Episode.5

Semakin lama kelakuan Iqbal perlahan berubah. Dia tak lagi menjadi santri yang suka membangkang. Sekarang Iqbal terlihat lebih rajin. Dia juga berusaha keras untuk bisa mengaji dengan benar. Alasan ketaatannya itu tak lain karena Aisha. Iqbal ingin pantas bersanding dengan Aisha.

Iqbal yang hendak olahraga pagi, tak sengaja melihat Aisha masuk ke ruangan Kiyai Ahmad. Bukan hanya Aisha saja, namun ada beberapa orang lainnya yang Iqbal sendiri juga tak tahu siapa mereka.

''Iqbal, lagi lihatin apa kamu?'' Fahri menepuk bahu Iqbal dari belakang.

''Itu, tadi Gue lihat Aisha masuk ke ruangannya Kiyai Ahmad. Kira-kira mau ngapain ya?''

''Memangnya kamu tidak tahu ya kalau Aisha itu di jodohkan dengan anaknya Kiyai Ahmad yang baru pulang dari Kairo.''

''Apa?'' Iqbal terkejut mendengar fakta itu. Dia tak rela jika gadis pujaannya menikah dengan lelaki lain.

''Ya begitulah kenyataannya. Kenapa kamu terkejut seperti itu? Apa kamu cemburu? Ah lebih baik kamu mundur saja deh, karena sainganmu berat. Anak Kiyai Ahmad itu selain tampan, dia juga hafiz Quran,'' ujar Fahmi.

''Tidak ada yang namanya mundur di kamus cinta Gue. Selama janur kuning belum melengkung, calon istri orang bisa Gue tikung,'' Iqbal menyunggingkan seringainya. Dia akan mencari cara untuk bisa memiliki Aisha.

''Semoga saja cintamu tidak bertepuk sebelah tangan.''

Iqbal masih terdiam memandang ruangan Kiyai Ahmad. Sedangkan Fahmi dan teman lainnya melanjutkan lari pagi mereka. Kini ini Iqbal harus mencari cara agar Aisha jatuh ke pelukannya. Dia tak rela jika wanita yang dia cintai di miliki oleh lelaki lain.

Ustadz Malik yang kebetulan lewat, melihat Iqbal yang sedang senyum-senyum sendiri entah sedang memikirkan apa. Ustadz Malik menempelkan telapak tangannya di kening Iqbal. Tidak terasa dingin atau panas, sepertinya Iqbal masih waras.

Ustadz Malik mendekatkan wajahnya di telinga Iqbal lalu berbisik,'' Ada maling.''

''Mana maling mana maling?'' Iqbal berkeliling memutari Ustadz Malik sambil teriak maling.

''Ini malingnya,'' Ustadz Malik menepuk bahu Iqbal sehingga membuat Iqbal seketika diam.

''Ustadz, ngapain ada disini?''

''Harusnya saya yang balik nanya, ngapain kamu disini senyum-senyum sendiri? Masih untung saya yang melihat kamu. Coba saja jika yang melihatmu itu orang lain, pasti kamu di sangka tidak waras,'' ucapnya.

''Tinggal bilang saja ustadz yang mengira saya tidak waras, kenapa pakai alasan orang lain?''

''Kamu suka benar kalau bicara.''

Iqbal tak menimpali perkataan ustadz Malik. Dia berlalu pergi dari sana. Lagian ngapain juga dia menanggapi Ustadz Malik yang menurutnya tidak penting. Hanya bikin darah tinggi saja.

...

...

Di saat ada kesempatan, Iqbal selalu menggunakannya untuk mendekati Aisha. Usahanya untuk mendapatkan Aisha begitu besar. Iqbal tak pernah menyerah, walaupun dia tahu kalau Aisha sudah di jodohkan. Menurutnya, tidak ada yang tidak mungkin selagi masih bisa berusaha. Lagian belum tentu juga Aisha mencintai lelaki yang di jodohkan dengannya.

Iqbal mengintip dari luar jendela dapur. Dia melihat Aisha yang sedang berkutat di dapur. Entah apa yang sedang Aisha masak, namun pemandangan Aisha yang sedang masak membuat rasa cinta Iqbal semakin bertambah. Iqbal mengambil kerikil kecil dari atas tanah, lalu melemparkannya ke arah Aisha.

"Aduh," Aisha mengaduh sakit sambil memegangi keningnya yang terkena lemparan kerikil. Dia menatap sekitar hingga akhirnya melihat keberadaan Iqbal.

Iqbal tersenyum menatap Aisha yang juga sedang menatapnya. Namun Aisha malah melotot kepadanya. Aisha mendekati jendela, dan itu membuat Iqbal mengira jika Aisha ingin menghampirinya. Namun, perkiraan Iqbal itu salah. Nyatanya Aisha berniat menutup jendel dan menguncinya.

"Dasar tidak sopan," gumam Aisha, lalu dia bergegas pergi dari dapur.

Nisa melihat Aisha memasuki kamar dengan membawa satu gelas chocolate panas.

"Ais, minta chocolate-nya dong," tanpa persetujuan, Nisa mengambil gelas yang sedang di pegang oleh Aisha. Sudah menjadi hal biasa bagi Aisha. Karena mereka memang selalu berbagi entah itu cemilan atau pun makanan lainnya.

Aisha mengambil cermin lalu melihat keningnya yang tadi terkena lemparan batu. Terlihat memar dan terasa sakit. Aisha merasa sebal kepada Iqbal yang main lempar sembarangan.

Nisa meletakan gelas berisi chocolate ke atas meja. Sedangkan tatapannya tertuju kepada Aisha yang sedang bercermin. Nisa melihat raut wajah kesal yang di perlihatkan oleh sahabatnya itu.

"Ais, kenapa dengan raut wajahmu? Apa kamu tak suka jika aku meminta chocolate milikmu?" tanya Nisa.

"Bukan seperti itu, Nis. Aku hanya sedang kesal saja sama seseorang," ucap Aisha.

"Seseorang siapa tuh?" Nisa penasaran, sebenarnya siapa yang di maksud oleh sahabatnya.

"Iqbal, tadi dia lempar kerikil dan mengenai keningku. Sebel banget deh sama dia."

"Nisa nggak percaya kalau Iqbal berbuat seperti itu. Mungkin bukan Iqbal yang melakukan itu, Nis."

"Terserah deh, intinya aku tidak suka sama dia."

"Awas loh nanti benci jadi cinta," Nisa menggoda sahabatnya.

"Itu tidak mungkin terjadi," kata Aisha.

"Bagus deh kalau gitu Nisa tidak ada saingan," Nisa bisa bernapas lega karena Aisha yang merupakan santriwati tercantik tidak tertarik dengan ketampanan Iqbal.

...

...

Setelah beberapa bulan tinggal di pesantren, kini Iqbal dan beberapa santri lainnya diizinkan untuk pulang. Memang mereka dapat jatah pulang secara bergilir. Walaupun hanya dapat jatah libur dua hari, namun Iqbal tidak akan menyia-nyiakan kesempatan itu. Dia bisa menggunakan waktu senggangnya untuk tidur seharian. Karena selama tinggal di pesantren, Iqbal memang kurang tidur. Apalagi banyak sekali hafalan yang harus dia hafalkan.

Dengan di jemput oleh sopir, kini Iqbal telah sampai di depan rumah. Jujur saja dia merindukan rumah yang dia tinggal pergi beberapa bulan ini. Iqbal bisa bernapas lega setelah menginjakkan kakinya di halaman rumah.

Iqbal mendekati pintu lalu mengetuknya, "Assalamualaikum," ucap Iqbal.

Bu Fatma yang sedang bersantai di depan, bergegas membukakan pintu. Senyum kebahagiaan terukir di sudut bibirnya. Bu Fatma merasa senang melihat kedatangan anaknya.

"Iqbal, akhirnya kamu pulang juga, Nak."

"Iqbal ucap salam loh, tapi belum mamah jawab," ucap Iqbal mengingatkan.

"Eh iya mamah lupa. Waalaikum’salam. Saking senangnya sih sampai mamah lupa jawab salam. Ya sudah, ayo masuk!"

Iqbal melangkah memasuki rumah. Pemandangannya tertuju pada interior rumah yang masih terlihat sama seperti saat dirinya tinggal disana. Tidak ada yang berubah sama sekali.

''Mah, Iqbal mau ke kamar dulu ya mau istirahat,'' Iqbal bergegas pergi, namun Bu Fatma menghentikan langkahnya.

''Tunggu! Nanti malam ada acara pertunangan anak teman mamah. Kamu ikut sama mamah ya, kita pergi menghadiri acara itu,'' ajaknya.

''Malas, Mah. Iqbal mau tidur saja seharian.''

''Kamu harus datang, Iqbal. Lagian yang punya acara juga dia sama-sama dari pesantren yang sama denganmu.''

''Benarkah? Siapa, Mah?''

''Aisha anaknya Bu Hilya. Dia bertunangan sama anaknya Kiyai Ahmad.''

''Apa?'' Iqbal membelalakkan matanya tak percaya. Bisa-bisanya dia keduluan sama anak pak kiyai yang dia juga tak tahu seperti apa tampangnya.

''Kenapa kamu terkejut seperti itu?''

''Ah tidak. Baiklah, nanti malam Iqbal akan ikut sama mamah,'' setelah mengatakan itu Iqbal berlalu pergi menuju ke kamarnya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!