Bantu Aku Bercerai

Bantu Aku Bercerai

Dijatah dua puluh ribu

“Bang Darwis, bangun!” Aku menggoyang kaki suamiku. Membangunkannya.

Namun, dia gak kunjung bangun. Cuma menggeliat aja. Nyebelin banget. Aku goyang lagi kakinya.

“Bang, minta duit. Beras habis. Minyak goreng juga habis. Adel kelaparan mau minta sarapan, uang belanja mana,” jelasku lagi.

Akan tetapi Bang Darwis tetap abai. Aku yakin dia dengar ocehanku, cuma malas meladeni.

Keterlaluan. Ini yang butuh makan kan bukan hanya aku, tapi anak kami. Adel butuh makan.

“Bang, bangun, ini udah siang!”

“Argh! Kamu apa-apaan, sih? Aku masih ngantuk!”

Aku kaget sampai terjatuh. Pasalnya Bang Darwis bangun sambil menendang. Aku yang gak tau tentu menghindar. Apes malah membentur meja hingga gelas yang ada jatuh dan belingnya mengenai kaki.

"Bang!" sentakku spontan berjongkok. Ya Allah sakit banget ini. Darah mengalir. Tumit nyut-nyutan.

Kutatap Bang Darwis sengit.

"Apa? Salah sendiri gak hati-hati," katanya cuek.

Gila ya dia, bukannya bantuin malah berdecak dan pergi gitu aja ke kamar mandi. Gak punya empati. Jahat!

Sudah begini aku cuma bisa meringis dalam diam sambil membersihkan pecahan beling. Keterlaluan dia.

“Buk?”

Aku menoleh spontan melotot saat Adel mendekat.

“Jangan ke sini!” cegahku setengah teriak.

Seolah-olah paham, bocah kecil itu pun gak bergerak. Dia matung di ambang pintu. Aku sedikit lega karena dia menurut. Bahaya kalau dia mendekat dan pecahan beling mengenai kakinya.

“Ibuk, kaki ibuk ada darahnya,” oceh Adel.

“Gak apa, ibu gak apa. Adel nonton tv aja ya. Jangan ke sini. Bahaya. Ibu bersihkan belingnya dulu.”

Adel seakan paham. Dia pergi dari kamar.

Sepeninggal Adel entah kenapa nyeri hatiku. Air mata pun turun gak bisa ditahan. Hati ini nyeri banget karena Bang Darwis. Kami menikah sudah lima tahun lebih tapi suamiku itu tetap cuek. Yang lebih menyakitkan lagi sekarang mulai pelit. Uang belanja dijatah harian dan itu pun hanya dua puluh ribu.

Bayangkan, dua puluh ribu sehari. Mana cukup.

Cuma, aku juga gak bisa maksa. Dia sudah bekerja keras untuk kami. Jadi cukup gak cukup ya harus dicukupi.

Bang Darwis kembali ke kamar dengan badan setengah basah dan handuk melingkari pinggang.

"Jangan cengeng. Gitu aja nangis," sinisnya padaku yang sedang membersihkan serpihan gelas.

Masalahnya bukan cengeng karena luka. Ini lebih condong ke kecewa. Entah perasaanku apa gimana, sekarang dia mulai berubah. Gak pernah senyum, jarang main sama anak.

Jika pun ada waktu luang dia selalu asyik dengan HP. Dan jika bicara sama aku kalimat yang dia lontarkan pastilah tentang komplain. Entah lantai yang kotor atau baju yang belum di cuci.

Padahal aku itu sudah beberes, tapi di mata dia selalu kurang bersih. Kurang rapi.

Dulu dia gak gini. Sebelum nikah dia janji ini dan itu. Aku bakal dibahagiakan katanya. Dia bahkan nyuruh berhenti kerja agar bisa ngurusin dia dan anak kami. Sekalinya udah aku turutin dianya malah begini.

Aku gak bilang dia lepas tanggung jawab. Enggak! 

Dia tetap tanggung jawab. Aku dinafkahi, dikasih makan dan tempat tinggal. Tapi hidup kan gak hanya tentang itu. Kadang aku juga pengen beli baju baru, jalan, dan lain-lain. Tapi apa daya selalu gak kesampaian. Aku ditekan agar hemat. Selama lima tahun menikah satu helai gamis pun gak pernah kebeli.

Terkenang dengan masa lalu. Waktu masih gadis aku puas beli apa aja. Gajiku gak banyak karena memang hanya tamatan SMA. Pekerjaan pun cuma di percetakan.

Akan tetapi aku bahagia. Dengan gaji segitu aku bisa kasih orang tua dan beli yang aku mau. Jalan ke mana aja bisa.

Sekalinya sudah jadi istri dia, semua serba terbatas. Malah makin lama kehidupan makin sengsara. Aku jarang pulang kampung lantaran dia bilang gak ada ongkos. Jadi, cuma bisa lepas rindu sama orang tua dari HP saja. Ini berbanding terbalik dengan apa yang dia janjikan dulu.

Argh! Semakin dipikirkan aku semakin sebal. Semakin gak tahan. Mau cerai rasanya, tapi gak mungkin. Kami sudah punya anak. Dan juga dia ini pilihanku sendiri. Dulu aku akan dijodohkan sama anak teman ibu yang seorang PNS, tapi aku menentang keras lantaran cinta sama Bang Darwis.

Makin dipikirkan aku semakin kesal. Merasa salah pilih suami. Sampai-sampai saat ada masalah gak berani ngomong sama orang tua maupun saudara. Semua aku pendam sendiri.

"Ni uangnya," lanjut Bang Darwis sambil meletakkan uang dua puluh ribu di atas meja.

Mencelos hatiku. Uang segitu sebenarnya cukup untuk sekedar beli sayur dan telur. Cuma masalahnya ada beberapa bumbu yang habis. Belum lagi minyak goreng, kopi, gula, sabun mandi.

Ya Allah, mau marah rasanya sama dia, tapi ..

"Gak cukup, Bang. Tambahin lagi." Aku berdiri.

"Gak cukup gimana? Gak pernah masak enak juga," balas Bang Darwis setengah membentak.

Ya gimana mau masak enak. Jatahnya cuma segitu. Kalau dikasih lima puluh mungkin masih bisa makan ayam.

"Masalahnya minyak sama bawang habis, gula, kopi, sabun." Aku sebut satu-satu 

"Ngutang dulu sama Aldi," balasnya yang buat aku kehabisan kata.

"Kemarin juga udah ngutang, Bang."

"Ya utang lagi. Nanti gajian aku bayar."

"Tapi Abang gajian itu baru seminggu yang lalu."

Bang Darwis kelihatan berang. Dia maju dan langsung mengapit daguku. Aku terjepit tanpa bisa mengelak. Perih, sakit, ngilu.

Selain itu aku juga takut. Matanya melotot besar saat natap. Dia kalau lagi marah memang menakutkan.

"Bang, sakit …."

"Berani ngatur suami kamu, ha!"

Dan lagi, yang bisa aku lakukan cuma diam meringis menahan sakit.

Apitan Bang Darwis lepaskan. Dia kelihatan buru-buru pasang baju.

"Jadi istri itu harus nurut. Jangan banyak nuntut," lanjutnya.

Ya, dan selama lima tahun ini satu kali pun aku gak pernah nuntut dia ini itu. Kurang apa aku?

Kulihat dia pasang jaket lalu pakai parfum.

"Bang Darwis mau ke mana?"

Dia menoleh dengan memberi tatapan tajam. "Gak usah kepo. Lagian apa yang aku harapkan di rumah. Punya istri gak bisa nyenengin suami, mau tidur lama aja di ganggu. Kamu kan tau ini hari Minggu. Aku mau istirahat!"

Sebenarnya aku tahu, cuma aku juga harus belanja dan uang selalu dalam dompet dia. Sedang dompet selalu disembunyikan.

"Cukup gak cukup pakai uang itu," titahnya lagi.

Aku melihat uang dua puluh ribu di tangan dengan hati meringis sakit. Sehari dijatah segitu padahal gaji suami lumayan. Sudah diatas tiga juta. Sebagai sales produk makanan perusahaan terbesar, suamiku ini sudah bisa disebut senior.

"Bang, tambahin lagi."

"Gak ada Nabila. Uangnya gak ada. Yang di aku cuma buat bensin sama rokok. Gimana mau ngorder ke toko kalau gak ada bensin. Aku juga barusan kasih ibuk. Sudahlah, bilang Aldi kasbon dulu nanti aku bayar. Lagian dia kan adik aku. Dia pasti mau ngutangin."

Ya, Aldi memang mau mengutangkan sembako. Cuma aku gak enak. Aku tahu kalau suamiku itu gak pernah membayar sedang Aldi juga butuh memutar modal usaha warung. 

Gimana aku bisa tau, ya karena Aldi selalu senyum aja saat aku tanya apa Bang Darwis udah bayar utang apa belum. Senyumnya itu aku artikan belum bayar utang.

Aku pergi bawa uang segitu buat belanja. Dengan jalan kaki. Kebetulan lokasi warung Aldi gak jauh. Cuma melewati lima rumah.

Seperti biasa aku belanja paling akhir. Sengaja menunggu warung sepi lantaran malu jika ada yang mendengar aku ngutang. Dan juga aku gak mau gara-gara aku utang, tetangga lain ikutan utang.

"Beli apa, Kak?" tanya Aldi. Bujang berparas rupawan itu tersenyum.

Ah, sudah lima tahun nikah tetap aja aku merasa gak nyaman di panggil kakak. Banyangkan, aku yang baru dua lima dipanggil Kakak oleh Aldi yang usianya dua delapan. Oiya, Darwis itu hanya punya Aldi. Mereka cuma dua bersaudara.

"Kak Nabila?"

Aku tersentak.

"Itu, Al, aku mau beli telur, minyak, gula, kopi, sabun mandi, bawang sama garem. Tapi …." Aku menjeda. Gak bisa ngucapin lagi. Gak tega mau ngutang, tapi ….

"Bentar ya, Kak."

Aldi masuk ke dalam dan keluar bawa kantong kresek yang aku duga barang yang disebut tadi.

"Ini, Kak. Ada lagi gak?"

Aku menggeleng.

Sudah begini apa yang bisa aku lakukan selain mengambil alih kantong kresek berisi belanjaan, lalu menatap Aldi. Adik iparku itu selalu tersenyum walau aku datang ngutang.

Oiya, wajahnya beda tipis sama Bang Darwis, bedanya Aldi rada tirus. Badannya juga rada kurus. Gak macam Bang Darwis yang berisi.

"Kekurangannya nanti dibayar Bang Darwis," jelasku.

Ya Allah, berdenyut hati dan mukaku karena Bang Darwis. Malunya gak terkira.

"Iya. Gak apa-apa," balas Aldi. Dan dia masih saja tersenyum. Kelihatan teduh tatapan matanya.

"Makasih, ya, Al." Aku balas senyum ke Aldi, lalu putar badan hendak pergi. Tapi, dipanggil lagi. Tentu aku balik badan.

"Kenapa, Al?"

"Ini buat Adel," katanya sambil menyerahkan eskrim dua bungkus dan memasukkannya ke dalam kantong belanjaan.

"Tapi, Al."

"Satu buat Adel, satu buat Kakak."

Ya Allah, gak tau harus ngerespon apa. Mau nangis guling-guling. Rasanya udah lama aku gak makan es krim. Dulu waktu masih gadis aku paling doyan es krim. Tapi sejak menikah selalu nahan diri biar gak jajan. Biar bisa belanja kebutuhan lain.

"Makasih, Al."

Aldi tersenyum lalu menunduk. Aku yang tau ke mana arah matanya tertuju jadi gak enak. Sudah ketebak apa yang bakalan dia lakukan.

"Aku balik, El." Aku buru-buru putar badan.

"Bentar, Kak."

Tuh kan.

Mau gak mau aku balik badan lagi dan melihat Aldi ke dalam. Dia keluar bawa sesuatu, lalu berjongkok di depanku sambil meletakkan plester luka di kaki.

"Kena beling tadi," jelasku tanpa dia tanya.

"Hati-hati, Kak. Kasian Adel. Nanti siapa yang ajak dia main ke sini kalau kaki Kak Nabila luka."

"I-iya, makasih. " Aku nyengir lalu pergi.

Sambil jalan aku tu mikir, kenapa Aldi masih sendiri padahal usianya sudah matang. Dia juga tergolong berduit. Dia punya usaha sembako yang aku tau dia memulainya dengan usaha sendiri. Dia kerja jadi TKI lima tahun, lalu pulang bikin warung.

Sebagai kriteria suami dia itu perfek. Sama orang tua juga kelihatan sopan. Dia yang membiayai kedua orang tuanya. Itu menandakan dia penyayang dan berbakti. Lalu, kenapa gak nikah?

Sampailah aku di halaman dan melihat motor metik Bang Darwis masih terparkir. Tadi memang memintanya jaga Adel sebentar karena aku harus belanja. Untungnya dia mau.

"Assalamu'alaikum."

"Waalaikumsalam," sahut Bang Darwis. Dia duduk di sofa sambil pegang hp. Sedang Adel ada di bawah dekat kaki dia. Anak kami itu terlihat asyik main.

"Lama banget belanjanya. Gak tau apa aku mau pergi. Sengaja, ya," tudingnya.

Sakit, tapi aku gak akan terpancing. Jika aku buka suara takutnya malah berantem. Aku tau watak Bang Darwis itu keras. Gak bisa dilawan. Maka dari itu lebih baik ngalah. Iyain aja biar rumah aman.

Aku lihat Adel yang sedang main boneka. "Adel mau es krim?" tanyaku sambil jongkok dan membuka kantong.

Anakku itu langsung semringah dan berjalan mendekat. "Mau, Buk," katanya.

Menggemaskan.

"Jajan jajan terus. Mungkin itu alasan uang belanja selalu kurang," sindir Bang Darwis yang buat hatiku rada panas. Padahal dia yang kasih uang sedikit.

Waktu tiga tahun menikah aku selalu terima dikasih uang sedikit. Ya karena memang ada cicilan motor. Jadi harus bisa menyisihkan.

Tapi sekarang kan udah gak ada cicilan, lalu kenapa masih aja dijatah? Herannya aku itu di situ. Saat ditanya dia selalu marah. Persis tadi.

"Ini dikasih Al, Bang," jelasku.

Dia berdengkus aja. Lalu berdiri merapikan jaket. Namun, gelagatnya berubah. Dia tiba-tiba pegang perut lalu kentut.

Adel yang mendengar itu cuma tertawa.

"Sial, kenapa tiba-tiba mules," sungutnya. Dia lalu pergi ke dapur setelah meletakkan ponsel dan dompet di atas meja.

Entah kenapa aku tiba-tiba penasaran sama ponselnya. Dia terus memegang Hp. Gak pandang waktu. Kadang lagi makan pun pegang HP, lalu senyum-senyum sendiri.

Penasaran kubuka ponselnya. Rada gemetar tangan soalnya selama lima tahun menikah nggak pernah sekalipun aku otak-atik hp dia.

Cuma entah kenapa aku penasaran dengan isi ponselnya saat ini. Terbesit satu dugaan, apa dia main gila diluar sana.

Aku cek satu-satu. Aplikasi chat, media sosial dan lain-lain. Tapi gak ada yang aneh. Nggak ada chat perempuan. Lalu sama siapa dia berkirim pesan selama ini ya?

Get contact.

Aku tiba-tiba penasaran sama aplikasi ini. Katanya aplikasi ini bisa ngasih tahu kita apa nama kita di kontak orang lain.

Berani-berani takut aku intip Bang Darwis. Dia masih belum selesai.

Cepat Aku cek aplikasi itu dan kaget, beneran kaget sampai istighfar saat melihat satu nama yang tersemat di ponsel entah siapa.

"Pacarku sang ean."

Air mataku menitik.

D-dia benar-benar berkhianat? Lalu, apa yang sudah dia lakukan sama perempuan itu sampai-sampai ngasih dia nama Bang Darwis pacarku sang ean? Apa mereka sudah ....

Mataku memanas. Dada rasanya kebakar. Sakit.

Aku letak hp lalu bawa Adel ke rumah mertua. Aku balik ke warung Aldi.

"Al, ada Ibu?" tanyaku yang berusaha mengatur emosi.

"Ada, Kak."

Aku pun masuk setelah mengucap salam. Aku titip Adel pada ibu mertua yang kebetulan lagi membelah ikan teri.

Setelahnya aku balik. Dada sudah mengentak, bergemuruh luar biasa. Gak terima aku diselingkuhi sedang selama ini dia gak pernah membahagiakan. Apa yang dia beri padaku sampai berani nyakitin begini? Apa dia pernah kasih aku intan berlian?

Gak, gak pernah! Yang dia kasih hanya kemelaratan.

Sampailah aku di rumah dan melihat suamiku itu udah rapi lagi. Mukanya berseri. Dia juga bersiul.

"Bang, siapa perempuan itu?" sergahku setengah teriak.

***

btw makasih sudah baca. like dan follow ya. jika berkenan follow aku juga di Instagram. adisty_rere

Terpopuler

Comments

Yunerty Blessa

Yunerty Blessa

lebih baik tinggalkan saja suami mu Nabila..dia curang dibelakang mu..mana duit belanja cuma 20 ribu mana cukup buat kebutuhan..

2023-10-16

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!