kalo bawa motor itu jangan ngebut-ngebut, mending kalo celaka sendirian, ini kan nyelakain orang,” ketus Sarah.
“Sudah-sudah, tidak usah diributkan lagi, yang penting Bapak sekarang udah baik-baik aja,” sela Bu Marni berusaha menengahi.
“Siapa namamu?” tanya Pak Prayoga.
“Devano Putra Bagaskara,” pemuda tampan itu menyebutkan nama lengkapnya sesuai KTP.
Mendengar nama Bagaskara, Pak Prayoga mengerutkan kening, sepertinya dia mengenal nama itu.
“Siapa nama Ayahmu?” tanyanya lagi pada Devan.
“Bagaskara, beliau pensiunan dari kepolisian, dulu bertugas di bagian Lantas Polda, Pak,” dengan lengkap Devan menjelaskan identitas Ayahnya.
“Telpon Ayahmu suruh kesini, sekarang!” titah Pak Prayoga.
‘Duhh, gawat, apa lagi nih,’ batin Devan, sambil merogoh ponsel di saku celana jeans yang ia kenakan.
*****
Geo sampai di apartemennya, dia bergegas masuk. Saat berada dalam kamarnya, Geo mendengar ponsel yang terus berbunyi dari dalam tas gendongnya.
Geo mengabaikan panggilan itu, dia sedang memantaskan dirinya di depan cermin, untuk kembali bertugas di ruang UGD.
Geovano Pratama adalah seorang dokter umum yang di tugaskan di ruang UGD Rumah Sakit Umum Daerah itu.
Dia sudah dua tahun menjalankan tugasnya.
Dokter muda itu tinggal sendiri di apartemen, kedua orang tuanya berada di luar negeri, karena Sang Ayah adalah seorang pengusaha yang memilih tinggal di luar negeri untuk mengembangkan bisnisnya di sana.
Geo lebih sering menginap di tempatnya bekerja, dia lebih suka menyendiri dikeramaian daripada menyendiri di apartemennya.
Pintu lift apartemen terbuka, Geo mengurungkan langkah. Gadis bermata biru yang terlihat sembab itu sudah berada didepannya.
“Kamu jahat, Geo,” geram gadis itu dengan suara tercekat menahan tangis.
Geo mematung, dia tak mengeluarkan sepatah katapun dari mulutnya.
“Apa salahku?” gadis itu meraung, tangisnya pecah.
Geo kesal, dia meraih tangan gadis itu dan menariknya masuk ke dalam kotak besi yang pintunya kembali menutup.
Vania belum berhenti menangis, Geo masih memegang tangan gadis itu, keduanya kembali menuju apartemen Geo yang berada di lantai tiga belas.
Pintu lift terbuka, Geo menarik kasar tangan Vania mereka masuk ke dalam apartemen Geo.
“Maumu apa?” bentak Geo, saat ini keduanya sudah duduk di ruang tipi apartemen milik Geo.
“Aku hanya butuh waktumu,” jawab Vania lirih.
“Aku bukan lelaki yang bekerja dengan banyak waktu senggang, kamu tau gimana keadaan di ruang UGD?” suara Geo melemah, ia mencoba menahan kejengkelannya.
Vania bergeming, bulir bening yang mengalir dipipinya masih terlihat deras.
“Kita sudahi semuanya, aku capek dengan segala tuntutanmu selama ini,” tegas Geo dengan wajahnya yang sangat serius.
Vania menggelengkan kepala, “aku nggak mau,” rengeknya.
“Kamu yang memulai semuanya, kamu berjanji untuk mengerti profesiku, tapi apa? Kamu terus menuntut dan menuntut tanpa tau bagaimana aku menjalaninya selama ini, aku capek. Kita selesai, aku antar kamu pulang sekarang.” Geo berdiri, lalu beranjak dari tempat duduknya.
Vania memeluk tubuh kekar itu dari belakang, berusaha meruntuhkan keputusan kekasihnya.
Geo melepaskan pelukan gadis manja itu, dia tetap dengan keputusannya. Vania berlari menuju dapur dan mengambil sebilah pisau, lalu meletakannya di bagian urat nadi tangannya.
“Aku mau bunuh diri, kalo kita putus,” teriaknya pada Geo yang masih berdiri ditempatnya.
“Silahkan, aku mau berangkat kerja.” Geo melangkah pergi meninggalkan Vania yang sudah kehilangan cara untuk meraih kembali hati kekasihnya.
“Aaaarrrggghhh … kamu jahat Geo, jahaaattt …”
Teriakan Vania tak menyurutkan langkah dokter muda bermata elang itu, ia tetap pergi meninggalkan kekasihnya yang bersimpuh di lantai.
Geo tau betul karater Vania yang manja dan penakut, dia yakin kekasihnya itu tidak akan berani melakukan aksinya sendiri, semua itu hanya gertakan.
Geo menghampiri mobilnya di area parkir, lalu melajukannya kembali menuju Rumah Sakit tempat ia bekerja.
*****
Sarah tengah berada disebuah resto, dia memesan makan siang untuk empat orang, disuruh Ayahnya.
Setelah mendapatkan empat paket nasi box, Sarah kembali menuju Rumah Sakit.
Di area parkir Sarah melihat dokter muda yang kemarin bertabrakan dengannya saat berjalan di lorong Rumah Sakit, Sarah memandang pemuda tampan berbadan tegap itu dengan penuh kekaguman.
Seperti sadar ada yang memperhatikan, Geo menengok ke arah Sarah, dia tersenyum dan menganggukkan kepala.
Aksinya itu membuat desiran aneh merasuki hati Sarah, gadis pintar itu sepertinya sudah jatuh cinta pada pandangan pertama.
Sarah melanjutkan kembali langkah kakinya menuju ruangan dimana Ayah tercintanya dirawat.
*****
Pak Bagas menerima whatsapp dari anak laki-laki kesayangannya itu.
Tanpa membalasnya ia segera meluncur menuju tempat dimana Devan berada.
Tak berselang lama Ayah dari Devano Putra Bagaskara itu sudah berada di depan pintu ruangan rawat Pak Prayoga.
Tok … tok … jari telunjuknya mengetuk pintu ruangan dengan hati-hati, takut mengagetkan fikirnya.
Bu Marni membuka pintu dan mempersilahkan masuk.
“Permisi,” ucap Pak Bagas setelah masuk ke ruangan.
“Benar dugaanku, kamu Bagas, sahabatku,” sambut Pak Prayoga dengan wajah berbinar.
Pak Bagas menghampiri pria yang menyebutnya sahabat, keduanya saling berpelukan ala pria dewasa.
“Prayoga, aku tak menyangka kita ketemu lagi dengan cara seperti ini, maafkan anak nakalku,” cakap Pak Bagas dengan lirikan tajam ke arah Devan.
Bu Marni tersenyum, ia ikut bahagia karena suaminya terlihat jauh lebih baik setelah bertemu sahabatnya.
Prayoga dan Bagaskara adalah sahabat dekat, keduanya satu genk saat berada di bangku SMA dulu.
“Ayah, Ibu, ini makan siangnya,” seru gadis bermata bulat itu sambil membuka pintu.
“Nah, ini pasti calon menantuku,” cetus Pak Bagas ketika melihat Sarah dengan tetengan kantong makan siang di tangannya.
“Maksudnya?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments