Episode.2

Iqbal pergi ke pesantren dengan di antar oleh ibu dan ayahnya. Jujur saja dia malas sekali pergi ke tempat seperti itu. Tapi mau bagaimana lagi, dia sudah berjanji menuruti apa pun permintaan ayahnya yang sudah membebaskannya dari penjara.

Mobil hitam yang di kendarai oleh Pak Bima telah sampai di gerbang masuk pesantren at-takwa. Terlihat para santri yang baru saja keluar dari masjid. Mungkin mereka baru saja melakukan Shalat duha.

Tentu kedatangan mereka menjadi sorotan. Apalagi Iqbal yang berpenampilan ala rocker. Pakaian yang di kenakan serba hitam, bahkan celananya sobek-sobek.

Kedatangan Pak Bima dan keluarga di sambut oleh Kiyai Ahmad Abdulah, sekaligus pemilik pondok pesantren itu.

''Assalamu'alaikum, Pak Kiyai. Ini anak saya yang saya ceritakan tempo hari,'' ucap Pak Bima ramah.

''Waalaikum'salam. Mari ikut saya! Biar lebih leluasa kita mengobrol sambil duduk,'' ucapnya.

Mereka mengikuti kemana perginya Kiyai Ahmad.

Sekarang mereka sudah berada ruang peristirahatan para ustadz di pesantren. Bukan hanya Kiyai Ahmad yang ada disana, bahkan asisten beserta ustadz juga ada disana.

''Mohon maaf, Pak Kiyai. Saya ingin menitipkan anak saya di pesantren ini. Semoga dengan tinggal disini anak saya bisa jadi lebih baik lagi,'' ucap Pak Bima.

''Kami akan berusaha mendidik anak Pak Bima dengan baik. Karena itu sudah salah satu tugas para ustadz disini,'' ucap Kiyai Ahmad.

Sejak tadi Iqbal diam saja. Dia sedang memikirkan bagaimana cara kabur dari pesantren itu.

''Iqbal,'' Bu Fatma menepuk bahu anaknya yang sejak tadi hanya diam saja.

''Eh iya, Mah.''

''Jangan melamun!''

''Tidak kok, memangnya siapa yang melamun?'' Iqbal mengelak.

Pak Bima dan istrinya berpamitan untuk pulang. Mereka benar-benar memasrahkan Iqbal kepada Kiyai Ahmad. Karena mereka sudah tak sanggup mengurus Iqbal yang susah di atur.

''Iqbal, mari ikut saya ke kamar kamu,'' ucap ustadz Malik, yang merupakan ustadz paling di segani di pesantren itu.

Iqbal menurut, dia mengikuti kemana ustadz Malik pergi.

Sesampainya di kamar yang akan di tempati, Iqbal tertegun saat melihat ranjang dan kasurnya yang begitu kecil. Pasti sempit jika di tiduri.

''Iqbal, ini tempat tidur kamu. Jadi di kamar ini ada empat orang ya,'' ucap Ustadz Malik.

''Ini tidak salah, kamar Gue? Memangnya tidak ada kamar yang lebih luas lagi dari ini?'' Iqbal merasa tak nyaman di kamar sempit seperti itu. Apalagi dalam satu kamar ada empat orang.

''Ada, tidur saja di lapangan.''

Ucapan Ustadz Malik membuat penghuni kamar itu tertawa.

''Hei, jangan berani menertawakan ustadz Malik,'' ucapnya kepada mereka.

''Maaf, ustadz.'' ucap Lutfi.

''Oke saya mau keluar dulu, kalian kasih tahu semua kegiatan di pesantren ini kepada Iqbal,'' Ustadz Malik menunjuk Lutfi dan dua teman lainnya.

''Baik, Ustadz.'' jawab mereka serempak.

Setelah kepergian ustadz Malik, Iqbal naik ke atas ranjang. Dia mengambil ponsel dari dalam tas, lalu mendengarkan musik dengan headset.

Lutfi dan ke dua temannya saling pandang saat melihat Iqbal sedang mengangguk-anggukan kepalanya saat mendengarkan musik.

''Lutfi, coba kamu kasih tahu Iqbal deh, kalau di pesantren ini di larang mainan ponsel,'' ucap Fahmi.

''Takut ih, nanti malah kena semprot.''

Fahmi mendekati Iqbal dan mencoba memberitahu, ''Maaf, Iqbal. Tapi di pesantren ini tidak boleh main ponsel. Kalau ketahuan Ustadz Malik nanti bisa di sita ponselnya,'' dengan berani Fahmi mengambil headset yang ada di telinga Iqbal.

''Apaan sih, ganggu saja. Lebih baik kalian keluar deh kalau cuma gangguin Gue,'' Iqbal terlihat marah.

''Maaf, tapi lima belas menit lagi ada jadwal mengaji. Lebih baik kamu bersiap,'' ucap Fahmi.

''Kalian kalau mau ngaji ya ngaji saja, tidak usah pakai ajak Gue segala,'' Iqbal meninggikan nada bicaranya.

''Maaf,'' nyali Fahmi menciut, dia tak berani lagi berbicara kepada Iqbal.

Fahmi, Lutfi, dan Hasan segera menyiapkan Al-Qur'an dan alat tulis milik mereka masing-masing. Setelah itu bergegas pergi menuju ke masjid.

Semua santri dan santriwati sudah berkumpul di masjid. Ada batas tersendiri sehingga santri dan santriwati tidak berbaur.

''Ustadz Malik, apa sudah bisa kita mulai?'' Pak Kiyai Ahmad bertanya kepada Ustadz Malik.

''Maaf, Pak. Sepertinya Iqbal belum ada disini,'' ucapnya.

Kiyai Ahmad memperhatikan satu persatu santrinya, Ternyata benar, Iqbal tidak ada di antara mereka.

Ustadz Malik mengajak Lima santrinya untuk ikut bersamanya memanggil Iqbal. Karena sepertinya tidak bisa jika hanya sendirian memanggil Iqbal yang cukup bandel itu.

Sesampainya di kamar Iqbal, mereka melihat Iqbal yang sedang asyik mendengarkan musik sambil berjoget-joget ala rocker.

''Astaghfirullah'aladzim.'' Ustadz Malik mengelus dadanya melihat kelakuan Iqbal yang tidak mencerminkan seorang santri.

Iqbal melepas headset yang ada di telinganya saat melihat kedatangan Ustadz Malik.

''Ini ada apa sih ramai-ramai?'' tanya Iqbal.

''Kita kesini karena mau ajak kamu mengaji, Iqbal. Eh ternyata disini ada setan, tuh sampai kamu joget-joget seperti itu'' ucap Ustadz Malik.

''Kalian kalau mau mengaji ya tinggal mengaji saja, tidak usah ajak-ajak Gue,'' kata Iqbal.

''Jadi kamu maunya mendengarkan kita mengaji dari pada ikut mengaji?'' Ustadz Malik bertanya kepada Iqbal, namun Iqbal masih diam.

Ustadz Malik memberi kode kepada para santrinya untuk duduk bersila di atas lantai. Mereka bersama-sama melafadzkan surat yasin di hadapan Iqbal.

''Stop! Kenapa malah baca surat yasin di hadapan Gue?''

''Tadi katanya kamu tidak mau ikut mengaji, ya sudah kita bacakan yasin saja,'' jawab Ustadz Malik.

''Gue bukan mayat, Ustadz.'’

''Ya sudah kalau begitu ayo ikut ke masjid! Jangan lupa bawa Al-Qur'an milikmu.''

Iqbal sedikit kesal kepada Ustadz Malik yang menurutnya cukup pemaksa. Dengan terpaksa dia mengikuti mereka menuju ke masjid.

Iqbal pergi berwudhu di antar oleh Ustadz Malik. Karena takutnya Iqbal akan kabur, jadi Ustadz Malik menemaninya.

''Hei, kamu lagi cuci muka apa berwudhu?''

''Berwudhu, memangnya Ustadz tidak lihat?'' Iqbal memang berani sekali menjawab setiap ucapan orang lain.

''Bukan begitu caranya. Sejak kapan orang berwudhu dari wajah dulu baru tangan? Biar saya ajarkan,'' Ustadz Malik menaikkan lengan baju koko yang di kenakan, lalu mulai memperagakan cara berwudhu.

Iqbal menyimak Ustadz Malik, setelah itu barulah dia menirunya.

Ustadz Malik memasuki masjid di ikuti oleh Iqbal di belakangnya. Para Santri memperhatikan kehadiran Iqbal. Karena penampilannya yang terlihat berbeda sendiri tentu menjadi pusat perhatian.

Kiyai Ahmad mulai mengucapkan salam untuk membuka acara. Setelah itu menunjuk satu persatu santri untuk membaca ayat suci Al-Qur'an.

''Iqbal, karena kamu terlambat datang, coba kamu bacakan surat Al-fatihah dengan benar,'' ucap Kiyai Ahmad.

Iqbal membuka satu per satu halaman Al-Qur'an yang sedang dia pegang, hingga halaman terakhir. Dia sama sekali tidak tahu dimana letak bacaan surat Al-fatihah.

''Iqbal, kenapa lama sekali? Apa kamu tidak tahu letak surat Al-fatihah?" Ustadz Malik terlihat kesal kepada Iqbal.

''Sejak tadi sudah cari tapi tidak ketemu,'' ucap Iqbal.

''Astaghfirullah'aladzim,'' Ustadz Malik mengelus dadanya, sedangkan santri yang lain menertawakan Iqbal.

''Surat Al-fatihah itu ada pada bagian paling awal sendiri. Coba kamu baca!'' Ustadz Malik mencoba mengontrol emosinya, karena Iqbal sudah membuatnya kesal.

Iqbal mulai membaca surat Al-fatihah dengan terbata-bata. Karena memang dia tidak lancar dalam mengaji.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!