Bab 3

Itulah kata-kataku jika aku merasa putus asa dengan keadaanku.

Namun suamiku hanya akan memelukku sembari menangis tersedu-sedu berusaha untuk menguatkanku.

"Untuk apa aku bertahan mas, untuk apa... Hiks-hiks-hiks." tangisku pecah sembari memukul-mukul punggung kekarnya.

Mungkin, ia bisa merasakan sakit yang sedang meradang ditubuhku.

Mungkin, ia bisa merasakan batinku yang sudah terlalu lelah dan rapuh untuk menerima semua kenyataan pahit ini.

"Sudahlah Rara, kumohon hentikan semua ucapanmu! Aku tidak ingin mendengarnya lagi."

Setelah itu ia menyeka butiran-butiran bening yang terus mengalir dari kedua netraku, membingkai wajahku dengan kedua telapak tangannya lembut, seraya berkata, "Kita ke rumah sakit sekarang Ra, aku sudah menyiapkan segala kebutuhannya, jangan pikirkan masalah biaya rumah sakit nanti, tabungan kita sudah cukup kok... mau ya Sayang...." bujuknya dengan wajah yang memelas memohon persetujuanku.

Aku hanya tersenyum kecut mendengar ucapan 'Sayang' yang keluar dari mulutnya. "Kenapa baru sekarang Mas?" Batinku bergumam. Aku terlena untuk sementara ketika aku mendengar pertama kalinya ia mengucapkan kata itu.

"Untuk apa aku sembuh Mas, untuk apa haah!

Untuk kamu lukai lagi, untuk menjadi wonder women yang selalu mengalah, untuk jadi pembantumu, kokimu, atau budakmu?"

Ia hanya menutup matanya yang sipit itu, sehingga air mata yang tadinya hanya menggenangi pelupuk matanya, tumpah begitu saja dan membasahi wajah lelahnya.

Kemudian ia mendongakkan kepalanya menatap langit-langit kamar sembari beristigfar untuk menguatkan hatinya saat mendengar celotehanku.

Mungkin aku sedikit tersentuh dengan pemandangan yang jarang terlihat dari raut wajah suamiku yang telah membuat luka batin di dalam qalbuku.

Akhirnya aku memilih untuk diam dan mengakhiri pertengkaran kami.

Mungkin penyakitku ini disebabkan oleh tekanan batin yang selama ini kusembunyikan dari semua orang. Ya, termasuk keluarga dan orang tuaku.

Mereka hanya menganggap kehidupanku sangat bahagia, suamiku yang sangat pengertian, rajin, bahkan rela merawatku dan tetap setia meskipun aku sakit-sakitan.

Jika aku mendengar pujian yang dilontarkan oleh orang lain mengenai kebaikan suamiku, aku ingin tertawa terbahak-bahak dan meneriakkan semua perlakuannya kepadaku.

Namun aku masih menyadari sesuatu, mereka tidak mungkin mempercayaiku begitu saja, apalagi peduli dengan nasibku.

Sungguh aku tidak punya pilihan lain selain,

M A T I P E R L A H A N - L A H A N.

Saat itu serasa olehku bagaikan terkurung di sebuah sumur yang sangat dalam, hanya kegelapan yang setia menemaniku.

Teriakanku...

Tangisanku...

Keluhanku...

Ketakutanku...

Semuanya tiada berarti, tiada yang peduli, tiada yang mengerti, dan tiada yang mau mengulurkan tali untuk menuntunku kembali menuju cahaya terang di luar sana.

Seringkali aku mendongakkan wajahku sembari mengangkat kedua telapak tanganku dan berdo'a, "Ya Allah... ambillah nyawaku sekarang juga, sungguh aku sudah tak berdaya lagi untuk menghadapi cobaan dari-Mu, aku sudah tidak punya apa-apa lagi, aku sedang tidak ingin apa-apa lagi, aku sudah berusaha semampuku untuk tetap bertahan mengarungi bahtera rumah tangga kami, aku sudah mengerahkan semua kesabaranku untuk tetap berada disisinya.

"Aku lelah ya Allah, sudah sangat lelah, aku hanya ingin kembali ke sisi-Mu ya Rabb."

Dengan Isak tangis yang tiada henti aku melangitkan keputusasaan ku, dan tubuh yang bergetar hebat aku merangkai sebuah permohonan terakhirku, "Jika memang saat ini belum waktuku, berikan sebuah alasan agar aku bisa melanjutkan tujuan hidupku."

Waktu terus berganti, entah sudah berapa lama aku mendiamkan suamiku. Entah sudah berapa kali ia membujukku, tapi aku hanya terus mengabaikannya. Semakin hari tubuhku serasa semakin tak berdaya, selera makanku sudah hilang, hanya air putih yang bisa masuk melalui kerongkonganku. Tak ada sebutir nasi pun yang bisa kutelan.

Hari itu, serasa akan menjadi hari terakhirku...

Dengan tubuh lemah tak berdaya dan wajah yang pucat pasi, aku bertanya satu hal yang menurutku sangat penting, sebuah pertanyaan yang sangat sederhana namun penuh arti bagiku.

"Mas...' gumamku lirih hampir tak terdengar, ia langsung mendekatiku sembari berjongkok di hadapanku. "Bolehkah aku menanyakan sesuatu?"

Ia mengangguk senang sembari mengulas senyuman hangat, cahaya matanya memancarkan sebuah kebahagiaan. Tapi entah kenapa serasa ada sebuah tirai tak kasat mata yang terbentang di antara kami.

Aku menghirup nafas dalam-dalam sembari mengumpulkan sisa-sisa kekuatanku. "Apakah Arti seorang istri bagimu?" dengan nada yang sedikit menekankan kata 'Istri'.

Ia terdiam seketika, cahaya indah di matanya langsung lenyap, senyum hangatnya seketika memudar terganti dengan sebuah kebingungan yang sangat jelas dari raut wajahnya.

Aku tersenyum kecut, dan memalingkan wajahku darinya.

Masih sama, masih dengan kebingungan yang sama. Pertanyaan yang sama tak pernah terwajab olehnya sekalipun ia sering mengatakan kata-kata cinta dan sayang yang menurutku bukanlah hal yang kuinginkan. Ya, cinta dan sayang tidak akan berarti tanpa sebuah 'Penghargaan'.

Aku hanya ingin dihargai layaknya seorang istri. Hanya itu, tidak lebih dan bukan hal yang asing untuk pasangan suami istri.

Namun... tak pernah kurasakan selama kita berada di sebuah kapal yang bernama 'Pernikahan'.

.

.

.

Terpopuler

Comments

🤗🤗

🤗🤗

tiga bab bab jejaknya

2023-04-30

0

A̳̿y̳̿y̳̿a̳̿ C̳̿a̳̿h̳̿y̳̿a̳̿

A̳̿y̳̿y̳̿a̳̿ C̳̿a̳̿h̳̿y̳̿a̳̿

rasanya nyesek dihati bacanya

2023-04-25

1

Teteh Nadia

Teteh Nadia

semngat kak saling dukung kak salam dari "Mafia manja ku"

2023-04-10

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!