Bab 2

Saat itu, bulan Ramadhan tepatnya ramadhan yang ke-20. Tidak ada aktifitas masak-memasak di pagi hari itu, kurebahkan tubuhku di kursi keagunganku yang terbuat dari anyaman rotan.

Kursi itu hanyalah kursi satu-satunya yang sengaja didesain oleh suamiku khusus untukku. Semua anak-anak maupun suamiku enggan mendudukinya, karena modelnya yang cukup rumit.

Aku duduk bersandar sambil menutup kedua netraku perlahan, kuhirup udara dalam-dalam, kunikmati kesunyian dalam kesendirianku, dengan merdu kulantunkan shalawat kepada Kekasih-Nya.

صَلَّى اللهُ عَلَى مُحَمَّد

صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

صَلَّى اللهُ عَلَى مُحَمَّد

صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Sholallah ala muhammad

Shollallah alaihi wasallam

Ya Nabi salam alaika

Ya Rasul salam alaika

Ya Habib salam alaika

Sholawatullah alaika

Tanpa sadar, wajahku sudah basah dengan butiran-butiran bening yang mengucur deras dari kedua netraku.

Entah sudah berapa lama kubersenandung merindu kepada Beliau. Rindu yang teramat manis, sungguh aku baru mengerti tentang 'Indahnya mencintai tanpa melihat' setelah aku mencoba untuk lebih mengenal sosok dari kekasih-Nya.

Tiba-tiba aku dikagetkan dengan Suara ketukan pintu yang diiringi dengan ucapan salam dari seorang wanita yang masih kerabatku.

"Waalaikumussalam..." jawabku kemudian aku bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan wajahku.

"Eh... mbak Isna," Sapaku hangat setelah membukakan pintu untuknya. Aku pun mengajaknya masuk dan duduk di kursi tamu yang terbuat dari kayu jati dengan ukiran bunga sebagai hiasannya. Kami pun berhadapan.

"Ada apa Mbak, kok tumben mampir ke rumah?"

"Ini lho aku lagi pusing mikirin paksu, mikirin anak-anak, mana beras sudah mau habis...," Dan segala macam permasalahan yang biasa dihadapi kaum ibu-ibu.

Aku hanya mendengarkan segala keluh kesahnya tanpa berucap sepatah kata.

"Aku kadang merasa iri dengan kehidupan keluargamu yang aman dan bahagia terus, boleh tahu rahasianya Ra?"

Namaku Larasati Cahyani. Orang-orang biasa memanggilku Rara. Tahun ini usiaku sudah hampir 39 tahun. Usia yang sudah hampir matang. Jika dibandingkan dengan Isna, aku lebih muda darinya karena usianya sudah 45 tahun.

Seperti biasa, sebuah senyuman sekilas terukir diwajahku. Aku mendekatinya dan duduk bersama di tempat duduk yang panjang itu. Aku menatapnya hangat, kemudian menggenggam kedua telapak tangannya lembut, "Aku selalu menyerahkan semua urusanku kepada-Nya, aku berbisik dan menangis menumpahkan segala keluhanku di atas sajadah di malam yang gelap saat semua orang terlena dengan mimpi-mimpi indahnya mereka."

Ia terdiam kaku menatapku tak bisa berkata-kata lagi, mungkin ia ragu batinku menjawab. Aku mengangkat tangan kananku dan menyentuh pundaknya mesra, "Cobalah!" ujarku untuk meyakinkannya.

Ia langsung memelukku erat, semakin erat. Ia menangis sesegukan di bahuku cukup lama. Aku mengusap punggungnya yang masih bergetar hebat itu. "Menangislah... jika dengan itu Mbak akan merasa lebih baik setelahnya."

Tak lama kemudian ia melepas pelukannya perlahan, "Apakah aku pantas memohon kepada-Nya, sementara tubuhku berlumuran dosa?" dengan nada yang merendah.

"Apa Mbak percaya kepadaku?"

Ia mengangguk samar sembari mengusap sisa-sisa butiran bening di wajahnya.

Sembari menepuk pahanya manja aku mengatakan, "Benarkah... Berapa persen?" tanyaku dengan nada manja, kemudian aku mengangkat kedua keningku berulang-ulang kali untuk menghiburnya.

"He-he-he," ia terkekeh kecil melihat sikapku yang sedikit kekanak-kanakkan. "Seribu persen," jawabnya dengan mendaratkan sebuah tepukan di pahaku.

Aku pun terus menggodanya, "Waw... aku terkaget," ujarku narsis sembari meletakkan kedua tanganku di atas dada seakan-akan aku benar-benar kaget.

Ia semakin gemes melihat tingkahku, lalu ia mencubit pipiku. "Anak nakal...," celotehnya kemudian melepaskan cubitannya dari pipiku.

"Ha-ha-ha..." Kami pun tertawa bersama-sama.

Setelah keadaan sudah mulai membaik, aku melanjutkan perkataanku. "Jika memang benar seperti itu? Lalu apakah harus ada alasan lagi untuk tidak mempercayai Sang Maha Pengampun?"

Seketika suasana berubah menjadi serius.

"Bersyukurlah, selagi kita masih diberikan kesempatan. Mungkin ini adalah cara-Nya agar kita kembali kepada-Nya.

"Jangan pernah merasa orang lain lebih bahagia dari kita, karena kita tidak pernah tahu sebesar apa perjuangannya untuk memperoleh kebahagiaan itu sendiri."

Ia menatapku dengan tatapan yang sulit untuk aku ungkapkan, mungkin ia sedikit tersindir dengan perkataanku yang terakhir. Tapi itu lebih baik untuk kita agar kedepannya tidak akan ada rasa iri hati lagi.

"Terima kasih Ra, aku akan mengingat semua ucapanmu."

"Sama-sama Mbak."

.

.

.

Setelah kepergiannya, aku merenung sejenak kemudian aku teringat kisahku di mana saat aku terpuruk tak bisa berbuat apa-apa lagi karena kondisiku yang sedang sakit.

Ya, saat itu... Aku masih muda, usiaku 26 tahun. Aku menderita sebuah penyakit yang aneh, entahlah... Bahkan dokter pun susah mendefinisikannya.

Saat siang hari aku menggigil kedinginan, tubuhku terasa hangat tapi aku menggigil seperti sedang berada di sebuah freezer.

Saat siang hari aku menggigil kedinginan, tubuhku terasa hangat tapi aku menggigil seperti sedang berada di sebuah freezer dengan suhu dibawah nol derajat Celcius.

Meskipun suamiku telah membungkusku dengan berlapis-lapis blangket, aku tetap saja menggigil, rasa dingin yang kuderita bukan hanya diseluruh tubuh saja, aku merasakan bahwa hawa dingin itu menyerang sampai kedalam tulang belulangku.

Pada malam harinya, aku merasakan yang sebaliknya, seakan-akan aku dihadapkan dengan sebuah tungku perapian yang nyala apinya mampu membuat siapa saja merasakan kegerahan di seluruh tubuhnya. Ya, pada malam hari tubuhku akan basah dengan keringat, keringat yang tidak pernah habis sepanjang malam.

Untunglah suamiku selalu siaga membantuku mengganti kaos oblongku, dalam semalam aku akan menghabiskan separuh kaos yang ada tidak seberapa itu dari dalam lemariku. Entah berapa kali aku harus membangunkannya untuk membantuku berganti pakaian karena tubuhku sangat lemah. Untuk berdiri saja aku tidak mampu, dengan kesabarannya ia terus merawatku. Merawat anak pertama kami yang saat itu baru berusia dua tahun.

Di siang hari, suamiku akan membelikan tiga bungkus nasi kuning sebagai sarapan kami, lalu ia meninggalkan kami berdua untuk mencari nafkah dengan membawa kantong kresek jumbo yang berisi pakaian-pakaianku semalam, dan menitipkan kantong kresek tersebut ke tukang cuci. untunglah Andra (Anak pertama kami) tumbuh menjadi anak yang penyabar. Ia akan bermain bersama teman-temannya, berlarian kesana-kemari dengan sesekali menengok keadaanku. Di usia itu Ia sudah mengerti bahwa ibunya sedang sakit.

Jika pada saat ia menengok dan mencari keberadaanku, aku akan menyunggingkan sebuah senyuman untuk mengatakan kepadanya bahwa aku baik-baik saja.

Ia pun dengan sendirinya akan bergabung lagi bersama teman-temannya. Tapi, ketika ia menengok dan menemukanku sedang meringkuk di atas tempat tidur, ia akan meninggalkan teman-temannya dan memilih untuk berbaring di samping tempat tidur untuk menemaniku.

Aku terharu melihat kedewasaannya di usia yang masih seumur jagung itu.

"Bu, Kakak lapar." ucapnya sembari mengoyang-goyangkan tubuhku. Ia menamakan dirinya 'Kakak' karena ia ingin mempunyai adik yang banyak seperti tetangga kami yang telah dianugerahi tiga orang anak.

Mungkin ia merasa sunyi dengan kesendiriannya, ia selalu mengatakan keinginan itu kepada kami hampir setiap malam.

Ia tumbuh sebagai anak yang cerewet dan pintar bergaul, meskipun baru berusia dua tahun empat bulan, ia mampu berbicara dengan cukup jelas.

Perlahan aku mengumpulkan sisa-sisa kekuatanku untuk sekedar berdiri dan mengambilkan nasi untuknya.

Sebelum berangkat, suamiku akan melakukan pekerjaan rumah seperti memasak, mencuci piring dan menyapu rumah kami yang hanya berukuran empat kali lima dan terbuat dari papan dengan permukaan yang kasar.

Dengan tubuh kurus kering dan gemetar itu aku melangkah perlahan sembari menopang tubuh kecilku di pinggiran dinding rumah kami, si kecilku turut menuntunku dengan memegang ujung daster sembari mengucapkan, "Hati-hati Bu!"

Aku mengayunkan langkah kecilku dengan sangat berat, tulang-belulangku seakan tidak tersambung dengan utuh lagi. Sungguh beruntung, rumah kami tidak sebesar dan seluas rumah kedua orang tua kami.

Ketika sampai dimeja makan, aku merasa seakan-akan seluruh tenagaku terkuras habis. Aku pun duduk di kursi panjang yang terbuat dari sebuah papan. Kuraih piring dan sendok yang sudah tertata di atas meja, kemudian mengambil sesendok nasi dari penanak (Magic com), dan menaruh kecap manis di atas nasi tersebut.

Dengan penuh antusias ia menyambut piring yang kuberikan kepadanya, lalu ia menghabiskan makanan itu tanpa sisa.

Ku ingin menangis dan memeluknya erat, tapi aku harus berusaha tegar dan menyembunyikan kesedihanku darinya.

Ia hanya ingin aku sembuh agar aku bisa memberikannya seorang adik seperti yang selalu diucapkan Ayahnya untuk menghibur kami.

"Aku tahu kamu lelah, aku pun sama..., ya, kita sama-sama lelah. Bukankah sebaiknya kamu mencari seseorang yang lebih baik dariku?

"Bukankah sebaiknya kamu mewujudkan keinginan anak kita dengan menikahi seseorang yang lebih baik dariku?

"Aku sudah tidak punya apa-apa lagi untuk membahagiakanmu, untuk mewujudkan keinginan anak kita. Dia layak untuk bahagia mas, dia harus merasakan kebahagiaan.

"Aku rela di madu, aku rela pulang ke rumah orang tuaku meskipun mereka tidak ingin merawatku, aku rela melakukan apa saja demi kebahagiaan kalian mas.

"Tapi... jangan pernah mengharapkan kesembuhanku yang tidak pasti ini mas.

Itulah kata-kataku jika aku merasa putus asa dengan keadaanku.

"Aku tak sanggup lagi menjalani hari demi hari seperti ini, aku tidak mempunyai alasan yang kuat untuk bertahan hidup lagi..."

.

.

.

Terpopuler

Comments

🤗🤗

🤗🤗

sudah kontrak kah ini kak

2023-04-30

0

A̳̿y̳̿y̳̿a̳̿ C̳̿a̳̿h̳̿y̳̿a̳̿

A̳̿y̳̿y̳̿a̳̿ C̳̿a̳̿h̳̿y̳̿a̳̿

setangkai🌹 dan satu iklan untuk kka, maaf baru berkunjung 🙏🤗

2023-04-25

1

Yuli Fitria

Yuli Fitria

Ya Allaah, aku jadi ingat waktu sakit, entah lah virus apa, kata dokter syaraf itu sakitku karena virus. Jadi wajahku nggak bisa di gerakan sebelah, dari mata, hidung pipi, mulut. Mana saat itu aku baru melahirkan, Ya Allah, sedih banget sampai merasa bersalah karena selain ngurus bayi, dia juga harus mengurusku, mana ada anak yang baru 4 tahun waktu itu. 🤧 Tapi Alhamdulillah, berobat terus perlahan sembuh. Buat para suami yang menyayangi istrinya tidak hanya saat istrinya sehat saja, semoga kalian sehat selalu, sukses dunia akhirat. Ah ... aku baper, mana di tambah curhat 🤧🤧

2023-04-02

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!