Pak Prapto tentu saja malam itu tidak bisa tidur dengan nyenyak karena memikirkan tentang penampakan kakek tua tersebut. Beberapa kali ia mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar untuk memastikan jin atau penampakan kakek tua itu apakah masuk ke kamarnya atau tidak. Istri Pak Prapto yang melihat gelagat mencurigakan dari suaminya pun tak bisa menahan diri untuk menanyakan hal tersebut kepada Pak Prapto. Namun, Pak Prapto merahasiakan penglihatannya dari istrinya karena tidak mau membuat istrinya ketakutan.
Keesokan harinya Pak Prapto berangkat kerja agak siang karena badannya merasa agak pegal-pegal setelah semalaman susah tidur. Sepanjang perjalanan tadi pria tersebut juga masih sesekali menoleh ke kaca dashboard untuk memastikan apakah kakek tua itu tidak muncul di kaca itu lagi. Sesampai di ruangannya, Pak Prapto langsung mengumpulkan anak buahnya untuk menyampaikan sesuatu hal yang penting. Anak buahnya pun segera berdiri di depan meja kerja Pak Prapto.
“Hari ini sengaja saya mengumpulkan kalian semua di sini terkait dengan semakin dekatnya waktu pensiun saya. Saya minta kepada kalian untuk bekerja lebih baik lagi ke depannya. Saya tidak mau meninggalkan institusi ini dengan hasil kerja kalian yang kurang optimal. Intinya saya tidak mau saya pensiun masih menyisakan pekerjaan yang masih belum selesai. Kalian paham?”
“Siap, Komandan!”
“Aiptu Cahyo! Tolong nanti saya minta dikirimi buku rekapitulasi kasus selama saya bertugas di sini!”
“Siap, Komandan!”
“Dan satu lagi yang harus kalian ingat! Sepeninggal saya dari sini tolong tingkatkan kinerja kalian demi menjaga kenyamanan masyarakat!”
“Siap, Komandan!”
Setelah memanggil seluruh anak buahnya, Pak Prapto pun duduk merenung di meja kerjanya. Kenangan tentang apa yang ia kerjakan di tempat tersebut dan juga diluar pulau Jawa selama masa pengabdiannya membuat pria tersebut merasa sedih untuk mengenangnya. Aiptu Cahyo yang saat ini menjadi orang kepercayaan Pak Prapto menyadari betul perasaan atasannya tersebut. Setelah semua rekan kerjanya kembali ke ruangannya masing-masing, ia mendatangi Pak Prapto dengan wajah sedih.
“Komandan, sejujurnya saya masih belum siap untuk ditinggalkan oleh Bapak Komandan. Masih banyak yang harus saya pelajari dari Komandan. Siapa yang akan membimbing saya ke depannya kalau tidak ada Komandan?”
“Aiptu Cahyo! Sebagai salah satu petugas terbaik yang dimiliki oleh kantor ini, Anda sudah memiliki cukup kemampuan teknis untuk bekerja dengan lebih baik di kantor ini. Anda sudah mendapatkan beberapa lencana penghargaan, kan? Bahkan, promosi jabatan untuk Anda sedang dalam proses.”
“Tidak,Komandan! Secara teknis mungkin benar apa yang dikatakan Komandan barusan. Itu semua juga tidak lepas dari bimbingan dan arahan Komandan terhadap saya dan teman-teman. Tapi, secara mental saya masih jauh dari cukup. Tanpa adanya komandan di sini, saya dan teman-teman rasanya tidak sanggup untuk menjalankan tugas-tugas berat di divisi ini.”
“Aiptu Cahyo! Tidak sepatutnya Anda sebagai ujung tombak penegakan hukum di negara ini berkata demikian. Saya yakin Anda dan seluruh rekan Anda sudah mampu menjalankan itu semua. Kalian pasti bisa! Kalau Anda berkata seperti itu, sungguh Anda sudah mengecewakan saya sebagai komandan di sini. Semua hanya butuh waktu dan proses saja. Dan perlu kamu ingat, meskipun saya nantinya sudah purna tugas, bukan berarti pintu rumah saya tertutup untuk Anda dan semua rekan kerja Anda. Silakan datang ke rumah untuk sekedar sharing! Paham?”
“Si-siap, Komandan!”
Beban di dada Aiptu Cahyo berkurang seketika saat Pak Prapto mengatakan hal tersebut. Setelah sesi pembicaraan dari hati ke hati tersebut, Aiptu Cahyo langsung menuju meja kerjanya untuk menuaikan tugasnya yaitu menunjukkan rekapitulasi kasus-kasus yang pernah ditangani oleh divisinya. Sementara itu Pak Prapto nampak sedih setelah duduk sendirian di ruangannya. Entah kenapa ia tiba-tiba kangen dengan Kyai Nur dan Nyi Putri, orang tua yang sudah ia anggap sebagai orang tuanya sendiri di dusun Jatisari.
Pukul empat sore ketika semua anak buah Pak Prapto sudah sebagian ada yang pulang dan sebagian lagi berada di lokasi penanganan kasus, Pak Prapto sedang membuka file-file kasus yang pernah ia tangani. Senyum kebahagiaan dan kepuasan tergambar di wajah pria tersebut. Catatan kasus-kasus itu membuat pria itu teringat dengan perjalanannya di kantor tersebut. Tidak semua kasus harus berakhir di meja hijau memang, ada sebagian kasus yang berakhir dengan perdamaian. Ada beberapa kasus yang unik dan sulit untuk dipecahkan di awal, tapi berkat kerja keras timnya, akhirnya kasus-kasus itu terselesaikan dengan baik. Namun, ada juga kasus yang membuat ulu hati pria tersebut sakit, yaitu kasus peredaran narkoba yang pelakunya adalah anak di bawah umur. Ironisnya, kasus tersebut menyeret salah satu anggota kepolisian yang diam-diam ikut terlibat di dalamnya. Gigi Pak Prapto gemeretak begitu melihat file tersebut.
“Maafkan aku, Prapto … Aku sudah mempermalukan institusi kita sendiri. Istriku terjerat Pinjol, Prapto. Hanya itu jalan satu-satunya yang bisa aku lakukan untuk bebas dari jeratan hutang yang mendera keluargaku. Aku sudah berjanji kepada mendiang mertuaku untuk menjaga istriku baik-baik. Aku sudah gagal, Prapto. Maafkan aku …”
Pak Prapto menyeka air matanya begitu teringat dengan permintaan salah satu rekannya waktu itu. Ia tahu pasti bahwa rekannya itu bukanlah orang yang sangat jahat. Ia hanya sekali itu saja terlibat dalam kasus tersebut. Tapi tentu saja kejahatan Narkoba bukanlah kesalahan kecil yang mudah untuk dimaafkan. Tapi, setidaknya rekannya itu sudah menyadari kesalahannya. Istrinya juga sudah banyak berubah. Perilaku konsumtif istrinya yang menyeret suaminya ke penjara, saat ini istrinya sudah menjelma menjadi seorang yang mandiri dan produktif. Ia tetap setia menunggu suaminya bebas dari penjara sambil membiayai anak-anaknya yang masih sekolah dengan membuka usaha pembuatan kue di rumahnya.
Pak Prapto sudah bersiap untuk pulang dan meninggalkan ruangannya. Namun, tanpa sengaja ia menyenggol buku berisi rekapan kasus yang belum selesai ia baca tersebut. Buku itu jatuh ke lantai dan tanpa sengaja terbuka halaman tertentu. Pak Prapto cukup terkejut melihat tampilan halaman tersebut. Di halaman tersebut menampilkan kasus pembunuhan yang terjadi di SMU Negeri 14 dengan korban pembunuhan seorang Satpam sekolah tersebut yang bernama Pak Misnanto dan pelaku kejahatannya bernama Mang Dirin dengan motif pembunuhannya adalah masalah lapangan pekerjaan.
“Mang Dirin … di mana kamu sekarang? Kamu sudah menjadi buronan cukup lama, tapi batang hidungmu tak juga muncul. Ke mana pergimu, Mang Dirin? Apa kamu bisa hidup tenang setelah melenyapkan nyawa orang tidak bersalah? Ya … Aku harus menangkapmu sebelum aku pensiun dari tugasku ini.” Bibir Pak Prapto bergetar saat menyebut nama pria tua itu. Ada perasaan aneh yang tiba-tiba menyeruak di hati dan pikiran Pak Prapto saat menyebut nama ‘Mang Dirin’. Bahkan bulu kuduk pria tersebut juga merinding kala bibirnya menyebut nama pelaku pembunuh Pak Misnanto itu.
BERSAMBUNG
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments
Vita Liana
lanjut
2024-04-02
0
angel
mungkin kakek tua itu...mang dirin🤔🤔tapi ngomong ngomong itu nama suami saya ka junan 😭🙏😂😂
2023-05-10
1
V3
Apaa kabar nya Imran yaa ,, kasus Pembunuhan itu kn di bongkar oleh Imran dkk waktu itu
2023-03-31
0