Ponselku langsung berbunyi entah berapa kali, aku hanya menggeleng-gelengkan kepalaku tidak percaya dengan jalan pikirannya yang sudah terobsesi denganku.
"Apa mungkin hanya karena sebuah suara bisa membuatnya sebegitu terobsesinya denganku?" gumamku sembari mengernyitkan kening tak percaya.
Aku membuka satu persatu pesan darinya,
"Assalamualaikum Rara,
"Lagi ngapain?
"Kenapa hp kamu nggak aktif?
"Apakah kamu marah?
"Apakah kamu tidak ingin menerima panggilanku?
"Maaf Rara, aku hanya ingin mengutarakan isi hatiku.
"Mungkin terlalu cepat, tapi aku tidak tahu mengapa aku seperti ini, karena baru kali ini aku merasa yakin dengan seyakin-yakinnya tentang perasaanku padamu.
"Rara,
"Tolong angkat teleponku,
"Pliss Rara."
Aku hanya memijit-mijit keningku sembari mengingat sesuatu yang mungkin terlewatkan, "Apa maksudnya, perasaan apa?
"Seingatku tidak ada pembicaraan tentang 'Perasaan'. Memang benar-benar cowok yang aneh." celotehku panjang lebar dan memilih untuk bergabung dengan teman-temanku yang sudah menungguku di depan rumah.
Seperti biasa, aku mengaktifkan profil diam dan meninggalkan ponselku di dalam laci nakas yang berada di samping tempat tidurku. Toh, tidak ada yang harus aku khawatirkan. Dan aku memutuskan untuk menghindari cowok aneh yang tidak jelas tersebut, kemudian mengabaikannya secara terus-menerus sampai ia merasa putus asa dengan sendirinya.
Ya, seperti itulah sifatku, jika ada seseorang yang mulai menampakkan rasa sukanya, aku akan terus menghindar darinya sampai orang itu lebih memilih mundur daripada terus mengejarku.
Saat itu usiaku sudah 23 tahun, usia yang cukup matang untuk menerima pasangan. Tapi aku berprinsip, bahwa jika memang aku harus pacaran, maka aku ingin pacarku tersebut menjadi pacar pertama dan terakhirku. Aku tidak ingin menjadi 'Bekas' orang lain untuk suamiku.
Dan siapa saja yang berani menyatakan perasaannya secara langsung, maka aku akan langsung menerimanya. Ya, aku tidak peduli siapapun orangnya, entah dia orang miskin, orang kaya, tampan atau biasa-biasa saja.
Sebenarnya banyak yang sudah menyatakan perasaan mereka kepadaku semenjak aku masih remaja, usiaku sekitar 14 tahun. Aku hanya menjawab "Maukah kamu menungguku sampai kuliahku selesai?"
Mereka hanya diam membisu, entahlah aku tidak tahu apa alasan mereka. Semenjak saat itu aku tidak ingin lagi mengurusi yang namanya percintaan dan tetap fokus dengan tujuanku yaitu membahagiakan kedua orang tuaku dengan jerih payahku sendiri.
Pemuda-pemuda yang berada di desaku sudah sangat hafal dengan sifatku tersebut. Bahkan dari sekian orang yang pernah menyatakan cinta kepadaku sudah memiliki anak dari pasangannya.
Di depan rumahku, sudah berkumpul beberapa laki-laki dan perempuan yang sedang tersenyum menyambut kedatanganku.
Ada yang membawa gitar, ada yang tetap sibuk dengan hpnya, ada yang sedang bernyanyi, dan ada yang hanya sekedar duduk diam di tengah keramaian.
Aku pun bergabung bersama mereka, kemudian meminjam gitar dari salah satu temanku yang bernama Zainal.
Aku orang yang cukup terbuka, tidak memilih teman, entah dia laki-laki, perempuan, masih remaja atau sudah dewasa, bahkan terkadang ada beberapa anak-anak yang ikut bergabung.
Tujuan kami hanya satu, berbagi cerita tentang keseharian dan berbagi kebahagiaan diantara kami. Meskipun begitu, aku orang yang sangat tertutup jika menyangkut privasi. Karena menurutku privasiku bukan untuk pengetahuan umum.
Berbagai candaan dan tawa menghiasi kebersamaan kami, jika ada yang berani menyindir atau memercikkan api, aku akan segera keluar dari perkumpulan itu.
Aku hanya ingin mencari hiburan, bukan untuk yang lain sebagainya. Mungkin karena hal itu mereka merasa kurang bebas dengan kehadiranku.
Aku bukan gadis yang berhijab seperti yang kalian pikirkan, aku adalah seorang anak gadis dari empat bersaudara. Menurut mereka penampilanku tomboy karena setiap hari aku akan mengenakan celana dengan potongan tiga perempat yang dipadukan dengan kaos oblong ukuran xl, meskipun begitu aku memiliki rambut yang cukup panjang sepinggang yang selalu ku kuncir seperti sebuah sanggul.
Orang tuaku tidak pernah membatasiku dalam pergaulan, mereka percaya sepenuhnya kepadaku. Buktinya sangat jelas, sampai saat ini tidak ada seorang pun yang dekat denganku di desa ini.
Mungkin mereka merasa sedikit kurang percaya diri karena dari sekian pemuda dan pemudi yang berada di desa kami, hanya ada 3 orang yang sempat mengenyam bangku kuliah, salah satunya aku sendiri, kakak kelasku yang bernama Taufik, dan teman setingkatku yang kini sudah menetap di kota B sebagai Honorer.
Sementara aku sendiri sedang dalam proses mencari pekerjaan, dan kakak kelasku yang bernama Taufik sudah bekerja sebagai Guru Agama, meskipun masih sebagai Honorer.
Jurusan yang kuambil sangat jauh berbeda dari mereka, aku sarjana Administrasi Negara, dimana tempat yang paling sesuai adalah dunia perkantoran.
Sementara perkantoran yang ada di desaku hanyalah kantor Kecamatan saja.
Kurang lebih baru dua Minggu aku mendapatkan gelar itu, aku masih ingin menikmati 'refresing' untuk sementara waktu.
.....
Tanpa terasa waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, ayahku memberikan sebuah kode dengan menutup sebagian pintu rumah kami. Aku pun berpamitan dengan mereka.
Setelah sampai di dalam kamar, aku merasa sangat mengantuk dan memilih untuk bebersih dan mengganti pakaian tidurku.
.....
Keesokan harinya, setelah sholat subuh, teman-temanku mengetuk jendela kamarku sembari memanggil namaku. Orang tuaku sudah mengetahui kebiasaan mereka yang seperti itu, karena kami terbiasa berjalan pagi setelah selesai sholat subuh.
Di antara mereka, ada teman akrabku yang bernama Wati, ia mengajakku ke rumahnya setelah kami melakukan aktifitas jalan pagi. Ada sesuatu yang ingin ia bicarakan denganku.
Ia selalu berbagi cerita denganku, apa pun itu. Kami sangat akrab, bahkan kami terbiasa makan sepiring berdua, tidur dibantal yang sama dan melakukan hal-hal bersama lainnya.
Hari itu ia ingin mengungkapkan sebuah rahasia, karena semalam ada seseorang yang telah 'Menembaknya',
"Waah... Benarkah? Siapa orang yang beruntung itu?" tanyaku penasaran.
"Kak Taufik."
Jdaarrr
Seketika, tubuhku hancur berantakan, orang yang selama ini aku harapkan, ternyata menyukai sahabatku sendiri. Aku menyukainya bukan karena kita memiliki gelar yang sama, tapi karena sikap tanggung jawabnya terhadap keluarga. Terlebih ia selalu menjaga sikap terhadap ibunya, ia sangat menghargai ibunya.
Aku berusaha untuk tetap tersenyum di hadapannya, "Lalu, apa jawabanmu?"
"Sebenarnya aku tidak terlalu menyukainya, tapi aku menerimanya."
"Kenapa?"
"Karena pacarku yang lalu selingkuh dariku,"
"Terus kamu ingin menerimanya sebagai pelarian?"
"Ya, agar pacarku tahu bahwa aku bisa move on darinya."
"Bukankah kamu terlalu egois?"
"Sedikit, tapi aku mohon rahasiakan hal ini dari siapa pun."
Dan betapa bodohnya aku saat itu menyetujui permintaannya begitu saja.
Aku hanya berharap semoga mereka akan saling mencintai meskipun aku harus memendam luka.
"Toh, kalau memang jodoh nggak akan kemana." gumamku membatin.
Tak lama kemudian, aku berpamitan untuk pulang ke rumah.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
🤗🤗
dua bab dulu ya.
2023-05-02
0
A̳̿y̳̿y̳̿a̳̿ C̳̿a̳̿h̳̿y̳̿a̳̿
kalau untuk pelarian, berarti blm move on dong say ku
2023-04-25
1
Kacan
mantap ra, only one for paksu ya ra😂
2023-04-04
1