Satu minggu berlalu, saat bagi Airin kembali ke rumah sakit untuk mengambil hasil tes darah yang iaa lakukan minggu lalu, ia melangkah dengan penuh keyakinan jika apa yang dikatakan dokter tentang kanker darah yang mungkin dideritanya adalah salah. Namun, nyatanya tidak, ucapan dokter benar adanya.
“Tenanglah, banyak penderita leukimia mampu berhasil sembuh dari penyakitnya, dan lagi usiamu masih sangat mudah. Jadi tetaplah semangat untuk dapat sembuh”, ucap dokter berusaha menghibur Airin yang terlihat terkejut dihadapannya.
Seperti tak dapat mendengar suara lain lagi, Airin terdiam dan berharap bahwa apa yang ia dengar hanyalah sebatas mimpi yang tak akan menjadi kenyataan.
“Tenangkanlah dirimu, jika sudah merasa lebih baik datanglah kemari, kita buat jadwal terapi untukmu. Kami akan berusaha menyembuhkan penyakitmu”, ujar dokter itu kembali dengan nada lembut pada Airin.
Airin keluar dari rumah sakit dan pulang, ia sungguh tak mengira bahwa dirinya akan terserang penyakit mematikan itu, matanya lurus memandang ke depan namun tidak dengan pikiran juga hatinya. Dalam benaknya terbayang bayang ucapan dokter yang menyatakan bahwa dirinya positif terrkena kanker darah, sambil meremas hasil tes yang ada pada genggamannya Airin berjalan menahan tangis.
Belasan panggilan tak terjawab dari Billy dan Bianca ia lewatkan begitu saja. Ia bahkan ijin tak masuk kerja karena ada masalah mendadak, Airin terpaksa berbohong karena ia ingin menenangkan diri sejenak. Dalam apartemen miliknya Airin hanya duduk diam dan tak memikirkan apapun selain memandangi hasil tes yang ada di hadapannya. Bianca yang sudah menduga hal yang terjadi pada Airin berusaha menghubunginya dan juga datang ke apartemennya namun sayang, kode keamanan Airin telah diubah yang mengakibatkan Bianca tak bisa masuk ke dalam seperti biasanya.
Ponsel Airin kembali berbunyi, kali ini Billy yang menghubunginya, beberapa panggilan tak terjawab darinya terus menerus membuat Billy tak tenang dengan keadaan kekasihnya itu.
“Rin.. Ini aku. Ku mohon buka pintunya, biarkan aku masuk”, seru Bianca dengan terus mengetuk pintu rumah Airin memohon agar dibukakan. Namun kedua telinga Airin seakan tertutup, ia tak menghiraukan suara Bianca yang terus saja memanggil manggil namanya.
“Ku mohon diamlah.. Hah.. Biarkan aku tenang dan sendiri”, ucapnya dengan suara kecil yang hanya dia sendiri yang mendengar. Airin mulai meneteskan air matanya, ia sesekali menjambak rambutnya karena tak terima dengan kondisi yang sedang ia alami saat ini.
“Dari sekian banyak orang mengapa harus aku yang mengalami ini?”, ucapnya lagi
Sebuah pesan singkat masuk kedalam ponselnya, Billy yang tak bisa menghubungi Airin kini ia mengirim pesan pada Airin berharap Airin meresponnya.
Billy : [ Ada apa denganmu? Mengapa dari semua panggilanku tak ada satupun yang kamu jawab? Kamu baik baik saja?]
Airin : [ Ya, aku baik baik saja. Maaf aku sedang ada urusan bersama kedua orang tuaku. Ada apa menghuungiku?] balas Airin lagi lagi ia berbohong.
Billy : [ Tak ada, aku hanya merindukanmu, karena itu aku menghubungimu. Bisakah aku menelponmu sekarang?]
Airin : [ Maaf, aku sangat sibuk, aku takut kamu tak nyaman berbicara padakuku disaat aku sibuk dengan urusanku]
Billy : [ Baiklah. jika sudah pulang cepat hubungi aku, aku sungguh membutuhkanmu Rin ]
Percakapan singkat itu pada akhirnya berakhir, Airin kembali larut dalam kesedihannya. Ia bahkan terjaga hingga pagi bersama hasil lab yang ada padanya. Keputusannya tetap terjaga hingga pagi membuatnya harus kembali kesakitan. Kepala Airin kembali berdenyut dan kali ini lebih sakit dari sebelumnya.
“Ahhh..”, rinih Airin sambil memegangi kepalanya, dengan cepat ia mengambil tasnya dan meminum obat yang kemarin dokter berikan, tak lama untuk obat itu bereaksi sakit kepala Airin sudah berkurang dan ia merasa lebih baik.
“Back to work Airin. Sudahi sedihmu dan jalani hidupmu”, ucapnya pada diri sendiri.
Airin memutuskan untuk menutupi sakit yang dideritanya, bahkan orang ua juga ekkasihnya tak mengetahui apapun terkait kondisi kesehatan Airin. Ia berjalalan masuk ke dalam studio setelah memarkirkan mobilnya lalu masuk kedalam ditemani dua gelas kopi yang ia beli sebelum pergi bekerja.
Dengan menebarkan senyuman seperti yang ia lakukan Airin berjalan masuk ke ruang kerjanya. Baru saja ia membuka pintu Airin telah menerima tatapan tajam dari Bianca padanya.
“Kamu gila? Apa yang kamu lakukan kemarin? Mengapa tak ada satupun panggilanku yang kamu terima? Mengapa kamu mengganti kode keamanan apartemenmu?”, geram Bianca pada satu satunya sahabat yang ia miliki. Semua mata saat ini tertuju pada mereka berdua. Airin dan Bianca terlihat seperti sepasang kekasih yang sedang bertengkar karena tak ada komunikasi diantara mereka.
Airin memberikan segelas kopi pada Bianca karena ia tahu bahwa Bianca akan memarahinya habis habisan ketika mereka bertemu.
“Tenanglah, aku hanya tak ingin diganggu kemarin. Kini aku baik baik saja, kembalilah ketempatmu sebelum Pak Beni datang”, ucap Airin mengusir Bianca pergi dari tempatnya.
Bianca sedikit bingung dengan apa yang dilakukan Airin, ia positif terkena leukimia namun seperti tak ada yang terjadi padanya.
Hampir seluruh pekerjaannya telah selesai, beberapa program acara tv juga sudah banyak yang selesai, Airin kembali ke kantornya dan mencoba meghubungi Billy.
“Hmm?”, jawab Billy singkat pada Airin yang menghubunginya.
“Kamu sibuk?”, tanya Airin
“Lumayan, ada apa?”, tanya Billy kembali dengan fokus pada tumpukan kertas yang harus ia tandatangani.
“Tak apa, hanya menghubungimu saja. Baikalah jika kamu sibuk”, ucap Airin yang sedikit kecewa dengan jawaban kekasihnya itu.
“Siang ini kita makan diluar ya. Aku akan menjemputmu. Jangan merajuk sayang”, ucap Billy lembut yang berhasil mengembalikan senyuman pada wajah Airin.
“Can’t wait. See you” balas Airin dengan wajah senangnya. Baru saja ia merasakan senang, darah sudah turun dari hidungnya, dengan segera Airin membersihkan hidungnnya dengan tisu lalu menyembunyikannya dari orang orang.
“Masih berpura pura baik baik saja?”, tanya Bianca.
“Aku memang baik baik saja, penyakit seperti itu tak dapat merobohkanku”, balasnya dengan penuh percaya diri. Bianca kembali ke tempatnya dan menunggu hingga waktu istirahat datang.
Sebuah pesan singkat masuk ke ponsel Airin, Billy telah tiba dan menunggu di bawah. Segera Airin mengambil tasnya dan turun kembawah menghampiri kekasihnya.
“Aku akan makan siang dengan Billy, maaf tak bisa menemanimu sayang”, ucap Airin dengan tertawa kecil yang mebrhasil membuat Bianca geli karenanya.
“Najis, sungguh menjijikan makhluk sepertimu Airin”, seru Bianca memasang wajah geli yang dibalas sebuah tawa oleh Airin. Bianca yang melihat Airin kembali seperti dahulu merasa senang namun disisi lain ia juga sedikit takut, karena Airin ingin menghadapi semuanya seorang diri.
“Good luck for you dear”, gumam Bianca dalam hatinya berharap Airin akan selalu tertawa seperti ini meski ia merasakan sakit di tubuhnya.
“Jadi, apa yang ingin kamu makan?”, tanya Billy memberikan pilihan pada Airin.
“Terserah saja”, balas Airin merapikan rambutnya yang sedikit berantakan.
“Hmm, maakanan pedas? Atau berkuah atau goreng?”, tanya Billy.
“Hmmm.. tidak”, balas Airin sambil menggelengkan kepalanya.
“Bagaimana dengan daging? Ayam? Atau ikan?”, tanya Billy kembali
“Terserah saja Bill”, balas Airin yang masih tetap merapikan rambutnya.
“Rin, Telor cicak mau?”, tanya Billy
Airin tertawa mendengar pilihan dari Billy, ia menyudahi diri pada cermin yang ia bawa dan menatap Billy sambil terus tertawa.
“Ikan bakar saja, aku ingin makan ikan bakar”, ucap Airin pada Billy.
Billy menyalakan mobilnya dan mengajak Airin makan seperti apa yang ia inginkan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments