Airin pulang ke apartmene miliknya setelah ia selesai bekerja. Namun ketika ia masuk, Airin melihat dua pasang sepatu yang sangat ia kenali ada didalam rumahnya. Kedua orang tuanya datang dan duduk di ruang tamu tampak menunggu kepulangan anak mereka, Airin cukup senang kedua orang tuanya datang berkunjung namun wajah mereka terlihat berbeda. Sang ibu menatap Airin dengan mata yang sembab seperti habis menangis sedangnya ayahnya tak menatap Airin sedikitpun.
“Mama, papa. Mengapa datang tak memberitahu Airin terlebih dahulu? Airin belum menyiapkan apapun, tunggulaah sebentar”, ucap Airin yang segera pergi kedapur untuk menjamu kedua orang tuanya
“Airin duduk!!”, perintah ayahnya dengan nada sedikit marah. Airin menahan langkahnya ketika ia mendengar suara ayahnya yang sedikit meninggi. Ia tak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada mereka, Airin duduk dihadapan kedua orang tuanya dan menatap mereka seperti tak tahu apapun.
“Apa ini?”, tanya ibunya pada Airin dengan melemparkan hasil tes darah milik Airin di meja depan mereka. Airin terkejut melihat hasil itu ada bersama kedua orang tuanya. Tanpa mengatakan apapun Airin hanya diam dan matanya mulai sembab, ia menahan diri agar tak menangis.
Niat hati ingin menyembunyikan masalah dirinya yang terkena penyakit kanker darah pada kedua orang tuanya namun gagal. Mereka tahu terlebih dahulu dari yang telah direncanakan dari Airin.
“Airin jawab!!”, teriak ibunya pada Airin yang membuat Airin menangis.
Mereka berdua tak kuasa menahan tangis melihat anak yang mereka sayangi menyembunyikan hal yang sangat penting dibelakang mereka, ayah Airin datang dan memeluk Airin dengan lembut. Tangis Airin pecah saat itu juga ketika ayahnya memeluk lembut dirinya.
“Ahhh... Mama, papa... Maafkan Airin” lirihnya sambil menangis. Mengetahui anak satu satunya sedang menghadapi penyakit yang sangat serius sang ayah ikut menangis.
“Tenanglah, sudah. Mama dan papa ada disini bersama Airin, Airin tak sendirian sayang”, ujar ayahnya lembut pada Airin sambil mengusap air mata yang terus saja keluar tiada henti.
Dalam diam mereka duduk bersama tanpa mengeluarkan satupun kata kata dari mulut mereka, suasana hening seketika setelah mereka menangis bersama.
“Selama mama dan papa masih hidup kamu adalah tanggung jawab kami, meskipun kamu sudah dewasa dan dapat hidup sendiri. Pahami itu Airin” ucap ayahnya yang memulai pembicaraan.
“Mulai besok kamu pulang ke rumah, tinggalkan apartemenmu dan juga pekerjaanmu. Jangan pikirkan kekasihmu, fokus pada penyembuhanmu!”, perintah ibu Airin padanya.
Semakin kesal ia dibuatnya, seakan akan kedua orang tuanya membatasi dirinya karena penyakit yang ia derita. Airin merasa seperti ia dikurung oleh kedua orang tuanya.
“Tidak, Airin tak mau lakukan itu mama. Baiklah, Airin akan pulang ke rumah dan meninggalkan apartemen ini namun tidak dengan berhenti bekerja atau menjauhi Billy. Airin tak bisa lakukan itu mama”, bantah Airin pada perintah ibunya yang menyuruh dirinya untuk membatasi lingkungan sekitarnya.
“Airin mohon, Airin tahu kalau mama dan papa menyayangi Airin namun jangan perlakukan Airin seperti ini, biarkan Airin menjalani kehidupan Airin meski penyakit ini masih bersarang di tubuh Airin”, pinta Airin memohon sambil menyatukan kedua tangannya pada kedua orang tua yang duduk dihadapannya.
Tak ada orang tua yang mengingini anaknya menjalani hidup yang sulit disaat mereka memiliki segalanya untuk mencukupi kebutuhan anaknya dan lagi, Airin sudah tak seperti dahulu. Karena penyakitnya, ia membutuhkan orang lain disampingnya.
“Baiklah, segera kamu buat jadwa denga dokter untuk terapimu. Dan kalau sampai kamu bekerja melebihi batas, mama takkan segan segan untuk memaksamu keluar dari pekerjaanmu, bahkan mengakhiri hubunganmu dengan Billy, pahami itu”, balas ibunya melunak pada Airin, pada akhirnya kedua prang tua Airin memberikan kelonggaran bagi putri semata wayang mereka meski sebenarnya mereka tak ingin melakukannya.
Sungguh berat hari hari yang dilalui Airin, seperti beban baginya. Semua yang ia lakukan saat ini harus lebih berhati hati dari sebelumnya, ia tak ingin ibunya mengetahui jika ia sampai lalai bahkan tak mampu menjaga diri dengan baik atau ia akan dipaksa pulang dan berdiam diri dirumah, memutuskan semua hubungan dengan teman sahabat atau pacarnya.
...****************...
Program acara bagi tim 3 telah selesai, mereka membereskan pekerjaan mereka dan bersiap untuk pulang ketika jam menunjukkan pukul empat sore.
“Tim tiga, jangan pulang dahulu. Kita akan makan malam dengan tim sepulang bekerja. Pak Beni yang akan membayar seluruh tagihannya”, seru salah seorang rekan Airin memberikan informasi yang membuat mereka semua senang.
Makan malam di sebuah restoran cukup mewah bersama tim sangat jarang dilakukan, hanya dua atau tiga kaali dalam sebulan, kebersamaan dan kebahagiaan sangat terasa diantara mereka, sejenak Airin mampu melupakan bebannya dan bersenang senang dengan teman satu timnya.
Disaat mereka sedang bersenda gurau, sakit kepala itu datang kembali. Airin dengan cepat merogoh tasnya untuk mencari obat dari dokter namun ternyata ia lupa memasukkannya ke dalam tas setelah siang tadi ia minum di kantor.
“Sial, sepertinya itu tertinggal di kantor, apa yang harus ku lakukan? Kepalaku, semakin sakit”, rintihnya sambil menahan sakit kepalanya sambil menunduk dan memejamkan kedua matanya. Bianca yang berada di hadapan Airin mengerti apa yang terjadi pada sahabatnya itu.
“Airin, bukankah kamu harus pulang? Katamu kedua orang tuamu membutuhkan bantuanmu malam ini?”, ucap Bianca pada Airin dihadapan kawan satu timnya.
“Cepatlah, antar aku pulang terlebih dahulu sebelum terlalu larut”, sambung Bianca berdiri sambil menggandeng Airin yang seperti sudah tak sanggup lagi menahan sakitnya.
“Semua, kami pamit pulang dahulu, terimakasih untuk makan malamnya”, pamit Bianca pada mereka semua.
Langkah mereka yang sudah cukup jauh dari rekan satu timnya, Bianca mengambil tas Airin yang sudah tak kuat lagi.
“Dimana obatmu?”, tanya Bianca
“Sepertinya tertinggal di kantor. Aku lupa memasukannya”, balas Airin memegangi kepalanya yang sangat sakit, pandangannya mulai melebur ketika ia sedang berbicara dengan Bianca.
“Dasar bodoh. Kamu memiliki obat di rumahmu bukan? Kemarikan kunci mobilmu, biar aku yang menyetir”, ucap Bianca panik melihat sahabatnya yang sangat ceroboh itu. Airin tak memiliki pilihan lain selain mengikuti apapun yang Bianca lakukan padanya.
Wajah Airin semakin pucat karena ia tak meminum obat dari dokter untuk meredakan sakit kepalanya, ia bahkan berbicara sambil emnutup kedua matanya sangking tak kuatnya menahan beratnya kepaala.
“Kamu yakin tak ingin memberitahukan kondisimu pada Billy? Hanya dia yang tak mengetahuinya Rin”, ucap Bianca lembut pada Airin.
Airin menggelengkan kepalanya sambil tersenyum, membayangkan dirinya mengatakannya pada Billy saja sudah membuatnya takut.
“Tidak Bi, biarkan saja seperti ini, setidaknya ia masih beranggapan bahwa ia sedang menjalin hubungan dengan kekasihnya dengan normal. Aku takut Billy akan meninggalkanku setelah ia mengetahui penyakitku yang peluaang sembuhnya cukup kecil”, balas Airin pada Bianca dengan mata tertutup.
“Semenjak kamu sakit, kamu selalu berpikir negatif, apa kamu sadar? Kamu sedikit berubah Airin, mengapa tak menjadi Airin yang dahulu dengan pikiran positif? Berhentilah berpikir buruk dalam segala hal, kamu akan lelah sendiri”, balas Bianca yang masih mencoba membujuk Airin untuk mengatakan sejujurnya pada Billy tentang kondisi dirinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments