Gak ngaku.

Bandanku diban*ting. Sakit gak main-main karena membentur dinding. Kepalaku juga kliyengan. Luar biasa rasanya.

Kulihat lagi Bang Darwis. Dia mendekat dengan cepat. Setelahnya badanku ditarik lagi, diseret, ditolak lagi sampai tersungkur. Telapak tangan perih, lutut luka.

Sakit. Sekarang bukan hanya hatiku yang disakiti, tapi fisik juga.

Ya Allah … makhluk apa yang jadi suamiku selama ini.

Mataku memanas menatapnya yang beringas.

"Ulang sekali lagi!" titahnya

"Ceraikan aku!"

Brakh!

Badanku kembali dilempar. Aku terjerembab terkena kaki sofa, setelah itu dia mendekat dan menarik daguku. Kami berserobok pandang.

"Kamu gak akan pernah aku ceraikan. Gak akan pernah!" geramnya penuh penekanan dan penegasan.

"Kalau begitu kasih tau siapa perempuan itu!" teriakku gak terima. "Siapa perempuan itu!"

Plak!

Pipi panas bersamaan dengan napas yang tercekat.

Dia menamparku? Ya Allah.

Jika tidak mau pisah bukankah seharusnya bilang siapa perempuan itu? Ini malah main tangan. Sungguh jahat laki-laki ini. Kenapa perubahannya jauh sekali?

Dulu, dia pengertian. Penyayang. Tapi lihatlah sekarang. Dia sudah mirip binatang ketimbang manusia.

Air mata jadi menitik lagi. Sumpah, demi apa pun aku benci laki-laki ini. Aku benci!

Jilbabku ditarik. Dia memaksa menatapnya. "Jangan pernah mintai cerai dariku!"

"Teganya kamu begini ke aku. Apa kurangku? Apa salahku? Sampai hati kamu begini. Apa gak mikirin Adel? Rumah tangga kita."

Dia diam, deru napasnya terdengar tidak beraturan. Ya, aku yakin dia marah. Tapi aku juga berhak marah.

"Jawab aku, Darwis. Apa yang udah kamu kasih ke aku sampai berani selingkuh? Apa?"

Lagi, aku ditampar. Kepala sampai nyut-nyutan parah. Pandangan juga mulai buram lantaran menyatu dengan air mata.

Daguku kembali dicengkeram. Sakit. Ngilu. Rasanya ada yang patah. Cuma, mau mengaduh rasanya tidak sudi.

"Aku gak selingkuh, Nabila," katanya dengan nada tertahan.

"Bohong!"

"Aku gak bodoh. Aku gak selingkuh. Untuk apa selingkuh?"

"Lalu kenapa bisa ada yang kasih nama kamu begitu."

"Itu …." Lisannya menggantung, dia juga kelihatan gugup. Kesempatan buat melepaskan diri. Kutepis tangannya dari dagu lalu menatapnya lekat-lekat.

Dia terlihat gelisah. Ya, dia gelisah. Gelagat aneh itu aja udah jadi bukti kalau dia berbohong. Manusia ini penuh kebohongan.

"Kenapa? Gak mau jelasin siapa dia. Takut aku nyerang dan buat perhitungan?" tanyaku. Dia menatap tajam.

"Sudahlah. Aku capek. Aku capek hidup melarat. Aku capek ngimbangin kamu tapi dikhianati. Aku capek!" Aku dorong dia hingga terjungkal ke belakang. Kesempatan itu aku pakai buat berdiri.

"Apa pengorbanan aku kurang? Aku jauh-jauh dari Kalimantan terbang ke sini demi kamu. Aku yang biasanya hidup nyaman sama orang tua rela ke sini demi berumah tangga sama kamu. Bertahun-tahun hidup sama kamu dalam pengiritan. Aku gak pernah ngeluh walau makan seadanya. Aku juga gak pernah mengeluh saat ibu kamu nyinyir dan nyalahin aku saat Adel sakit atau apa. Aku selalu terima karena bakti aku ke kamu. Tapi apa? Apa ini, teganya kamu selingkuh."

Dia diam. Akan tetapi aku tau dia masih menggeram. Tangannya mengepal di sisi celana.

"Tadi kamu bilang apa? Gak selingkuh? Kalau begitu kasih aku buku tabungan kamu. Aku mau bawa ke bank dan lihat ke mana aja uang kamu mengalir."

Dia masih diam. Tapi saat ini ada perubahan. Muka yang tadinya terlihat garang kini kelihatan bergelombang. Dia gugup. Sebenarnya apa yang dia sembunyikan?

"Kasih ke aku!" teriakku lagi.

Badanku ditepis kasar sampai membentur dinding. Kulihat dia membuka pintu. Mau pergi agaknya.

Tapi tidak bisa. Dia tidak boleh pergi sebelum kasih penjelasan. Aku tidak mau dibeginikan.

"Mau ke mana kamu?" cegatku. Tapi badan ini kembali ditepis dan sialnya di pintu kulihat Aldi. Dia mematung menatap kami.

"Bang Darwis, kamu selingkuh?" tanya Aldi. Dia memegang lengan suamiku itu. Tapi ditepis.

"Bukan urusanmu!" balas Bang Darwis.

Aldi melihat dan aku spontan membuang muka. Entah kenapa ada rasa malu saat ipar melihat aku yang berantakan begini. Selama ini aku selalu menutupi, selalu bertingkah seolah bahagia dan rumah tangga baik-baik saja. Alasannya karena tidak mau ibu mertua ikut campur. Kalau dia tahu, akulah yang akan disalahkan.

Air mata menitik dan gegas aku menghapusnya. Aku tidak boleh lemah. Tidak boleh. Sekarang sudah kelihatan belang suamiku itu. Jadi tidak akan aku sia-siakan air mata ini. Cukup sudah aku menderita. Cukup. Akan aku akhiri.

"Bang, kamu selingkuh?" tanya Aldi lagi.

"Bukan urusanmu, Aldi. Pulanglah!" sentak Bang Darwis.

Sumpah, dadaku kembali begejolak. Aldi yang dibentak aku yang marah. Suamiku itu entah terbuat dari apa hatinya. Sama adik sendiri saja begini.

Bang Darwis mendorong Aldi hingga tersungkur, lalu pergi begitu saja meninggalkan kami. Aku dan Aldi yang tinggal berdua berserobok pandang untuk sekian detik.

"Kak, kamu baik-baik aja?" tanyanya.

Aku menggeleng. Bagaimana bisa aku jawab baik-baik saja saat hati beneran hancur karena suami. Kesetiaanku, pengorbanan bahkan masa muda yang aku korbankan ternyata berakhir pengkhianatan. Lalu, bagaimana bisa aku baik-baik saja?

Tidak, aku tidak baik-baik saja. Kalau bisa aku ingin mengamuk. Memukuli laki-laki jahat itu. Sampai hati dia selingkuh.

"Kak Nabila?"

Aku hapus air mata dan natap Aldi. Dia kelihatan khawatir.

"Kita ke rumah sakit?"

Aku menggeleng, lalu hapus lagi air mata yang terus aja turun. Tidak tau cara berhentikannya. Air ini terus ngalir.

Aku tarik napas panjang.

"Al, tolong jaga Adel buat sementara. Aku gak mau Adel lihat ibunya begini," kataku lalu tutup pintu.

"Kak, sebenarnya apa yang terjadi?" Aldi mengetuk. Tapi aku belum siap cerita. Gak mampu.

"Oiya Al, jangan bilang Ibuk. Aku mohon …."

"Baiklah," sahut Aldi, lalu hening.

Di belakang pintu aku aku merosot ke lantai. Menekuk kaki sambil menutup wajah dengan telapak tangan.

Sumpah, selama berumah tangga ini adalah cekcok paling parah. Penganiayaan dia juga lebih meyakinkan. Biasanya aku hanya dicubit dan akan menyisakan tanda biru.

Sekarang, semua badan ngilu. Bahkan ada darah. Dalam mulut juga terasa asin. Aku yakin mulut bagian dalam sobek.

Astaghfirullah, apa yang harus aku lakukan dengan rumah tangga ini?

Di belakang pintu aku menunduk. Menangis meratapi nasib. Apa ini balasan karena durhaka?

Ya, aku merasa durhaka. Demi Darwis aku menolak jodoh dari Mak. Demi menikahi Bang Darwis aku sampai cekcok sama Bapak lantaran uang hantaran gak sesuai yang Bapak minta. Aku bahkan dengan ikhlas nambah uang Bang Darwis lantaran takut dia dianggap remeh keluarga besar karena uang hantaran yang sedikit.

Tapi apa ini. Perjuanganku dibalas pengkhianatan. Jahat. Dia beneran jahat.

Astaghfirullah ….

Mak … Bapak, aku mau pulang. Aku gak tahan. Aku minta maaf. Bantu Bila, Mak, Pak.

Tiba-tiba pintu diketuk. Tentu aku berdebar-debar dan gegas hapus air mata.

"Kak, ini Aldi. Buka pintunya."

Entah kenapa aku lega dia yang datang. Tidak kebayang kalau yang datang adalah mertua atau tetangga.

Aku berdiri meski tertatih, lalu buka pintu dan Aldi pun masuk. Untuk sekian detik aku gelagapan.

"Al?" Aku hapus air mata. Bingung. Soalnya Aldi datang bawa sesuatu. Dan setelah dikeluarkan semuanya adalah obat luka. Dia menatanya di meja.

Kembali hatiku mencelos. Adik ipar sedemikian perhatian, beda sama suami yang cuek dan pelit.

"Aku obati Kak Bila," katanya.

Aku menolak, tapi ditarik paksa. Aku dituntun duduk di sofa.

Pertama dia menutup lukaku di kaki, lalu ke telapak tangan. Setelah itu mulai mengobati bagian wajah.

Entah bagian mana yang luka. Soalnya semua terasa ngilu apalagi di bagian pelipis dan bibir.

"Argh!" Aku spontan merintih saat kapas bercampur obat merah mengenai ujung bibir.

"Maaf. Tahan, ya." Dia mulai meniup luka di bibir. Lalu pelipis juga ditiup dia kali, setelahnya kami berserobok pandang.

Saat begini aku jadi teringat sama Bang Darwis. Spontan saja air mata menetes. Lihat Aldi aku jadi ingat Bang Darwis. Sudah aku bilang, muka mereka mirip. Jadi saat lihat Aldi, aku jadi teringat kejadian barusan.

"Bang Darwis selingkuh?" tanyanya.

Aku tidak tau karena dia gak ngaku. Tapi, dari gelagatnya memang mencurigakan.

"Dia punya simpanan, Al," jelasku dengan pelan. Sesak banget ini dada sampai-sampai mau ngomong aja sulit.

"Keterlaluan dia. Apa dia mau ngelakuin kesalahan macam bapak?" geramnya dengan nada tertahan

Ya, aku tau kisah ini. Dulu bapak mertua juga selingkuh saat anak-anaknya masih kecil. Bahkan menikah siri. Tapi entah gimana akhirnya balik lagi.

"Gak bisa, Bang Darwis harus diperingatkan. Dia gak bisa melakukan ini sama anak istri," lanjut Aldi yang buat hati nyeri luar biasa.

Aku hapus air mata lalu menggeleng.

"Makasih karena udah peduli," ujarku.

"Aku harus peduli. Dia itu lagi gak waras. Dia gila."

"Al, aku mau minta tolong."

"Ya, apa katakan."

"Bantu aku agar bisa bercerai."

***

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!